Feeds:
Pos
Komentar

Archive for the ‘Bung Karno’ Category

Bung Karno dan Wartawan

Di sebelah kiri Departemen Luar Negeri (Deplu) terdapat sebuah gedung yang masih tampak antik dan anggun sekalipun usianya lebih dari satu abad. Gedung yang terletak di jalan Pejambon, Jakarta Pusat, ini pada masa kolonial Belanda bernama Hertogweg (jalan Hertog).

Dulu di jalan ini terdapat sebuah taman indah bernama Hertog Park yang diambil dari nama penghuni gedung tersebut, Hertog Bernhard (1792-1862), panglima tentara Hindia Belanda. Banyak peristiwa bersejarah berlangsung di gedung ini. Antara lain, pada 1 Juni 1945, Bung Karno pernah berpidato selama satu jam di depan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Pidato ini kemudian dijadikan sebagai falsafah negara: Pancasila. Karenanya gedung yang pernah menjadi markas departemen kehakiman dan BP7 ini kini bernama Gedung Pancasila. Jauh sebelumnya, gedung bercat putih ini pernah menjadi tempat Volkraad, semacam parlemen bikinan kolonial Belanda, bersidang. Di gedung ini pulalah pada 18 Agustus 1945, sehari setelah proklamasi kemerdekaan, PPKI dalam sidangnya memilih Bung Karno sebagai presiden, dan Bung Hatta sebagai wakil presiden. Sidang juga mengesahkan UUD RI yang kita kenal dengan UUD 1945.

”Dalam pertemuan inilah mereka memilihku dengan suara bulat sebagai presiden,” ujar Bung Karno dalam biografinya seperti ditulis Cindy Adams. ”Tak kuingat kejadian itu sampai soal-soal kecil seperti misalnya, siapa sebenarnya yang mengusulkanku. Aku hanya ingat seseorang mengeluarkan ucapan yang digetari oleh kata-kata berilham seperti, nah, kita sudah bernegara dan memerlukan seorang presiden.

Bagaimana kalau kita memilih Soekarno.” Setelah dipilih sebagai presiden, Soekarno pulang ke kediamannya di jalan Pegangsaan Timur (kini jalan Proklamasi) 56, Jakarta Pusat. Saat perjalanan pulang Bung Karno bertemu seorang tukang sate. ”Aku lalu memanggil penjaja yang berkaki ayam dan tidak berbaju itu, dan mengeluarkan perintah pertama: sate ayam 50 tusuk.”

Bung Karno menceritakan, ia makan sate sambil jongkok dekat selokan dan kotoran. ”Kumakan sateku dengan lahap dan inilah seluruh pesta atas pengangkatanku sebagai kepala negara.” Sampai di kediamannya Bung Karno memberitakan kepada Ibu Fatmawati atas terpilihnya dirinya sebagai presiden. Tapi, istrinya itu, seperti diungkapkan Bung Karno, tidak meloncat-loncat kegirangan. Yang jadi masalah kemudian adalah presiden perlu punya kendaraan yang layak.

Maka beraksilah Sudiro dari Barisan Pelopor segera menyerobot kendaraan milik Kepala Jawatan Kereta Api Bangsa Jepang untuk menjadi kendaraan Bung Karno. Mobil Buick tersebut merupakan kendaraan paling bagus di Jakarta kala itu.

Bagi wartawan yang pernah bertugas di istana semasa pemerintahan Presiden Soekarno pasti banyak memiliki pengalaman menarik mengenai sosok proklamator ini. Bung Karno dikenal sangat akrab dengan wartawan. ”Bapak sering ngobrol dengan para wartawan, baik diteras depan maupun teras belakang Istana Merdeka,” tutur Ita Syamsuddin, wartawan ANTARA yang bertugas di istana sejak 1960 sampai berakhirnya kekuasaan Bung Karno.

Pada saat-saat bersantai dengan wartawan tersebut Bung Karno sering menanyai kehidupan para wartawan satu persatu. Seperti, apakah sudah punya pacar. Atau menanyakan tentang kehidupan keluarga bagi yang sudah beristri atau bersuami. Bung Karno juga sering mengajak para wartawan untuk makan bersama. Terutama bila ada acara di Istana Bogor, saat makan siang atau sore malam, Bung Karno seringkali bergabung dengan para wartawan.

Para wartawan sendiri tidak merasa minder sedikit pun saat ngobrol dengan Bung Karno karena keterbukaannya itu. Bung Karno juga sangat memperhatikan penampilan wartawan. Dia sering mendandani dasi para wartawan yang bertugas di Istana. Bahkan tidak jarang menghadiahkan dasi pada wartawan. ”Wartawan harus gagah, dan berpakaian rapi, jangan jelek,” kata Bung Karno seperti dituturkan Ita. Ketika Bung Karno mengucapkan demikian, kebetulan ada Menteri Perdagangan Ahmad Yusuf yang kemudian membagikan setelan jas pada wartawan. ”Saya sendiri dapat baju kebaya dan kain batik yang halus,” tutur Ita.

Begitu akrabnya Bung Karno dengan wartawan, hingga ia sering mengajak wartawan berkeliling kota dengan minibus cakrabirawa (pasukan pengawal kepresidenan). Di kendaraan, para wartawan bebas memilih tempat duduk dan sewaktu-waktu dapat mendekat kepadanya.

Suatu ketika ditengah jalan Bung Karno melihat tukang rambutan, ia lalu membeli sepuluh ikat sesuai jumlah rombongan di mini bus. Tapi, ketika hendak membayar dan merogoh kantong celananya ternyata Bung Karno tidak membawa uang. Ia pun memanggil seorang pengawal yang berada dalam jeep, tapi seorang wartawan segera membayarnya. Bung Karno melarangnya, tapi penjual rambutan sudah menerima uang tersebut, dan langsung ngeloyor. ”Nanti Bapak ganti. Bapak kan ingin mentraktir para wartawan,” ujarnya.

Bung Karno juga selalu membaca hasil liputan wartawan. Karena perhatiannya terhadap berita-berita, maka tiap pukul 04.00 pagi seorang kurir dari istana datang ke bagian percetakan Antara untuk mengambil buletin berita. Ita menuturkan, Bung Karno pernah sangat marah ketika melihat foto yang disiarkan Antara di koran-koran dengan rata-rata judul: rakyat tengah berebutan memungut beras yang tercecer di Tanjung Priok.

Menurut Bung Karno, foto tersebut merupakan propaganda dari pihak yang tidak senang kepada Indonesia. ”Seolah-olah rakyat Indonesia kelaparan,” ujar Bung Karno. Menurut Bung Karno, rakyat Indonesia tidak mungkin mengalami kelaparan karena makanan pokoknya tidak hanya beras, tapi juga sagu, jagung, dan ubi-ubian.

Pada masa itu, Bung Karno yang juga memelopori diversifikasi pangan sering mengundang para diplomat sarapan di istana sambil menikmati jagung rebus. Karenanya, dalam pidato 17 Agustus 1965, Presiden Soekarno mendeklarasikan bahwa Indonesia tidak akan mengimpor beras lagi.
 

Read Full Post »

Setelah lebih dua dasawarsa hubungan Indonesia dan Rusia mendingin, kini ditingkatkan kembali melalui kerja sama militer. Di Moskow, Presiden Megawati Soekarnoputri dan Presiden Vladimir Putin menandatangani kontrak pembelian dua buah pesawat jet tempur Sukhoi dan dua unit helikopter MI-35. Ada yang menilai kunjungan Megawati ke Moskow cukup berani mengingat hubungan Moskow dan Washington kini tengah memburuk akibat perang Irak. Megawati yang menyadari hal ini menegaskan politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif.

Hubungan Indonesia dan Rusia (dulu Uni Soviet) sangat akrab pada pertengahan 1950-an dan 1960-an. Boleh dibilang, hampir seluruh persenjataan tempur Indonesia saat itu, terutama saat Trikora (Tri Komando Rakyat untuk pembebasan Irian Barat) dan Dwikora (konfrontasi dengan Malaysia) berasal dari Rusia. Hingga Bung Karno menyatakan, kekuatan militer Indonesia terbesar dan terkuat di Asia Tenggara.

Mesranya hubungan RI-Soviet waktu itu tidak dapat dipisahkan dari persahabatan akrab antara Soekarno dan Perdana Menteri Nikita Kruschev. Kruschev berbadan gemuk dan pendek. Kepalanya botak dan hanya sedikit ditumbuhi rambut yang sudah memutih.

Ada persamaan antara keduanya. Setidak-tidaknya ketidaksenangan mereka terhadap Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Bung Karno pernah mengecam PBB sebagai alat imperlias dan kolonial, dan kemudian Indonesia keluar dari organisasi dunia ini. Sedangkan Kruschev pernah membuat heboh ketika berpidato di Sidang Umum PBB. Sambil berteriak mengecam AS, ia kemudian melepaskan sepatunya. Lalu berulang-ulang diketokkan ke meja tempat berpidato.

PM Kruschev dan Presiden Voroshilov pernah berkunjung ke Indonesia, seperti juga berbagai delegasi Uni Soviet lainnya. Termasuk tim sepak bola, kesenian, kebudayaan, dan film yang berkali-kali berkunjung ke sini. Bahkan Yuri Gagarin, kosmonot pertama ke ruang angkasa, juga berkunjung kemari. Ketika Kruschev tiba di Indonesia, dari Bandara Kemayoran hingga Istana Merdeka yang jaraknya hampir 10 km, lautan manusia mengelukannya di kiri kanan jalan.

Karuan saja hubungan mesra RI-Uni Soviet (US) membuat gerah AS. Kedua adidaya ini tengah bersaing untuk mempengaruhi dunia. Cindy Adams dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat memuat penuturan Bung Karno tentang memburuknya hubungan RI-AS. ”Kepergiannya ke Paking (Beijing) dan Moskow pada 1957, oleh AS dinilai sebagai langkah salah,” tutur Bung Karno. ”Itulah asalnya mereka mulai mencap seorang maha pencipta Tuhan sebagai seorang komunis yang pekat,” tambahnya.

Kala itu, Menlu AS John Foster Dulles dengan angkuh mengatakan pada Bung Karno, ”Politik AS bersifat global. Aliran netral adalah tidak bermoral.” Yang oleh Bung Karno dijawab, ”Sebagai sahabat yang bijaksana dan lebih tua, Amerika memberikan kami nasihat itu bisa. Akan tetapi janngan mencampuri persoalan kami.” AS kala itu juga mencap komunis terhadap tiap gerakan kemerdekaan dunia ketiga. Karena politik AS itulah, setidak-tidaknya turut membesarkan kekuatan Partai Komunis Indonesia di sini.

Lalu Bung Karno menuturkan bagaimana di US dia disambut besar-besaran. ”Di Moskow 150 orang barisan musik menyanyikan lagu ”Indonesia Raya” sebagai penyambutanku di lapangan terbang, sungguh pun aku datang dengan pesawat Pan Am (milik perusahaan AS). Pemandangan ini membuat mataku berlinang karena bangga. Bangga karena negeri kami mendapat penghargaan demikian.”

Jenderal AH Nasution selaku menko hankam/pangab yang terlebih dulu berada di Moskow sebelum Bung Karno tiba dalam buku ”Memenuhi Panggilan Tugas,” jilid 6 menulis, ”Bung Karno mendarat dengan pesawat Pan Am. Kemudian para pramugari Amerika yang cantik-cantik berseragam biru itu membuat jajaran di tangga pesawat.” Maka PM Kruschev menggoda saya, ”Jenderal alangkah manisnya gadis-gadis Indonesia.” Terhadap kritik halus ini Pak Nas menyahut, ”Ah PM telah pernah berkunjung ke Indonesia. Di sana tidak ada rambut-rambut yang pirang demikian.”
Setelah kunjungan ke Moskow ini, berbagai gosip diembuskan oleh Barat terhadap pribadi Bung Karno. Termasuk majalah terkemuka Time,Newsweek, dan Life.

”Barat selalu menuduhku terlalu memperlihatkan muka manis kepada negara-negara sosialis. Oohh, kata mereka lihatlah Soekarno lagi-lagi bermain mata dengan Blok Timur, ” kata Bung Karno. Oleh Bung Karno dijawab, negara sosialis tidak pernah mempermalukannya, seperti dilakukan Barat. ”Kruschev mengirimkan jam dan puding dua minggu sekali, dan memetikkan apel, gandum, dan hasil tanaman lainnya dari panen yang terbaik.”

Konon, Bung Karno juga pernah menerima hadiah sebuah pesawat Ilyusin dari US yang kemudian diberi nama Dolok Martimbang. ”Jadi, apakah salahnya bila aku berterima kasih kepadanya. Siapakah yang tidak akan bersikap ramah, terhadap seseorang yang bersiakap ramah kepadanya? Apa yang aku ucapkan itu adalah tanda terima kasih, bukan komunisme. Pandirlah aku bila aku membuang muka, bilamana ia diberi begitu banyak,” kilah Bung Karno.

Di antara bantuan US yang hingga kini berdiri dengan megah adalah Stadion Utama Bung Karno beserta kompleks Istora Senayan. Stadion ini pernah menjadi tempat pesta Asian Games IV dan Ganefo (Games of the New Emerging Forces) I. Ganefo diselenggarakan untuk mematahkan dominasi IOC (Komite Olimpiade Internasional) yang telah menskorsing Indonesia karena menolak kehadiran Israel pada AG ke-IV. Di stadion ini Bung Karno sering berpidato pada rapat-rapat raksasa yang dihadiri ratusan ribu massa.

Kala itu, kekuatan politik seperti Partai Nasional Indonesia, PKI, dan Nahdlatul Ulama saling bersaing dalam mengerahkan massa seperti yang terjadi pada hari ulang tahun PNI, PKI, dan NU. Bung Karno kurang berkenan bila –saat berpidato– stadion yang dapat menampung lebih 100 ribu massa itu tidak penuh.

Read Full Post »

Sukarno – Hatta

Hingga kini tetap marak perdebatan mengenai masa depan pemerintahan RI, antara sistem otonomi daerah dan sistem federasi, di tengah-tengah keemohan daerah-daerah terhadap sistem sentralisme selama ini.

Lepas dari maraknya beda pendapat mengenai sistem pemerintahan masa mendatang itu, rupanya beda pendapat ini pernah terjadi pada awal-awal pembentukan negara. Tidak tanggung-tanggung antara Bung Karno dan Bung Hatta, yang pada 17 Aguistus 1945 bersama-sama memproklamirkan kemerdekaan RI. Masalah perbedaan ini, dikemukakan sendiri oleh kedua tokoh nasional dan bapak bangsa itu.

”Saya pernah bertanya kepada Bung Karno, apa bedanya ia dengan Bung Hatta,” demikian Solichin Salam dalam bukunya Soekarno-Hatta yang diterbitkan Pusat Studi dan Penelitian Islam. ”Saya unitaris, Hatta federalis,” jawab Bung Karno singkat.

Setelah itu, Solichin mewawancarai Bung Hatta. ”Berbicara tentang bentuk negara Indonesia yang dicita-citakan sebelum Indonesia merdeka, saya tanyakan kepada Bung Hatta kenapa ia waktu itu cenderung pada bentuk negara federal dari negara kesatuan.”

Jawab Bung Hatta: ”Saya cenderung kepada bentuk Negara Federal karena melihat contoh negara-negara besar waktu itu, seperti Amerika Serikat atau Uni Soviet yang semuanya berbentuk federal.” Tetapi sekalipun beda pendapat, sebagai seorang demokrat Bung Hatta tetap tunduk dan patuh kepada keputusan suara terbanyak, memilih Negara Kesatuan RI.

Bung Karno pada masa demokrasi terpimpin sering mengeritik hasil Konperensi Medja Bundar (KMB) di Den Haag di mana delegasi Indonesia dipimpin diwakili oleh Bung Hatta. Sebagai hasil KMB akhir Desember 1949, Indonesia dan Belanda menyetujui pembentukan negara Republik Indonesia Serikat (RIS), yang berbentuk negara federal. Menurut Bung Karno, akibat kompromi-kompromi mental inilah yang mengakibatkan memburuknya keadaan pada 1950-1962.

Kedua proklamirkan kemerdekaan ini bahkan mengakui beda pendapat dan pendirian terjadi sejak tahun 1930’an saat keduanya menggerakan perjuangan kemerdekaan. ”Hatta berlainan sekali denganku dalam sifat dan pembawaan,” kata Presiden Sukarno dalam bukunya Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat karangan Cindy Adams. Tapi, Bung Karno sendiri, termasuk pada masa jayanya PKI tetap memuji Bung Hatta selama perjuangannya itu.

Dalam perjuangan di masa itu, menurut Bung Karno, Hatta menekankan pada kader-kader, sedangkan ia lebih memilih mendatangi secara langsung rakyat jelata dan membakar hati mereka seperti yang selama ini dilakukannya. Menurut Bung Karno, cara yang dilakukan Hatta memerlukan waktu sangat lama dan ‘baru tercapai bila dunia kiamat’.

Tapi Hatta tetap pada pendirian melakukan perjuangan melalui pendidikan praktis kepada rakyat. Cara ini, menurutnya lebih baik dari atas dasar daya tarik pribadi seorang pemimpin seperti yang dilakukan Bung Karno. Hingga apabila pimpinan atasan tidak ada, praktis tetap berjalan dengan pimpinan bawahan. Karena selama ini, kata Hatta waktu itu, kalau Sukarno tidak ada, praktis partai tidak berjalan.

I Wangsa Widjaya, dalam buku Mengenang Bung Hatta, menulis, di balik perbedaan yang ada antara kedua tokoh nasional ini, ada sesuatu yang sangat unik. ”Antara Bung Karno dan Bung Hatta telah terjalan satu hubungan yang amat akrab sehingga orang menyebutnya dwitunggal.” Sikap erat kedua tokoh nasional Indonesia ini, sudah ditampakkan pada masa pendudukan Jepang. Bahkan, pada 17 Agustus 1945, saat Bung Karno didesak oleh para pemuda untuk memproklamirkan kemerdekaan, ia menolak sebelum Bung Hatta datang.

Memang kemudian dwitunggal itu tidak berfungsi lagi dengan pengunduran diri Bung Hatta sebagai wakil presiden pada 1 Desember 1956. Karena terjadi beberapa perbedaan prinsipil antara keduanya. Hatta tidak sependapat dengan Bung Karno bahwa revolusi belum selesai dan agak mengenyampingkan pembangunan. Ia berpendapat revolusi sudah selesai dengan tercapainya kermerdekaan.

Menurut Wangsawidjaya, yang waktu itu menjadi sekretaris pribadi Bung Hatta, orang nomor dua di Indonesia ini meletakkan jabatan bukan hanya dikarenakan Bung Karno yang tindakannya sering menyimpang. Terutama, karena keadaan pemerintahan dewasa itu (1950-1958). Saat parpol saling menyerang dan bertengkar secara tidak sehat, karena condong bersikap sebagai orang partai daripada negarawan. Sedang partai yang berkuasa lebih mementingkan politik dan aspirasi partainya katimbang kepentingan bangsa dan negara.

Sekalipun sudah tidak lagi sebagai wakil presiden, tapi perhatian Bung Hatta terhadap nusa dan bangsa tetap besar. Ketika pecah pemberontakan PRRI ia berupaya sekuat tenaga mengusahakan perdamaian antara pusat dan daerah. Indonesia, katanya, tidak boleh pecah, malah harus memperkuat persatuan.

”Empat kali saya berupaya menghalang-halangi (pemberontakan PRRI-pen.), tapi tidak berhasil. Saya tegaskan bahwa tindakan itu akan mencapai sebaliknya dari yang dimaksud, akan menghancurkan apa yang telah dibangun dengan usaha sendiri serta menjadikan Sumatera Barat sebagai padang dilajang gajah, dan last but not least memperkuat semangat diktatur di kalangan pemerintahan.” (Solichin Salam: Sukarno – Hatta).

Hatta sendiri, kepada Solichin menceritakan bagaimana akrabnya ia dan Bung Karno waktu itu. ”Hingga tiap surat yang akan ditandatanganinya ditolak sebelum ada paraf saya. Dan tiap keputusan yang saya ambil Bung Karno selalu menyetujuinya.”

Sedangkan Wangsa, yang menjadi sekretaris pribad Bung Hatta hingga tokoh ini meninggal dunia menyatakan, sekalipun sering terjadi beda pendapat tapi keduanya tidak pernah saling mendendam. Sebagai bukti Bung Hatta tidak dendam pada Bung Karno ialah peristiwa menjelang wafatnya presiden pertama RI ini.

Pada tanggal 19 Juni 1970, atau dua hari sebelum Bung Karno wafat, Bung Hatta dan Wangsawidjaja mengunjungi RSPAD Gatot Subroto untuk menjenguk Bung Karno. Setelah sebelumnya mereka dapat kabar dari Mas Agung (Dirut PT Gunung Agung), bahwa Bung Karno dalam keadaan gawat. Sakitnya Bung Karno ini memang sangat dirahasiakan pemerintah. Karena itulah, Hatta sebelum membesuknya harus minta izin terlebih dulu kepada Pak Harto melalui Sekmil Jenderal Tjokropranolo.

Sesampainya Bung Hatta dan sekretarisnya ke RSPAD mereka mendapatkan bahwa Bung Karno sudah tidak sadarkan diri. ”Saya melihat Bung Hatta begitu sedih melihat keadaan Bung Karno,” tulis Wangsawidjaja. Tapi untungnya tidak lama kemudian Bung Karno siuman.

”O o Hatta, kau ada di sini. Kau juga Wangsa,” ujar Bung Karno perlahan. ”Sebenarnya masih ada ucapan lisan yang dikatakan oleh Bung Karno kepada Bung Hatta. Tetapi, saya tidak tahu persis, karena ucapan Bung Karno terlalu pelan,” tutur Wangsa.

Dan itulah pertemuan terakhir dua bapak bangsa, yang selama puluhan tahun berjuang untuk mencapai kemerdekaan, tanpa peduli harus masuk dan keluar penjara dan diasingkan ke berbagai tempat. ”Suatu pertemuan yang amat mengharukan antara dua orang sahabat,” demikian tulis Wangsawijaya.

Beberapa hari sebelum Bung Karno meninggal dunia, berita sakitnya itu dilaporkan oleh Ali Moertopo, Aspri Presiden kepada Pak Harto di Bina Geraha. Rupanya, waktu itu Ali Moertopo masih menunjukkan ketidaksenangannya kepada Bung Karno. ”Kalau ia meninggal pun saya tidak regret,” katanya kepada pers.

Read Full Post »

Ada istilah Betawi: “Cepeng bau tai ayam.” Kiasan ini diucapkan seseorang untuk menyatakan bahwa dirinya lagi tidak berduit, alias tafran. Tidak punya fulus, kata orang Arab. Bokek, menurut istilah sekarang yang konon berasal dari bahasa Cina. Tapi, mungkin banyak yang tidak tahu apa itu cepeng. Cepeng berasal dari kata fen, satuan mata uang Cina terkecil yang pernah berlaku di Indonesia. Nilainya seperempat sen. Entah karena apa, oleh lidah Betawi disebut peng. Atau cepeng, yang berarti satu peng.

Di Bandar Sunda Kelapa, Pasar Ikan, jauh sebelum kedatangan VOC sudah berdatangan para pedagang Cina. Demikian pula pedagang Arab dan Portugis, hingga berlakunya juga mata uang cruzede (Portugis) dan real (Arab). Pada masa awal VOC, Belanda banyak menggunakan mata uang Cina. Terdiri dari uang logam yang ditengahnya berhuruf Cina, dan dibuat dari timah hitam. Kapiten Cina, Souw Beng Kong, pernah ditugaskan VOC untuk mendatangkan mata uang itu dari daratan Cina.

Kembali pada uang yang berlaku hingga akhir pemerintahan Belanda, ada mata uang yang bernilai setengah sen, dan disebut sepeser. Sepeser ketika itu bisa untuk membeli nasi uduk dan ketan urap. Kalau sekarang murid sekolah harus diberi bekal untuk jajan seribu rupiah, dulu cukup satu sen. Seperti diceritakan H Irwan Syafi’ie, (71 tahun), pengalamannya ketika kecil tinggal di Dukuh Atas, Setiabudi, Jakarta Selatan. “Waktu itu, punya uang sepeser (setengah sen) bisa beli dua potong tahu,” ujarnya.

Uang receh lainnya adalah sepincang atau satu setengah sen. Setelah itu segobang atau sebenggol (dua setengah sen). Uang segobang sampai 1940-an cukup bernilai, karena harga beras sekitar 2 sen hingga segobang per liter. Tapi, harga ini dirasakan sangat tinggi, karena sebelum krisis ekonomi atau yang disebut zaman malaise (1930 – 1934), harga beras satu sen per liter.

Tidak heran, menjelang jatuhnya Belanda ke tangan Jepang (1942), para ibu dan bapak berteriak-teriak minta agar pesawat-pesawat Jepang yang tengah demonstrasi di udara Nusantara segera turun. Dengan harapan, agar harga-harga barang, terutama beras bisa turun kembali menjadi satu sen per liter. Sayangnya, yang terjadi justru kebalikannya, karena selama tiga setengah tahun penjajahan Jepang, puluhan ribu rakyat mati kelaparan. Sementara, sandang hilang dari pasaran, sehingga banyak orang memakai kain dari karung goni.

Kembali ke masa malaise, yang oleh para pejuang dipelesetkan jadi ‘zaman meleset’, Bung Karno dalam harian ‘Fikiran Rakyat’ (1934), mengkritik pemerintah kolonial.Kritik itu dilontarkan karena menderitanya rakyat Indonesia akibat menurunnya pendapatan mereka. “Sebelum zaman meleset pendapatan orang Indonesia 8 sen sehari. Setelah zaman meleset 4 sen sehari. Kemudian merosot lagi menjadi sebenggol (segobang) sehari. Padahal, ransum di penjara yang begitu jelek 14 sen sehari.” Kemudian Bung Karno menceritakan pengalamannya selama di penjara Bancey, Bandung selama 15 bulan dan Sukamiskin di kota yang sama selama 9 bulan.

Harian ‘Sin Po’ (27-3-1933) menulis, “Malaise yang mengamuk di mana-mana telah bikin sengsara dan kelaparan penduduk desa Trogong, Kebayoran.” Trogong, nama desa di Kebayoran Lama kala itu.

Kita kembali kepada mata uang di masa kolonial Belanda. Pecahan di atas segobang adalah sekelip, yang bernilai lima sen. Kemudian sepicis atau 10 sen. Setelah itu 50 sen atau setengah perak. Kemudian berturut-turut satu rupiah, seringgit (dua setengah rupiah), lima rupiah dan sepuluh rupiah. Mendurut H Irwan Syafi’ie, waktu itu jarang orang di kampung melihat uang Rp 5 atau Rp 10 rupiah. Karena gaji satu minggu lima perak sudah sangat besar. Waktu itu, harga kain batik buatan Palmerah hanya sepicis.

Belanda waktu itu juga membuat uang emas dari koin, seperti talenan (25 sen), 50 sen, 1 gulden. Nilai uang emas satu gulden sama dengan 12,5 gulden. Bagi para ibu yang berduit, koin emas ini mereka jadikan kalung dan gelang.

Nilai uang gulden waktu itu memang sangat kuat. Satu dolar Singapura nilainya hanya 85 sen. Tidak heran, kalau harga sebuah rumah cukup besar di kawasan elite Menteng berharga 1.500 rupiah/gulden.

Read Full Post »

Politik Berdikari Bung Karno

Kini, semakin marak pendapat perlunya Indonesia melepaskan ketergantungan pada pihak asing dan menjadi bangsa yang mandiri. Pendapat senada juga dikemukakan oleh MUI ketika diterima presiden Megawati Soekarnoputri awal pekan ini. Baik Presiden maupun MUI rupanya punya pandangan sama bagaimana Indonesia nantinya menjadi bangsa mandiri dan berdikari (berdiri diatas kaki sendiri).

Politik berdikari menjadi populer setelah Bung Karno memberi judul pidatonya 17 Agustus 1965: ‘Tahun Berdikari’. Sekalipun prinsip politik berdikari sering dikemukakannya pada tahun-tahun sebelumnya. Dalam pidato 17 Agustus 1964 misalnya, Bung Karno mengemukakan prinsip Trisakti Tavip (Tahun Vivere Pericoloso). Di sini ia menjelaskan tiga prinsip berdikari. Yakni, berdaulat dalam bidang politik, berdikari dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan. Ketiga-tiganya prinsip berdikari ini, kata Bung Karno, tidak dapat dipisahkan dan dipreteli satu sama lain. Menurutnya, tidak mungkin akan ada kedaulatan dalam politik dan berkepribadian dalam kebudayaan, bila tidak berdirikari dalam ekonomi. Demikian pula sebaiknya.

Dengan berdaulat dalam bidang politik, Bung Karno menginginkan agar bangsa Indonesia benar-benar berdaulat dan tidak bisa didikte oleh siapapun. Di samping itu ia sering menegaskan bahwa bangsa Indonesia tidak akan menjadi bangsa mengemis, lebih-lebih kepada kaum imperalis.

Berdikari dalam ekonomi berarti kita harus bersandar pada dana dan tenaga yang memang sudah ada di tangan kita dan menggunakannya semaksimal-maksimalnya. Tidak boleh lagi terjadi ‘ayam mati dilumbung’, karena tanah air kita kaya raya. Menjelaskan berkepribadian dalam kebudayaan, Bung Karno menegaskan bahwa budaya kita kaya raya yang harus kita gali. Karenanya, ia menganggap tepat sekali diboikotnya film-film Inggris dan AS ketika itu. Juga tepat pemberantasan ‘musik’ The Beattle, literatur picisan, dansa-dansi gila-gilaan. Apa yang dikuatirkan Bung Karno itu kini menjadi kenyataan dengan makin merajalelanya dekadensi moral para muda-mudi.

Melalui Dekon (Deklarasi Ekonomi), sebagai perencanaan pembangunan ekonomi berdiri, Bung Karno meletakkan kedudukan rakyat sebagai sumber daya sosial bagi pembangunan. Ia yakin bahwa rakyat akan menjadi sumber daya ekonomi yang optimal bagi pembangunan bila aktivitas dan kreatifitasnya dikembangkan. Ia tanpa tedeng aling-aling mengecam keras cara-cara text-book thinking. Mengambil begitu saja pemikiran-pemikiran para ahli ekonomi Barat, tanpa memperhatikan kondisi di Indonesia.

Dalam kaitan kerjasama ekonomi dengan negara-negara imperialis, ucapan Bung Karno yang sangat terkenal adalah : “Go to hell with your aid” seringkali ditafsirkan sebagai sikapnya yang usang terhadap bantuan asing, modal asing, bahkan segala yang berbau asing.

Sebenarnya, tidaklah tepat kalau Bung Karno anti bantuan dan modal asing. Karena ketika membangun kompleks stadion utama Senayan dari bantuan Uni Soviet. Sedangkan jembatan Semangi dari Amerika. Tapi, ketika AS mau membantu dengan mengharuskan Indonesia mengikuti politiknya, yang merupakan ikatan, Bung Karno tegas-tegas menolak. Dekon sendiri, yang waktu itu merupakan Manipolnya bidang ekonomi menyatakan, bilamana dengan kekuatan fund and forces nasional tidak mencukupi, maka harus dicarikan kredit luar negeri yang tidak bertentangan dengan politik kita.

Dalam kaitan politik berdikari ini, sampai-sampai Bung Karno mengkaitkannya dengan kehadiran Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Mahkota kemerdekaan suatu bangsa adalah bukan keanggotaan PBB, tetapi berdikari. Bahkan, Bung Karno sejak tahun 1960 nyata-nyata menuduh organisasi dunia ini hanya menguntungkan imperialisme dan merugikan negara-negara berkembang. Pada 1 Januari 1965 Indonesia keluar dari PBB.

Tidak hanya keluar dari PBB, Bung Karno bahkan ingin mengadakan Conefo (Conference of the New Emerging Forces) sebagai tandingan PBB. Untuk itu, ia sudah menyiapkan gedungnya, yang sekarang ini menjadi gedung MPR/DPR. Tapi, tekadnya ini tidak berhasil karena ia jatuh. Kita tidak tahu apa jadinya bila Conefo menjadi kenyataan.

Sedangkan tudingannya terhadap PBB itu kini menjadi kenyataan. Banyak negara, termasuk PM Mahathir Muhammad mengeluhkan karena PBB telah menjadi alat imperialisme Amerika Serikat.

Seperti embargo ekonomi terhadap Irak, sekalipun jutaan bayi menderita dan meninggal dunia, lumpuhnya ekonomi rakyat Irak, dan berbagai penderitaan lainnya, PBB tidak punya kepedulian sedikit pun. Bahkan, ketika Amerika Serikat mengadakan invasi ke Afganistan dengan alasan memerangi terorisme, PBB mendukungnya. Tidak peduli jatuhnya banyak korban sipil yang tidak berdosa.

Read Full Post »

Amerika Serikat akan mengerahkan berbagai cara untuk menangkap ‘hidup atau mati’ Osama Bin Laden. Ia dituduh terlibat dalam serangan di gedung WTC dan Pentagon, 11 September lalu. Sejauh ini bukan hanya Osama yang dinyatakan sebagai musuh utama AS. Karena sebelumnya, negara adidaya ini pernah memburu Khadafi. Bahkan kemah pemimpin Libia ini pernah diserang pesawat AS. Presiden Irak, Saddam Husein juga pernah menerima ancaman yang sama. Berbagai cara diupayakan AS untuk menjatuhkan Saddam, termasuk tidak akan menghentikan embargo selama Saddam masih hidup. Tidak peduli puluhan ribu rakyat Irak harus menderita, termasuk balita karena kekurangan gizi dan bahan makanan.

Indonesia sendiri, pernah mengalami ‘perlakuan’ serupa. Presiden Sukarno kerap mendapat ancaman, kecaman, dan teror dari AS. Presiden Sukarno seperti yang dituturkan kepada pengarang AS Cindy Adams, bahwa ketidaksenangan AS terhadap Sukarno dan RI sudah muncul ketika kunjungan pertama Sukarno ke negara Uncle Sam, Mei 1956. Waktu itu, Bung Karno menjelaskan kepada Menlu John Fuster Dulles, dasar politik Indonesia. ”Kami tidak mempunyai hasrat untuk meniru Uni Soviet, juga tidak mau mengikuti dengan membabi-buta jalan yang direntangkan oleh Amerika untuk kami. Kami tidak akan menjadi satelit dari salah satu blok.”

Sayangnya, politik seperti ini disalahartikan oleh AS. Negara superpower ini hanya menyukai bila kita memilih pihak seperti yang dikehendakinya. Politik AS ketika itu demikian kakunya, sehingga negara yang tidak sependapat dengannya dianggap tergolong dalam blok Soviet.

Berkata Menlu AS itu. ”Politik AS bersifat global. Suatu negara harus memilih salah satu pihak. Aliran yang netral adalah immoral (tidak bermoral).”

Bung Karno menilai AS tidak memahami masalah Asia. Dalam salah satu dialognya dengan Presiden Eisenhower, Bung Karno menyatakan sebagai sahabat yang bijaksana dan lebih tua, Amerika bisa saja memberi nasihat kepada Indonesia. ”Memberi kami nasihat ‘bisa’. Akan tetapi mencampuri persoalan kami, jangan.”

Yang menjengkelkan AS, Bung Karno tanpa tedeng aling-aling menyerang agresi AS di Vietnam. Ia bahkan berkali-kali meminta AS agar segera mundur dari Vietnam. Sambil terus mengutuk bom-bom napalm dan persenjataan berat lainnya yang dialamatkan kepada rakyat Vietnam. ”Kalau agresi AS ini kita biarkan, dia akan merupakan bahaya besar bagi seluruh tata hidup internasional.”
Jauh sebelum AS menderita kekalahan di Vietnam, Bung Karno memberikan nasihat agar AS segera menarik pasukan-pasukannya dari Vietnam dan seluruh Indocina. ”Jika mereka emoh menarik diri mereka bisa kehilangan segala-galanya.” Apa yang diramalkannya itu menjadi kenyataan. Ketika kemudian seluruh pasukan AS terpaksa harus meninggalkan Vietnam.

Bahkan, menjelang meletusnya G30S/PKI, Bung Karno sudah melakukan persiapan untuk menyelenggarakan Konferensi Internasional Anti-Pangkalan Asing (KIAPMA) di Jakarta. Hampir bersamaan akan diselenggarakan Conefo. Kedua konferensi internasional ini, tegas Bung Karno, untuk ‘meruntuhkan’ hegenomi Nekolim. ”Ini dadaku, mana dadamu.” kata Bung Karno lantang dalam berbagai pidato di banyak tempat.

Pertentangan antara RI-AS mencapai puncaknya ketika pecah pemberontakan PRRI/Permesta. Apalagi Amerika Serikat memberikan bantuan senjata untuk melawan Sukarno. Sementara sebuah pesawat pengebom AS (B-25) ditembak jatuh oleh TNI di Ambon. Pilotnya seorang penerbang Amerika, Allan Lawrence Pope, ditangkap. Usaha-usaha Central Intelegence Agency (CIA) atau Pusat Intelejen AS menjatuhkan pemerintahan Sukarno didukung oleh sebuah task force lepas pantai dari Armada VII AS. (Manai Sophian: Kehormatan Bagi yang Berhak.) Bung Karno juga sering mengatakan bahwa CIA berupaya untuk membunuhnya.

Dalam pidato di PBB berjudul ‘Membangun Dunia Kembali’, Bung Karno terang-terangan menuduh organisasi bangsa-bangsa ini sebagai sarang negara besar dan didominasi oleh kaum imperialis. ”Dengan menguntungkan Israel dan merugikan rakyat Arab, PBB harus diretul,” katanya. Dan, Indonesia pun kemudian keluar dari PBB.
 

Read Full Post »

Bung Karno dan Jago Betawi

Bung Karno rupanya seorang pecinta pencak silat. Presiden pertama RI ini selalu menganjurkan para pemuda Indonesia menjadi ksatria bangsa, berotot kawat, bertulang besi. Karena itulah, ketika ia menerima Master Oyama di Istana Merdeka, ia meminta agar dihadapkan di depan tokoh karate Jepang itu seorang ahli silat Indonesia. Kunjungan Oyama –yang telah mencapai Dan VII– bertujuan agar karate bisa diterima di Indonesia.

Di hadapan tamu dari Jepang, Zakaria, pemuda Betawi dari Kwitang, Jakarta Pusat, memperlihatkan teknik bermain senjata dan memecahkan batu dengan menggunakan pergelangan tangan. Jago silat ini juga menunjukkan kemahirannya memainkan senjata pisau dengan kecepatan tinggi.

Atraksi ini mengundang kekaguman master karate Jepang. Ia mengatakan pada Bung Karno, ”Mengapa Anda memiliki pemain sebagus ini (pencak silat -red), kok pemuda-pemudinya kurang menyukai. Justru lebih suka bela diri dari Jepang?”

Zakaria, dari perkumpulan pencak silat Mustika Kwitang, kini usianya sudah berkepala enam. Ia murid jagoan Kwitang, H Muhammad Zaelani. Seperti juga para jago silat Betawi lainnya, Mad Zaelani, panggilannya sehari-hari adalah seorang pejuang kemerdekaan. Menurut H Irwan Sjafi’ie, ketua Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB), Mad Zaelani pernah dihukum penjara seumur hidup oleh Belanda. Sebabnya, sekitar 1940-an ia membunuh seorang konsulat jenderal Jepang di Batavia. Disangkanya itu seorang Cina, kaki-tangan Belanda. Ia dibebaskan Barisan Pelopor pada masa revolusi fisik.

O’ong Maryono, dalam buku ”Pencak Silat Menentang Wakut” menceritakan, pencak silat sudah dipertunjukkan sejak abad ke-16, saat pesta-pesta perkawinan di Jayakarta. Dalam waktu hampir bersamaan di Pulau Jawa terjadi asimilasi antara ilmu bela diri dari negara yang berbeda. Seperti diketahui, ketika JP Coen membangun Batavia, ia memboyong warga Cina dari Banten. Di antara mereka terdapat ahli kuntao, ilmu bela diri Cina. Pada mulanya mereka tinggal di rumah-rumah yang tersebar di seluruh Kota. Tapi, sejak pembunuhan massal terhadap orang Cina (1740), mereka dialokasikan di pemukiman baru (Glodok sekarang). Kemudian ada yang bermukim di Kramat Bunder Senen. Di kedua tempat ini kuntao dipraktekkan.

Berdasarkan penelitian O’ong Maryono, di Kwitang yang bersebelahan dengan Senen, tinggal keluarga pendatang dari Cina Selatan, bernama Kwee Tang Kiam. Dia penjual ramuan obat tradisional yang mashur kemanjurannya di antero Betawi. Hingga daerah tempat tinggalnya dinamakan Kwitang.

Kwee Tang juga dikenal pendekar silat yang tangguh. Konon, seorang Betawi yang tidak senang melihat orang asing begitu terkenal ingin mengujinya. Akhirnya terjadi kesepakatan untuk naik liutai (arena pertandingan). Dalam piebu (duel) yang amat seru, dimenangkan anak Betawi. Kwee Tang mengakui kekalahannya, masuk Islam dan memberikan semua kelihaian teknik yang dimilikinya pada pendekar Betawi itu.

H Irwan Sjafi’ie membenarkan terjadinya akulturasi antara ilmu silat dari Tiongkok dengan Betawi. Contohnya ilmu silat beksie. Singkatan dari bek (pertahanan) dan sie (empat). Atau pertahanan empat arah: depan, belakang, samping kanan dan samping kiri. Beksie dipelajari tiga pendekar Betawi, Petukangan (Jakarta Barat) dari seorang Cina, bernama Ceng Ok. Ketiganya: H Gozali, H Hasbullah dan H Nurali kemudian mengembangkannya di Batavia.

Betawi, banyak menghasilkan pemain silat terkemuka. Hampir di tiap kampung, di tempo doeloe terdapat para jagoan. Mereka menggunakan ilmu bela diri untuk amar makruf nahi munkar. Mengajak orang ke jalan kebaikan dan mencegah kezaliman. Dalam wawasan ini orang muslim yang kuat lahir dan batin lebih dicintai Allah ketimbang muslim yang lemah (hadis).

Kini, pencak silat sudah go international. Puluhan negara sudah bergabung dalam Persekutuan Pencak Silat antar Bangsa (Persilat), diketuai Edie M Nalapraya. Dalam SEA Games minggu depan di Kuala Lumpur, pesilat-pesilat Indonesia diharapkan dapat merebut juara pertama. Karena dua tahun lalu di Brunei Darussalam, hanya keluar sebagai juara kedua. Padahal, para pelatihnya berasal dari Indonesia.

Merupakan tugas IPSI untuk menggairahkan kembali olahraga bela diri ini. Bila diingat, pencak silat kini tengah diperjuangkan untuk dipertandingkan di Asian Games dan olimpiade dunia. Jangan sampai, warisan budaya Indonesia ini di dunia internasional direbut bangsa asing. Kita hanya menjadi penonton, tidak kebagian medali.
 

Read Full Post »

”….Tetapi apa jang kita ‘tjutat’ dari Kalam Allah dan Sunnah Rasul itu? Bukan apinja, bukan njalanja, bukan flamenja, tetapi abunja, debunja, asbesnja. Abunja jang berupa tjelak mata dan sorban, abunja yang yang mentjintai kemenjan dan tunggangan onta, abunja jang bersifat Islam mulut dan Islam-ibadat — zonder taqwa, abunja jang cuma tahu batja Fatihah dan tahlil sahaja — tetapi bukan apinja jang menjala-njala dari udjung zaman jang satu ke udjung zaman jang lain ….”

Kalimat itu ditulis Sukarno dari Endeh, Flores, 18 Agustus 1936. Selama di pengasingan (1934-1941), Sukarno yang kesepian — ia hanya ditemani isterinya Inggit Ganarsih (setelah ia menceraikan Utari, putri Haji Oemar Said Tjokroaminoto), anak angkatnya, dan mertuanya — secara rutin menyurati Ustad A Hassan, pemimpin Persatuan Islam (Persis) di Bandung, yang bersimpati kepadanya.

Dalam 12 pucuk suratnya, Sukarno memperlihatkan keresahan, kerisauan, dan keprihatinan melihat umat Islam yang dihinggapi penyakit kekolotan, kejumudan. Islam, menurutnya, agama yang tidak pernah membedakan harkat dan derajat manusia. Ia mengkritik keras kaum sayid, yang disebutnya sebagai pengeramatan atas manusia dan telah menghampiri kemusyrikan. ”Tersesatlah orang yang mengira bahwa Islam mengenal suatu ‘aristokrasi Islam’. Tiada satu agama yang menghendaki kesamarataan lebih daripada Islam. Pengeramatan manusia adalah salah satu sebab yang mematahkan jiwanya suatu agama dan umat, oleh karena pengeramatan manusia itu melanggar tauhid. Kalau tauhid rapuh, datanglah kebencanaan,” tulis Sukarno.

Dalam suratnya yang lain, Sukarno menulis: Demi Allah Islam science bukan hanya pengetahuan Alquran dan hadis saja. Islam science adalah pengetahuan Alquran-hadist plus pengetahuan umum! Orang tidak akan dapat memahami betul Alquran dan hadis kalau tidak berpengetahuan umum. Walau tafsir-tafsir Alquran yang masyhur dari zaman dulu — yang orang sudah kasih titel yang ‘keramat.’ seperti tafsir Al-Baghowi, tafsir Al-Baidhowi, tafsir Al-Mashari dls — masih bercacat sekali; cacat-cacat yang saya maksudkan ialah, misalnya bagaimanakah orang bisa mengerti betul-betul firman Tuhan, bahwa segala sesuatu itu dibikin oleh-Nya, berjodoh-jodohan, kalau tidak mengetahui biologi, tak mengetahui elektron, tak mengetahui positif negatif, tak mengetahuai aksi reaksi? Bagaimanakah mengerti ayat-ayat yang yang meriwayatkan Iskandar Zulkarnain, kalau tak mengetahui sedikit history dan archaeologi.

Sukarno berharap mubaligh-mubaligh berilmu tinggi. Ia memuji M Natsir — salah seorang murid Hassan — yang pada hari kemudian berpolemik keras dengannya tentang Islam dan politik. Sebaliknya, Sukarno secara keras mengkritik mubaligh-mubaligh yang tidak bisa memadukan pengajaran Islam dengan pengetahuan modern itu.

Ia menulis surat kepada Ustad Hassan: Tanyalah kepada itu ribuan orang Eropa yang masuk Islam di dalam abad ke-20 ini: dengan cara apa dan dari siapa mereka mendapat tahu, baik tidaknya Islam dan mereka akan menjawab bukan dari guru-guru yang hanya menyuruh muridnya ‘beriman’ dan ‘percaya’ saja. Bukan dari mubaligh-mubaligh yang tarik muka angker dan hanya tahu putarkan tasbih saja, tetapi dari mubaligh yang memakai cara penerangan yang masuk akal — karena berpengetahuan umum. Mereka masuk Islam karena mubaligh-mubaligh yang menghela mereka itu ialah mubaligh-mubaligh modern dan scientific dan bukan mubaligh ‘ala Hadramaut’ atau ‘ala kiai bersorban’. Percayalah bila Islam dipropagandakan dengan cara yang masuk akal dan up to date, seluruh dunia akan sadar kepada kebenaran Islam.

Sukarno dilahirkan 6 Juni 1901 di Surabaya. Ayahnya, Raden Sukemi Sastrodihardjo, seorang guru. Ibunya, Ida Ayu Nyoman Rai masuk Islam setelah menikah dengan Sukemi. Kusno — nama kecil Sukarno — tidak mendapatkan pendidikan yang cukup tentang Islam. ”Ibu adalah meskipun beragama Islam asal daripada agama lain, orang Bali. Bapak, meskipun beragama Islam, beliau adalah beragama, jikalau boleh dinamakan agama, teosofi. Jadi kedua kedua orangtua saya ini yang saya cintai dengan segenap jiwa saya, sebenarnya tidak dapat memberikan pengajaran kepada saya tentang agama Islam,” ujar Sukarno ketika berpidato di hadapan Muktamar ke-32 Muhammadiyah di Gelora Sukarno, Jakarta, 25 Nopember 1962.

Soekarno wafat di RSPAD Jakarta pada 21 Juni 1970 pukul 03.30 WIB dalam keadaan merana, setelah tiga tahun menjalani karantina politik. Semasa hidup, Sukarno meminta dikubur dengan membawa nama Muhammadiyah atas kain kafannya. Ia juga meminta dimakamkan di suatu tempat di Kebun Raya Bogor. Pada wasiat lain, ia meminta dimakamkan di Batutulis, Bogor. Proklamator itu akhirnya dimakamkan di Blitar.
Perkenalan Sukarno dengan Islam tidak diawali dari surat menyurat dengan Hasan. Setelah tamat dari sekolah dasar Ropa (Europese Lagera School), 1915, Sukarno memperoleh kesempatan melanjutkan studinya di Hogere Burger School (HBS) di Surabaya. Selama di Surabaya, Sukarno menumpang di rumah Haji Oemar Said Tjokroaminoto, tokoh Islam pimpinan kharismatik Serikat Islam (SI). Di sinilah ia mulai ikut dalam pergerakan Islam dan di sini pula ia lebih mengenal Islam melalui ceramah-ceramah pendiri Muhammadiyah, KH Achmad Dahlan.

Perkenalannya dengan Dahlan ketika Dahlan berceramah di dekat rumah Tjokroaminoto di Penilih. Setelah itu, setiap Dahlan ceramah, ia selalu ikut. ”Sejak umur 15 tahun, saat saya berdiam di rumah Tjokroaminoto, saya telah terpukau dengan KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, dan saya sering mengikuti ceramah-ceramahnya,” kata Sukarno di Muktamar Muhammadiyah. ”Saya sudah menjadi anggota resmi Muhammadiyah dalam tahun 1938…. Tahun 46 ini saya berkata, moga-moga jikalau saya diberi umur panjang oleh Allah, saja dikubur dengan membawa nama Muhammadiyah atas kain kafan saya.”

Semasa tinggal di rumah Tjokroaminoto, saat bersamaan Sukarno muda juga bersentuhan pula dengan teori Marxisme. Sentuhan itu terjadi ketika di HBS Surabaya. Gurunya C Hartogh, menjelaskan kepadanya teori-teori Marxisme. Sukarno muda terpesona. Ia kemudian menjadi anggota Indische Social-Democratische Vereeninging (ISDV) yang didirikan 1914. Samaun, yang kemudian dikenal sebagai pendiri Partai Komunis Indonesia (PKI) setelah Serikat Islam pecah, juga anggota ISDV. Pada 1920, keterpesonaan Sukarno terhadap slogan-slogan komunis cukup kuat, ketika tokoh sosialis A Baars — yang menarik Samaun ke sayap kiri — mendesaknya ke faham internasionalisme. Namun tokoh SI Abdul Muis memberikan penyadaran kuat terhadap Sukarno. Muis mendorong Sukarno kembali pada nasionalisme melalui Sarikat Islam.

Pemahaman Sukarno terhadap Islam, menurut Bernard Dahm (Sukarno and struggle for Indonesian Independence, Cornell University Press, 1969), lebih sebagai modal untuk berdebat. Buku Lothrop Stoddard, The New World of Islam lebih menarik perhatiannya daripada Islam itu sendiri. Namun demikian, perasaan dasarnya terhadap Islam tidak bisa diabaikan. Ini antara lain dengan menempatkan Partai Nasional Indonesia (PNI) bersikap netral dalam soal agama, tidak dalam pengertian orang-orang komunis yang anti Tuhan.

Dham menyebutkan, perasaan dasar Sukarno terhadap Islam tidak terikat pada suatu dogma. Ini memungkinkannya untuk memasuki semua kultus, termasuk Marxisme, sesuai dengan kepercayaan lama orang-orang Jawa bahwa semua hal adalah satu. ”Sukarno bukan seorang Muslim, ia adalah Jawa,” tulis Dham, peneliti Jerman.

Pendapat Dham ini dibantah Dahlan Ranuwiharjo, Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (1951-1953). Dalam diskusi di Republika, Dahlan yang dikenal dekat dengan Sukarno, justru mensejajarkan Bung Karno dengan tokoh pemikir dan pergerakan Islam seperti Tjokroaminoto, Moh Natsir, Prof Rasyidi, dan Agus Salim. ”Anggapan Bung Karno anti-Islam itu tidaklah benar. Bung Karno adalah pemikir Islam,” ujarnya.

Ketua PP Muhammadiyah, Syafie Ma’arif dalam diskusi di Republika berpendapat, sumbangan terbesar Bung Karno terhadap Islam di Indonesia adalah memacu orang Islam untuk tidak berpikiran beku. Bung Karno selalu menekankan pembaharuan Islam, pintu ijtihad harus dibuka lebar-lebar. Pemikiran ini selalu dilontarkannya dalam berbagai kesempatan, saat ia menjadi presiden hingga menjelang akhir pemerintahannya.

Seperti di Endeh maupun masa pembuangan di Bengkulu, ketika menjadi presiden pun Bung Karno selalu mengingatkan agar kaum muslimin di Indonesia mau mengambil api Islam dan membuang abunya. Sukarno berpendapat, Islam pernah menjadi mercusuar di dunia, ketika api Islam berkobar-kobar. Sayangnya, umat Islam kemudian mengalami kesurutan ketika api Islam padam di dalam dadanya. ”Yang padam bukan ajaran Islamnya, tetapi apinya. Tetapi karena apinya padam, ia punya masyarakat surut, ia punya agama surut,” ujarnya.

Ia juga selalu menggelorakan semangat rethinking of Islam agar Islam bisa maju. Bung Karno tidak ingin umat Islam di Indonesia tertutup samasekali oleh jumud, khurafat, bid’ah, tahayul-tahayul. Dalam rangka rethinking of Islam ini, Bung Karno mengingatkan bahwa di luar Indonesia, kini di seluruh dunia Timur juga sedang melakukan rethinking of Islam. Yakni, memikirkan kembali maksud-maksud Islam yang sewajarnya. ”Jauhnya kaum intelektual muda terhadap agama, barangkali kita punya pengetahuan agama itu perlu di her-oritentasi, ditelaah, dikoreksi kembali, dipermudakan,” tulisnya. Tentu saja pikiran-pikiran Bung Karno tentang Islam, menurut Dahlan, bernuansa politik yang tebal. Ini karena pada waktu itu umat Islam di dunia dari Maroko sampai Merauke menjadi korban dari imperialisme.

Bernhard Dahm menyebutkan, pemikiran-pemikiran Sukarno terhadap Islam, keseriusannya mempelajari hadis, karena ia sedang mencari bukti-bukti baru untuk membenarkan pendapatnya. Seperti halnya dalam periode nasionalis, Sukarno menggunakan ucapan-ucapan ”kaum nasionalis ke-Timur-an” yang membenarkan prasangkanya yang anti-Barat; seperti halnya dalam periode Marhaenis ia menggunakan kepustakaan Marxisme dengan semaunya. ”Maka sekarang pun Sukarno ingin menjadikan Islam sebuah alat untuk mendukung pendapatnya yang subyektif,” tulis Dham.

Kritik tajam atas pemikiran Soekarno mengenai kemerdekaan berpikir dalam Islam, juga datang dari Mohammad Natsir. Tokoh intlektual Islam ini mempersoalkan pendapat Sukarno dalam tulisannya di Pandji Islam, 22 April 1940. Dalam artikel berjudul Masyarakat Onta dan Masyarakat Kapal Udara, Sukarno bercerita tentang samak. Anaknya, Ratna Djuami mengabarkan kepada Sukarno bahwa pancinya telah dijilat anjing. Sukarno menganjurkan panci itu dicuci dengan sabun dan kreolin. Anjuran Sukarno itu mengherankan Ratna, karena menurut ajaran Islam panci itu harus dicuci tujuh kali dengan air bersih, sekali di antaranya dengan tanah. Menjawab keheranan anaknya itu, Sukarno mengatakan pada masa Nabi Muhammad, tidak ada sabun dan kreolin. ”Mendengar penjelasan itu, muka anak saya menjadi tenang kembali,” tulis Sukarno.

Artikel Sukarno soal samak itu langsung direaksi Natsir di majalah yang sama. Dalam artikel berjudul Sikap Islam terhadap Kemerdekaan Berpikir, Natsir — yang berkali-kali dipuji Sukarno karena kecerdasannya — melihat tanda-tanda bahaya dari pemikiran Sukarno itu. Natsir memang tidak menyangkal manfaat berpikir merdeka. Ia mengakui, dengan berpikir merdeka, iman bisa diperkukuh dan tahyul yang melekat pada agama bisa dihilangkan. Akal merdeka membuka jendela alam pikiran dan memungkinkan masuknya udara segar.

Akan tetapi, udara segar itu bisa menjadi topan yang dapat mengacau balaukan segala sesuatunya dan juga dapat menggoyahkan tiang-tiang agama. ”Akal merdeka zonder disiplin menjadikan khaos centang-perenang — Vrijheid zonder gezag is anarchie (kemerdekaan tanpa otoritas adalah anarki). Orang yang percaya bahwa ia dapat memecahkan segala misteri dengan akalnya, sebenarnya tidak lagi menggunakan akal merdekanya melainkan sudah terikat oleh salah satu macam taklidisme modern, yang bernama rasionalisme.

Pemimpin Masyumi itu kemudian melajutkan,”sabun dan kreolin baru permulaan. Esok lusa orang akan bertanya: kalau kita terpaksa bertayammum, jangan pakai tanah lagi. Dulu tidak ada bedak wangi yang lebih higienis dari tanah, sekarang sudah ada bedak wangi. Dus, kalau kau mau salat dan terpaksa tayammum, boleh berbedak saja!… Kesudahannya, yang kita perdapat sebagai hasil akal merdeka itu bukan lagi interprestasi agama, tetapi adalah likuidasi agama …. Akal merdeka 100% tidak menggariskan batas buat dirinya sendiri. Semua mau ia atur, semua ia mau kritik, semua ia mau ubah, kecuali dirinya sendiri.”

Hari ini, 6 Juni 2001, genap seabad Sukarno. Ia adalah api yang membakar umat Islam untuk terus menerus berpikir, tidak beku, tidak berhenti. Api yang harus terus menyala, dari ujung zaman yang satu ke ujung zaman yang lain, bukan abunya!. asro kr/alwi shahab dari berbagai sumber
 

Read Full Post »

Presiden Abdurahman Wahid minggu lalu kembali membuat pernyataan kontraversi. Sekalipun Antara sudah menariknya kembali berita tersebut, tapi pernyataan Gus Dur yang akan membubarkan DPR hasil Pemilu 1999 mendapat reaksi keras dari berbagai pihak. Bahkan telah ditentang oleh dua orang pembantu dekatnya: Menkeh/HAM Yusril Ihra Mahendra dan penasehat urusan hukum Presiden, Prof Harun Alrasid. Saat ini tidak ada alasan bagi Presiden mengeluarkan dekrit dan membubarkan DPR. Keduanya mengingatkan kalau hal tersebut dilakukan, bukan saja merupakan tindakan inkonstitusional, tapi juga bisa dituduh melakukan kudeta. Berlainan dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Ketika itu negara dinyatakan dalam keadaan bahaya (SOB). SOB mulai diberlakukan sejak 1956 dan baru dicabut kembali Mei 1963.

Bung Karno dalam dekritnya kembali ke UUD 45 sekaligus telah membubarkan konstituante (MPR) hasil Pemilu 1955. Dengan alasan lembaga tertinggi negara ini telah menolak usulnya untuk memberlakukan kembali UUD 45. Anjurannya ini disampaikan 25 April 1959. Dekrit Presiden ini telah mendapat dukungan pihak militer. Yang sejak Oktober 1952 memang telah mendesaknya untuk memberlakukan kembali UUD 45. Pihak militer dibawah pimpinan KSAD Jenderal Nasution sendiri yang memimpin demo ke Istana ketika itu.

Hanya 5 hari setelah dekrit 5 Juli 1959, Bung Karno telah membentuk kabinet kerja pertama. Ia kemudian membentuk DPA dengan Bung Karno sendiri sebagai ketua. Kemudian dibentuknya Front Nasional.

Sekalipun Parlemen (DPR) hasil Pemilu 1955 pada 22 Juli telah menyatakan kesediannya untuk bekerja terus dibawah UUD 45, tapi 5 Maret 1960 Bung Karno membubarkannya. Dengan alasan DPR tidak mau mendukung Demokrasi Terpimpin, sementara RAPBN 1961 tidak mendapat dukungan dari wakil-wakil rakyat ini. Ia pun membentuk DPR-GR (Gotong Royong) pada 27 Maret 1960.

Dengan istilah ‘meretul’ DPR, sasaran utamanya DPR-GR adalah membuat ‘wakil-wakil rakyat’ ini sekedar sebagai ‘pembantu’ Presiden. Kemudian mengakhiri eksistensi partai-partai politik yang oposional, serta mengikat semua parpol dalam Front Nasional. (Dr AH Nasution: ”Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 5 : Kenangan Masa Orla.”).

Kalau Dekrit 5 Juli 1959 mendapat dukungan Menteri Keamanan Nasional/KSAD Jenderal Nasution, tidak demikian saat pembubaran DPR hasil Pemilu 1955. ”Saya tidak ikut dalam penggarapan DPR ini. Tapi mendadak saya terkejut ketika menerima rencana susunan DPR yang oleh Presiden dijadikan DPR-GR,” Nasution dalam bukunya itu.

Presiden mengambil kebijaksanaan untuk menyerahkan retooling DPR itu dengan ketiga pimpinan partai Nasakom. Untuk itu diundang ke Istana Tampaksiring (Bali) Ali Sastroamidjojo (PNI), Idham Chalid (NU), DN Aidit (PKI), dan Nasution (ABRI). Akan tetapi, Pak Nas telah menugaskan Kolonel Wiluyo Puspojudho ke Tampaksiring. ”Padanya saya instruksikan untuk mengomandir Nasakom dengan Polkar (Politik Karya). Rupanya Bung Karno dan parpol-parpol merasa tidak enak dengan usul saya ini. Hingga dalam pidato-pidatonya Bung Karno menyerang gagasan Polkar untuk mengganti Nasakom,” demikian Pak Nas. Pertentangan antara Bung Karno dan Pak Nas ini berlangsung terus hingga pecahnya pemberontakan G30S/PKI. Pak Nas sendiri luput dari pembunuhan pada kudeta tersebut.

Partai-partai Islam menjadi korban pertama pembubaran DPR. Kalau dalam DPR hasil pemilu 1955 perbandingan Nasionalis, Islam dan Komunis 65 – 115 – 52 anggota, maka dalam DPR-GR menjadi 44 – 33 – 30 anggota. Ditambah dengan wakil-wakil Golkar dari parpol-parpol yang bersangkutan, perbandingannya menjadi 94 – 67 – 81 anggota. Seperti pengangkatan anggota DPA, Bung Karno dalam membentuk DPR-GR tidak menyertakan partai-partai oposisi. Menurutnya, dalam demokrasi terpimpin tidak dikenal adanya oposisi, tapi gotong royong.

Dalam situasi itu timbullah reaksi KH Bisri Samsuri dari NU — yang memegang teguh sikap non kompromis terhadap kebatilan, kezaliman dan kemusrikan–. Kiai sepuh dari NU ini menuding pembentukan DPR-GR itu melanggar hukum dan konstitusi. Karena itu beliau mengganggap masuknya kedalam DPR-GR adalah ‘munkar’. Tapi ia toleran terhadap mereka yang berpandangan bahwa masuknya NU ke DPR-GR berdasarkan ‘amar ma’ruf.’ KH Bisri sekali lagi menunjukkan sikap konsekwen ketika dalam SU MPR 1978, ia dan para pengikutnya dari NU yang tergabung dalam PPP melakukan WO ketika MPR akan mengesahkan ‘aliran kepercayaan.’

Reaksi menolak pembubaran DPR dan pembentukan DPR-GR telah datang dari tokoh-tokoh lain seperti ucapan Ketua DPR Sartono (PNI) dalam sidang terakhir DPR 17 Maret 1960. Ia menolak duduk dalam DPR-GR. Sulit baginya menjadi wakil rakyat yang diangkat. Tokoh PNI lainnya yang menolak adalah Mr Iskaq. Sedangkan yang menolak dari NU terdapat pula Yusuf Hasyim, KH Imron Rosyadi dan KH M Dachlan.

Beberapa hari setelah pembubaran DPR hasil Pemilu 1955, lahir Liga Demokrasi sebagai gerakan oposisi. Anggotanya terdiri dari tokoh Partai Katolik, IPKI, dan juga dari NU, PSII dan Parkindo. Pada 20 Maret 1960, Liga membuat pernyataan bahwa pembentukan DPR-GR bertentangan dengan azas-azas demokrasi yang dijamin oleh UU.

Nasution dalam bukunya mengatakan, memang atas prakarsanya sendiri ia terpaksa menentang kebijakan Presiden. ”Dengan ini memproseslah konflik terbuka antara beliau dengan saya.” Ketika membentuk DPR-GR, Bung Karno mengangkat para wakil ketuanya orang-orang kedua dalam pimpinan parpol. Mereka statusnya disamakan dengan menteri. Bung Karno juga menambah kekuasaannya (trias politika) dengan menjadikan Ketua Mahkamah Agung sebagai menteri, dan MA menjadi lembaga yang berada dibawah kontrol politiknya.

Perlawanan terhadap dibubarkannya DPR hasil Pemilu waktu itu memang cukup sengit. Pada 22 Juni 1960, Bung Tomo mengadakan pengaduan kepada Mahkamah Agung dengan tuduhan pembubaran DPR hasil Pemilu ’55 sebagai pelanggaran terhadap UUD 45. Pada 17 Agustus 1960, dua partai yang menjadi kekuatan oposisi, Masyumi dan PSI dibubarkan. Tapi konflik politik hampir tidak pernah henti. Berakhir dengan tragis, terjadinya Gerakan 30 September 1965.

Read Full Post »

Bung Karno Kutuk PBB

Andaikan tak terjadi G30S/PKI, dan Bung Karno lebih lama lagi berkuasa, Jakarta kemungkinan akan jadi markas besar sebuah organisasi dunia untuk menandingi PBB. Untuk mewujudkannya, presiden pertama RI ini sejak jauh hari telah mempersiapkannya. Sebuah gedung megah, yang kini jadi gedung DPR/MPR oleh Bung Karno dibangun untuk penyelenggaraan Conefo (Conference of the New Emerging Forces – Konperensi Negara-negara Kekuatan Baru). Gedung ini diarsiteki oleh almarhum Ir Sutami.
Untuk itu, Bung Karno juga mempopulerkan Nefos (the New Emerging Forces). Nefos, yang akan diikutsertakan dalam Conefo adalah negara-negara dunia ketiga. Nefos merupakan kekuatan anti Oldefos (Old Establish Forces) istilah untuk negara-negara imperialisme dan kapitalisme. Penyelenggaraan Conefo dimaksudkan untuk menandingi PBB yang ketika itu dan hingga sekarang ini, dikuasai oleh negara-negara imperialis dan kapitalis. Karenanya PBB, menurut Bung Karno perlu diritul dan markas besarnya dipindahkan dari New York, Amerika Serikat.

Bahkan, sampai akhir 1966, saat menjelang kejatuhannya, Bung Karno masih yakin Indonesia akan dapat menyelenggarakan Conefo. ”Saya sendiri insya Allah bertekad bulat menyelenggarakan terus Conefo,” ucapnya pada pidato 17 Agustus 1966 berjudul ”Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sedjarah,” yang oleh banyak orang disingkat jadi ”Jas Merah”. ”Kalau bisa didalam gedung Conefo yang kita bangun sekarang dengan banyak rintangan. Kalau tidak bisa karena ”suatu rintangan” kita adakan di tempat lain. Di tengah sawah sekalipun, karena yang penting adalah semangatnya,” katanya waktu itu.

Sebagai puncak ketidaksenangannya pada PBB, Bung Karno pada 7 Januari 1965 mengomandokan: ”Indonesia keluar dari PBB.” Komando ini diucapkan dihadapan lebih dari 10 ribu massa rakyat dalam sebuah rapat umum Anti Pangkalan Militer Asing di Istora Senayan, Jakarta. Keluarnya Indonesia dari PBB ini mendapatkan dukungan dari berbagai lapisan masyarakat waktu itu. Hingga tidak heran ribuan mahasiswa, pemuda, buruh dan tani keesokan harinya turun ke jalan-jalan membawa spanduk sambil mengutuk PBB. Keluarnya RI dari PBB sebagai reaksi terpilihnya Malaysia jadi anggota DK-PBB. Hingga merupakan tamparan bagi politik konfrontasi RI.

Tapi, sebelum konfrontasi dengan Malaysia, Bung Karno pada 30 September 1960 ketika pidato di SU PBB sudah meminta agar badan dunia diritul dan dipindahkan markas besarnya keluar AS. Pidato di SU PBB itu oleh Bung Karno diberi judul ”Membangun Dunia Baru,” (To Build the World Anew). Ia mendapatkan berkali-kali tepuk tangan saat menyampaikan pidatonya yang berapi-api itu.

Sedangkan pada Nopember 1963, di Jakarta diselenggarakan Ganefo (Games of the New Emerging Forces) yang sukses dan diikuti 58 negara. Penyelenggaraan Ganefo ini untuk menandingi Olimpiade Dunia. Apalagi waktu itu Indonesia telah keluar dari Komite Olimpiade Internasional (IOC). Karena IOC menghukum Indonesia yang pada Asian Gemes di Jakarta (1962) menolak ikut sertanya Israel dan Taiwan. Tanpa mau mempedulikan tekanan dari IOC yang memaksa RI mengikutsertakan kedua negara.

Sejak saat itu Bung Karno makin gencar mengutuk PBB. Yang berakhir dengan keluar RI dari organisasi dunia ini. ”PBB dalam susunannya yang sekarang tidak mungkin dipertahankan lagi. Dengan menguntungkan Taiwan dan merugikan RRC (waktu itu Cina diwakili oleh Taiwan), menguntungkan Israel dan merugikan negara-negara Arab, PBB nyata-nyata menguntungkan imperialisme dan merugikan kemerdekaan bangsa-bangsa,” tegas Bung Karno.

Dalam pidato 17 Agustus 1965 (Berdikari), Bung Karno banyak mengecam PBB. Menurut Bung Karno, kalau organisasi dunia ini tidak dirombak samasekali, PBB bukan saja akan ditertawai sebagai mimbar omong kosong, tetapi lebih jelek dari itu. ”PBB akan dikutuk sebagai badan yang lebih buruk dari Volkenbond, dan malahan lebih buruk daripada semua parlemen kapitalis digabung jadi satu,” tegasnya.

Dalam nada yang lebih keras Bung Karno 35 tahun lalu menuduh PBB mewakili dan menindas rakyat-rakyat negara jajahan, dan terang-terangan jadi corongnya kaum imperialis. Ketika tidak lagi berkuasa, Bung Karno masih menyaksikan bagaimana Israel yang menjadi sekutu AS tidak mempedulikan resolusi DK-PBB tahun 1967 yang mendesaknya mundur dari negara-negara Arab yang didudukinya. Sementara negara-negara Barat tidak menggubris samasekali pembangkangan Israel ini.

Sejak terjadinya insiden penyerangan kantor UNHCR di Atambua yang menewaskan tiga pekerja PBB, Indonesia kembali menghadapi tekanan PBB. Tanpa mau tahu bagaimana rumitnya masalah dihadapi dalam soal pengungsi. Bahkan, Direktur Bank Dunia James Walfensohn mendesak Presiden Gus Dur agar menghentikan kekerasan di Timur Timor atau menghadapi resiko kehilangan dukungan finansial. Hingga tidak heran banyak pihak berrharap agar pemerintah tidak gentar menghadapi tekanan PBB ini. Seperti yang telah ditunjukkan Bung Karno.
 

Read Full Post »

« Newer Posts - Older Posts »