Feeds:
Pos
Komentar

Archive for the ‘Doeloe’ Category

Naik Joli ke Buitenzorg

Bogor atau Buitenzorg kini sudah menyatu dengan Jakarta. Angkutan umum Jakarta – Bogor tidak pernah henti selama 24 jam. Entah berapa puluh kali KRL pulang pergi mengangkut penumpang yang berjubelan tiap hari. Dahulu, sebelum dibuka jaringan kereta api (1873), mereka yang ingin pergi ke Bogor harus berpikir dua kali. Bahkan, sampai pertengahan 1950-an, hanya ada satu jalan ke Bogor melalui Cibinong. Angkutan didominasi oleh ‘oplet si Doel’, yang harus tersendat-sendat karena jalan rayanya hanya dua jalur. Jalan raya Ciputat – Parung – Bogor masih jalan tanah.

Jalan raya Jakarta – Bogor yang jaraknya 60 km dibangun pada masa gubernur jenderal Herman Willem Daendels (1808-1811). Ia juga membangun Istana Buitenzorg alias ‘Sains Souci’ terletak disebuah perbatasan perkebunan kopi yang namanya sama. Dikabarkan, Daendels pergi ke Bogor dengan menaiki kereta yang ditarik 30 ekor kuda. Untuk tiap saat siap menghadapi lumpur di kota hujan ini.

Sedangkan masyarakat awam pergi ke Bogor menggunakan kahar –sejenis pedati yang ditarik dua ekor kuda. Kahar mampu mengangkut empat penumpang. Ongkos borongan ke Bogor 12,5 gulden. Ongkos ini cukup mahal bila diingat harga beras 3,5 sen per kg. Jadi, naik kahar borongan, nilainya lebih dari harga 300 kg beras. Untuk bisa mencapai Bogor, ada pula yang naik perahu.

Jika bepergian sendirian, bisa menyewa joli. Joli adalah tandu yang dipikul empat orang. Dua di depan, dua di belakang. Naik joli makan waktu lebih lama dari waktu tempuh naik kahar yang mencapai 8 – 10 jam. Apalagi jalan Jakarta – Bogor masih sunyi. Jarang ditemui warung atau rumah makan ditengah jalan. Hingga mereka yang bepergian harus menyediakan bekal makanan dan minuman cukup banyak.

Tidak jelas berapa ongkos angkut dengan joli. Tapi sejauh ini tidak ada laporan terjadi perampokan atau kejahatan ditengah perjalanan. Yang bikin susah para kulit angkut joli adalah bila sang penumpang ‘membuang gas’. Udeh cape-cape, baunya tidak ketolongan. Bepergian ke Bogor, baik melalui kahar atau joli waktu itu dari pusat kota Batavia. Yakni di Jl Pos atau Grote Postweg depan gedung Museum Sejarah DKI Jl Fatahila, dekat stasion KA Kota. Di tempat inilah para sais kahar dan kuli angkut ngetem menunggu penumpang.

Ketika trem listik mulai beroperasi, tempat ini dijadikan akhir pemberhentian untuk jurusan Meester Cornelis (Jatinegara) – Kota. Di dekatnya terdapat gedung Nederlandsche Handel Maatchappij (NHM) yang hingga kini masih tampak megah dan digunakan oleh Bank Eksim. Hingga 1970-an orang menyebutnya gedung Faktori dari kata Belanda de Factorij.

Keberadaan NHM perlu kita angkat, karena ia merupakan reinkarnasi dari VOC yang dibubarkan 1799. VOC bangkrut akibat korupsi yang tidak mengenal batas. Maklum yang namanya KKN dikenal sejak dulu. Keberadaan NHM tidak dapat dilepaskan dari ‘sistem tanam paksa’-nya gubernur jenderal Van den Bosch (1830-1833). NHM-lah, sebagai penyalur berbagai produk ekspor itu ke Eropa. Sistem tanam paksa ini telah menyengsarakan jutaan rakyat Indonesia, dan menyebabkan kematian ribuan orang. Sementara negeri Belanda mengeruk keuntungan berlimpah-limpah. Hampir 50 persen anggarannya waktu itu berasal dari sistem yang nyata-nyata melanggar HAM, mengeksploitasi manusia terhadap manusia dengan kejam.

Pada masa Inggris, Sir Thomas Stamford Raffles (1811 – 1815), sangat menyenangi kota hujan ini. Raffles berjasa dalam membangun Kebun Raya Bogor, bersebelahan dengan istana. Bahkan istri pertamanya, Olivia Miriamne, dimakamkan di Kebon Raya. Pendiri kota Singapura ini, boleh dikata selama empat tahun pemerintahan Inggris di Nusantara, jarang berada di Batavia. Sekalipun ia membeli dan membangun rumah mewah di Rijswijk yang kemudian menjadi Hotel der Nederlanden. Oleh Bung Karno kemudian dijadikan Markas Besar Cakrabirawa (pengawal khusus Presiden). Kemudian oleh Pak Harto dijadikan gedung Bina Graha.

Raffles lebih banyak berada di lingkungan Istana Bogor yang dibangun Daendels. Ia mengadakan perjalanan dari Batavia ke Buitenzorg dengan kereta kebesarannya, ditarik delapan ekor kuda. Ia juga sering tinggal di Istana Cipanas. Di kedua istana ini, Raffles sering berpesta-pora dengan jamuan mewah dan banjir sampanye. Sampai ada tamu-tamu yang pulang dengan ‘teler’.

Bung Karno sering berada di Istana Bogor. Termasuk mengadakan sidang kabinet dan mengambil berbagai keputusan penting. Surat Perintah 11 Maret 1966 yang terkenal, dikeluarkan di Istana Bogor. Dalam salah satu wasiatnya (24 Mei 1965), Bung Karno minta agar bila ia meninggal dunia dimakamkan di Kebun Raya Bogor dekat kolam pemandian yang membukit.

Presiden Wahid baru-baru ini juga ingin mengadakan pertemuan penting dengan para pimpinan parpol di Istana Bogor. Tapi, pertemuan ini gagal karena yang hadir hanya Matori Abdul Jalil. Maka Presiden entah untuk ke berapa kalinya kembali mengancam: memberlakukan keadaan bahaya, membubarkan DPR/MPR bila rekonsiliasi nasional tidak tercapai. Apa yang akan terjadi pada 20 Juli, batas ancaman itu ??

REPUBLIKA – Minggu, 15 Juli 2001

Read Full Post »

Angke atawa Kali Merah

Kali Angke yang melewati Jakarta Kota diberitakan mengalami polusi berat. Akibat segala macam sampah, limbah pabrik dan industri yang tumplek hingga membebani kali Angke. Kali ini merupakan satu saksi sejarah terhadap peristiwa paling menyedihkan dan mungkin paling menyeramkan di Jakarta.

Ketika itu, Oktober 1740, Belanda melakukan pembantaian terhadap 10 ribu orang Cina di Glodok. Konon, sungai yang kala itu masih jernih berubah menjadi merah karena darah. Banyak mayat yang digelimpangkan di sungai ini. Menurut bahasa Hokian, kata Ang berarti merah dan ke sungai atau kali. Jadi Angke adalah ‘Kali Merah’. Seperti kata angpau yang berarti amplop merah.

Dalam peristiwa kerusuhan ini, anak-anak, wanita dan para manula tanpa ampun telah ikut dibantai secara kejam, termasuk para pasien di rumah sakit. Seluruh milik orang Cina dibakar atau dijarah oleh VOC yang juga mengajak penduduk setempat. Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier (1695-1751), yang bertanggung jawab terhadap peristiwa ini, kemudian diadili di Belanda. Seperti juga pengadilan PBB terhadap mantan presiden Yugoslavia, Slobadan Milosevic di negeri yang sama. Milosevic, oleh pengadilan internasional dituduh sebagai jagal yang harus bertanggungjawab atas pembunuhan ribuan Muslim Bosnia dan Albania.

Di sepanjang kali Angke, terdapat beberapa jembatan. Ada jembatan kambing di Pekojan. Dinamakan demikian karena kambing-kambing yang akan dipotong melewatinya ketika menuju ke rumah pemotongan hewan (RPH). Maklum, penduduk Pekojan waktu itu didominasi keturunan dari Hadramaut. Rasanya kurang afdol bila makan tanpa daging kambing.

Berdekatan dengan Kali Angke, terdapat Jalan Bandengan Utara dan Jalan Bandengan Selatan. Ditengahnya terdapat Kali Bandengan. Dulunya merupakan kanal yang dalam Belanda disebut gracht. Waktu itu, kedua jalan ini bernama Amanusgracht Noord (Bandengan Utara) dan Amanusgracht Zuid (Bandengan Selatan). Tidak diketahui apakah nama ‘bandengan’ punya kaitan dengan ikan bandeng. Ikan paling mahal waktu itu.

Yang pasti, bagi etnis Cina tempo doeloe, apabila pada cap go meh (pesta malam ke-15 setelah tahun baru Imlek), calon menantu tidak datang mengantar bandeng, bisa runyam. Menantu macam begini tidak punya liangsim (malu) dan tidak menaruh hormat pada mertoku (mertua). Bisa-bisa asmaranya putus ditengah jalan.

Rupanya banyak pengaruh bahasa Belanda terhadap nama jalan maupun tempat di Jakarta. Seperti di dekat pusat perdagangan Glodok terdapat Jl Pinangsia. Konon, jalan yang selalu ramai ini berasal dari kata Financien. Yang dalam Belanda artinya keuangan. Ada yang mengatakan ditempat ini pernah terdapat department van financien atau departemen keuangan. Kata financien oleh lidah Betawi menjadi Pinangsia.

Kearah utara dari pertokoan Harco di Glodok, terdapat stasiun kereta api Jakarta Kota. Orang-orang tua hingga kini lebih mengenal sebagai stasion Beos. Beos kata singkatan dari Belanda, entah apa artinya. Stasiun ini dibangun 1928 dan usai 1929. Stasiun ini untuk jalur kereta api Batavia – Buitenzorg (Bogor), setelah beroperasinya kereta api pada 1873. Arsitek pembangunannya adalah Ir Johan Ghijsels (1882-1947), warga Belanda lahir di Tulungagung, Jatim. Ia juga mengarsiteki pembangunan gedung yang kini ditempati Bappenas di Jl Imam Bonjol, gedung KPM (kini Ditjen Perla di Merdeka Timur), RS KPM (kini RS Pelni) di Jatipetamburan.

Di depan stasiun KA Jakarta Kota, terdapat gedung Diklat Bank Indonesia. Dulunya gedung ‘De Javasche Bank’, yang sejak 1953 ganti nama jadi Bank Indonesia (BI). ‘De Javaasche Bank’ didirikan 1828. Tapi, ketika itu nasabahnya kebanyakan orang Belanda dan Cina. Mungkin takut dianggap riba, orang waktu itu lebih senang menyimpan uang ‘dibantal’. Apalagi hampir seluruh penduduk masih BH (butahuruf). Tapi, yang pasti, kurs gulden yang menjadi mata uang waktu itu nilainya sangat stabil. Tidak goncang-gancing seperti sekarang yang bikin BI pontang-panting untuk menstabilkan rupiah, yang tidak juga berhasil.

Gedung ‘De Javasche Bank’ sebelumnya merupakan rumah sakit militer. Sedangkan didekatnya terdapat sebuah rumah sakit yang dibangun orang Cina. Di rumah sakit inilah, para pasien ikut dibantai pada peristiwa Oktober 1740. Kemudian orang Cina mendirikan RS Jang Seng Ie di Manggabesar. Setelah kemerdekaan, ganti nama jadi RS Husada hingga kini.

REPUBLIKA – Minggu, 08 Juli 2001

Read Full Post »

Kini banyak peristiwa kejahatan menimpa kaum wanita. Lebih-lebih pada malam hari, kaum wanita, ketika naik taksi, sering jadi korban penodongan. Termasuk para ibu rumah tangga ketika kediamannya disatroni perampok.Karena itu, di masyarakat Betawi terdahulu tradisi ‘maen pukulan’ atau pencak silat sudah mendarah daging termasuk di kalangan kaum wanita. Mereka belajar ‘maen pukulan’ dari jurus dasar sampai jurus pamungkas.

Dalam cerita-cerita rakyat Betawi kerap kali muncul jago-jago dari kaum perempuan. Mereka dengan gagah membela rakyat tertindas, menentang pemimpin yang zalim, dan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Salah satu pendekar silat wanita yang cukup dikenal adalah Mirah, yang memperoleh gelar ‘singa betina dari Marunda’ berkat keberanian dan kelihaiannya main giksaw. Mirah, dalam terminologi gender, bukan seorang tokoh emansipasi namun seorang pejuang dalam arti sebenarnya.
    
Kampung Marunda, di tepi pantai yang pernah menjadi salah satu markas balatentara Islam Mataram ketika menyerang Batavia (1628-1629), sejak dulu memiliki banyak pejuang yang bergabung dengan Mataram melawan Kompeni. Bahkan, di sini terdapat Masjid Al-Alam, yang menurut cerita dibangun oleh pasukan Falatehan ketika mengusir Portugis dari Sunda Kalapa.

Ketika terjadi revolusi (perang kemerdekaan) melawan NICA (Netherlands Indies Civil Administration) yang datang ke Indonesia setelah proklamasi 17 Agustus 1945 dengan mendompleng Sekutu (Inggris), rakyat Marunda banyak menjadi korban dalam mempertahankan kemerdekaan.

Mirah, serta kawan-kawan wanitanya, ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan. Karena keberaniannya inilah yang menyebabkan dia diberi gelar ‘singa betina dari Marunda’. Memang tidak banyak diketahui cerita tentang Mirah. Dalam buku Beksi Maen Pukulan Khas Betawi, dua seniman Yahya Andi Saputra dan H Irwan Syafi’ie sedikit mengangkat tokoh wanita ini, disamping sejumlah pemain silat lainnya.

Di samping Mirah, ada lagi pejuang perempuan Betawi yang juga ahli ‘maen pukulan’. Dia adalah Nyi Mas Melati dari Tangerang. Di kota sebelah barat Jakarta ini, juga pada revolusi fisik (1945), dia tidak gentar berada di garis depan melawan pasukan NICA. Seperti juga Mirah, pada saat revolusi sejumlah wanita aktif membantu para pejuang di garis depan sekalipun hanya sebagai pensuplai makanan dan obat-obatan.
    
Perkumpulan pencak silat tidak menutup diri pada masalah-masalah sosial. Sejumlah jawara atau jagoan Betawi ikut terlibat dalam berbagai pemberontakan para petani seperti di Condet, Jakarta Timur (1916), Slipi, Tanah Abang dan Cakung (1913), serta Tangerang 1924 dan Tambun (1869). Mereka berontak mencegah pasukan VOC dan tuan tanah jahat yang akan melakukan penyitaan terhadap kediaman para petani karena tidak sanggup membayar blasting(pajak) hasil bumi.

Ini membuat para pendekar silat di Betawi selalu dicurigai penjajah. Tidak seorangpun pendekar (baik jago maupun jagoan) dari generasi terdahulu yang bersedia menyebutkan siapa gurunya. Dahulu latihan ‘maen pukulan’ sifatnya tertutup. Bahkan, ada yang memulai latihan pada tengah malam dan berakhir menjelang siang.

Di tempat latihan ‘maen pukulan’ ini sifat kependekaran ditempa. Adat pendekar Betawi adalah menang buah menang papan. Artinya, berantem menang, perkara di pengadilan juga harus menang. Karena itu, kiat untuk memenangkan perkara di pengadilan juga dibahas  di tempat latihan ‘maen pukulan’.
    
Sejak 1950-an tempat latihan ‘maen pukulan’ yang tertutup berubah menjadi perguruan silat Betawi yang terbuka. Misalnya, Perguruan Silat Pusaka Sentra Kencana (berdiri 1952), Perguruan Silat Pendidikan Sinar Paseban,  Kampung Kramat Sawah III (juga berdiri 1952), dan Perguruan Silat Putera Utama, Kayu Manis (berdiri 1960).

Aliran silat Sabeni (namanya di abadikan menjadi nama jalan di Tanah Abang), yang terkenal dengan juruskelabang nyebrang  dan merak ngigel diasuh oleh keturunan Sabeni sendiri. Ia adalah jagoan dari generasi sebelum perang dunia II. Ia lahir (1865) di Tenabeng, yang kini menjadi nama jalan Sabeni.

Seorang jago, menurut H Irwan Syafi’ie,  adalah seorang yang bijak dan mau membantu orang yang sedang kesusahan, serta menolong orang yang lemah.  Seorang yang disebut jago akan segera bertindak untuk mendamaikan orang atau kelompok yang sedang ribut/berkelahi, sekaligus memberi nasihat yang baik. Dia pun tidak mau membuat kesalahan, seperti menyinggung perasaan orang lain, memaki, memukul, apalagi sampai melukai dan membunuh.

Seorang jago mempunyai falsafah, hidup dan mati seorang manusia tergantung bagaimana amal perbuatannya.Karena falsafah hidup yang Islami itulah, maka hubungan mualim (guru agama) dengan jagoan tidak konfrontatif bahkan ada hubungan fungsional antara keduanya. Jagoan membaca doa-doa tertentu untuk peningkatan ‘maen pukulan’-nya. Senjata-senjata jagoan seperti golok, atau pisau raut biasanya diberi wafak pada bilah logam tersebut. Yang mengajarkanwafak adalah mualim.

Karena itu, banyak jagoan Betawi yang melaksanakan rukun Islam kelima. Seperti H Entong Gendut (Condet), Haji Ung (Kemayoran-kakek dari almarhum Benyamin S), Haji Darip (Klender), Haji Asenie (Petamburan), Haji Madalih Pitung (Kreo, Ciledug) dan masih banyak lagi.

Bagi jago atau jagoan Betawi istilah lu jual, gua beli ternyata bukan hanya sekedar gertak sambel tapi sudah menjadi tekad menjaga ketenteraman dan ketertiban ibukota. Seperti saat para jagoan berada dalam organiasi COBRA pimpinan Kapten Imam Syafe’ie.

Read Full Post »

 

Kursus Bahasa Jepang/Arsip Nasional RI

Kursus Bahasa Jepang/Arsip Nasional RI

Foto ini mengabadikan peristiwa yang terjadi pada awal pendudukan Jepang (1942). Tampak para ibu tengah mengikuti kursus bahasa Jepang di sebuah kampung di Jakarta. Meskipun hanya berkuasa 3 1/2 tahun, tapi pemerintah balatentara Jepang dalam Perang Dunia ke-2 melawan Sekutu, mewajibkan rakyat Indonesia mempelajari bahasanya. Bukan hanya di sekolah dan universitas, juga di kampung-kampung diadakan kursus kilat. Untuk itu wanita Jepang didatangkan untuk memberikan pelajaran. Serperti tampak di foto seorang wanita Jepang sedang memberikan arahan pada seorang ibu.

 

Wanita Indonesia ketika itu belum mengenakan jilbab yang menjamur seperti sekarang ini. Yang juga menarik, busana wanita ketika itu berkebaya dan kain batik. Seragam ini yang merupakan khas wanita Indonesia kini hampir tidak kelihatan lagi. Rambut mereka di konde sedangkan para gadis dikepang, yang juga sudah banyak menghilang sekarang. Wanita kota sekarang berkonde dan mengepang rambutnya dianggap berabe. Berjilbab dianggap lebih praktis. Tidak heran kalau di pasar-pasar tradisional maupun mal dan pusat-pusat grosir busana Muslim selalu tersedia.

Mengenakan jilbab dan busana Muslim dewasa ini makin modis. Apalagi sejak disponsori oleh Ida Royani. Kemudian, diikuti oleh Inneke Kusherawati dan Ratih Sanggarwati. Kedua selebritis ini makin cantik dan anggun setelah memakai jilbab dam busana Muslimah. Apalagi busana ini disertai dengan berbagai aksesoris menarik.Kembali ke masa pendudukan Jepang (Maret 1942-Agustus 1945), merupakan masa paling susah bagi rakyat Indonesia. Banyak orang hidup melarat hingga tidak sedikit yang menderita busung lapar (hongeroedeen).Itu karena banyak hasil panen harus diserahkan pada tentara pendudukan Jepang untuk konsumsi tentaranya di medan perang.

Ratusan ribu orang harus jalani kerja paksa. Sebagai contoh dari 22 ribu romusha yang dikirim ke Pakanbaru untuk membangun jalan kereta api yang hidup sekitar lima ribu orang setelah perang berakhir. Seluruhnya 4,1 juta orang yang mengikuti romusha. Dari Jakarta saja delapan ribu orang. Korban selama pendudukan Jepang yang sangat memprihatinkan ialah budak seks atau istilah dalam bahasa Jepang jungun ianfu. Mereka adalah para wanita yang dipaksa harus melayani kebutuhan seks para prajurit Jepang yang bertugas di Indonesia.

Read Full Post »

Kereta api sebagai simbol kehidupan modern telah diterima oleh kalangan elit bangsawan keraton menjelang akhir abad ke-19. Ketika diselenggarakan upacara pembukaan stasion kereta api pertama di Surakarta yang diberi nama Stasion Balapan pada 1866, Susuhunan Paku Paku Buwana IX ikut membukanya bersama gubernur jenderal Hindia Belanda.

Bahkan ketika Susuhunan Paku Buwana X (raja terbesar di Keraton Surakarta) melangsungkan pernikahan agung keraton untuk mempersunting permaisuri Kanjeng Ratu Emas putri Sultan Hamengku Buwana VII dari Yogyakarta, digunakanlah transportasi kereta api. Rombongan mempelai laki-laki naik kereta api dari stasion Balapan, dan sesampai di Stasion Tugu, Yogyakarta, dilanjutkan dengan naik kereta kebesaran kerajaan menuju keraton.

Digunakannya kereta api pada prosesi upacara perkawinan agung keraton telah menunjukkan bahwa kalangan elit bangsawan feodal tradisional keraton telah menyerap unsur-unsur kebudayaan modern Barat dalam rangka penyamaan status sosial mereka dengan golongan penguasa pemerintah kolonial Belanda, tulis Bejo Riyanto dalam buku Iklan Surat Kabar dan Perobahan Masyarakat di Jawa Masa Kolonial (1870-1915).
        
Kereta api mulai beroperasi di Jawa pada 1863. Percepatan arus perdagangan hasil industri perkebunan untuk kepentingan ekspor semenjak masa Tanam Paksa, membutuhkan sarana transportasi yang lebih memadai, karena sarana transportasi darat lewat jalan pos (Groote-Postweg) yang dibangun pada masa gubernur jenderal Daendels (1808-1811) sudah tidak mencukupi lagi. Trayek kereta api pertama menghubungkan Semarang-Yogyakarta. Trayek kedua Batavia-Buitenzorg (Bogor).

Pada akhir abad ke-19, ketika modernisasi menyentuh Pulau Jawa, jumlah penduduk pribumi Jawa dan Madura pada 1850 berjumlah 12 juta jiwa. Sepuluh tahun kemudian (1860) ada 15 juta jiwa dan pada 1875 diperkirakan 20 juta jiwa. Modernisasi dimulai kapal uap antara Batavia – Calcutta (India) – Eropa pada 1849. Pada 1869 dengan dibukanya terusan Suez, pelayaran antara Jawa dan Eropa makin dipercepat dan lebih murah biayanya. 
    
Meningkatnya arus kedatangan orang Eropa ke Jawa, baik sebagai pejabat pemerintah kolonial maupun sebagai pengusaha swasta penanam modal pada industri perkebunan, telah menimbulkan derasnya arus modernisasi gaya hidup yang mengacu pada tata borjuisi Eropa. Maka pada akhir abad ke-19, mobil sebagai perwujudan transportasi modern mulai banyak dimanfaatkan oleh kaum elit Eropa.

Mobil-mobil pada masa itu menggunakan bahan bakar gasoline. Mobil yang dipasarkan di Jawa kebanyakan merek-merek terkenal dan sampai sekarang masih mampu bertahan di pasar internasional, seperti Ford (Amerika), Rhenault (Prancis) dan Fiat (Italia). Kalangan elit bangsawan keraton juga menggunakan mobil sebagai kendaraan resmi.

Merek mobil pertama milik Paku Buwana X adalah Fiat. Kemudian ketika putranya, GPH Djojokusumo, pulang dari studi di Belanda, ia membawa oleh-oleh untuk susuhunan mobil baru Mercedes Benz. Dalam perjalanan ke daerah-daerah yang bersifat rekreasi (incognito) seperti kunjungan ke pesanggrahan Paras, Boyolali atau Borobudur, Paku Buwana X mengendarai mobil yang diiringi para pejabat keraton atau gopernemen. Untuk acara incognito itu, seperti berburu ia memakai pentolan dan jas tutup warna putih lengkap dengan topi Panama.
    
Kebiasaan sehari-hari dari kebudayaan borjuis Barat yang menjadi simbol status baru kaum elit pribumi adalah minum minuman keras. Sebagai contoh, di Batavia banyak penduduk pribumi yang telah bertingkah laku sebagai orang Barat yaitu makan kentang dan menenggak minuman keras atau bier.

Kebiasaan baru itu merangsang tumbuhnya perusahaan-perusahaan yang memproduksi minuman keras dansoft drink. Di samping banyaknya minuman jenis ini yang diimpor dari Eropa untuk memenuhi konsumsi kaum elit. Kesibukan pekerjaan kaum profesional maupun pekerjaan kantoran baik orang Eropa maupun pribumi, maka banyak bermunculan jasa-jasa pelayanan makan seperti katering, toko makanan dan minuman, baik yang dikelola pengusaha Eropa maupun Cina.Ladang bisnis baru ternyata sangat menguntungkan bagi para pengusaha, terbukti dari kebiasaan untuk makan di restoran menjadi simbol prestasi baru di kota-kota besar.
        
Di samping makanan pokok nasi beserta lauk pauknya yang menjadi ciri khas pribumi Jawa, pada masa itu mulai dikenal bermacam-macam makanan modern Barat seperti ikan atau daging kalengan. Bermacam jenis kue/roti seperti spekkoekkoningskroom, bolu, biskuit, roti, frikaddel (perkedel) dan sosis.

Tata cara borjuisi Barat, yaitu upacara toast yang dilakukan dengan minum-minuman keras serta diikuti tradisi menari dansa dalam irama musik waltz pada acara-acara penting (pesta perkawinan atau pesta ulang tahun atau hanya pesta makan), juga telah diserap sebagai kebiasaan kaum elit bangsawan Jawa. Seperti pada pesta perkawinan Paku Buwana IX, toast dilakukan sebanyak tujuh kali disertai sorak sorai dari para tamu undangan, musik selamat datang, musik gamelan Jawa dan brasband modern, tulis Bedjo Riyanto.

Read Full Post »

Judul di atas adalah buku Sutan Takdir Alisjahbana diterbitkan oleh Balai Pustaka pada 1941. Sampai sekarang selama 67 tahun buku tersebut masih digemari. Entah sudah berapa belas kali cetak ulang oleh penerbit yang sama. Anak Perawan di Sarang Penyamun sebetulnya cuma cerita roman biasa. Tapi, masalahnya jadi lain ketika ia difilmkan. Apalagi diproduksi saat situasi politik tahun 1960-an memanas. Film yang disutradarai oleh Usmar Ismail (Perfini) kontan diboikot oleh golongan kiri dan akhirnya oleh Badan Sensor Film (BSF) ditarik dari peredaran. Alasannya Sutan Takdir Alisjahbana yang pernah menjadi rektor Universitas Nasional (Unas), ketika itu melarikan diri ke Malaysia karena menentang Bung Karno. Film itu sendiri dibintangi aktor ganteng Bambang Hermanto dan artis cantik Nurbani Yusuf.

Rupanya sejak dulu film tak dapat dipisahkan dari unsur politik dan juga ideologi. Seperti di tahun 1960-an, ketika kalangan ‘kiri’ sangat kuat, dunia film pernah mereka pecah-belah. Rupanya dendam lama masih berlangsung. Karena itu, sejumlah elemen masyarakat di kota Solo dan sekitarnya menolak pengambilan gambar film Lastri di wilayah eks Keresidenan Surakarta dengan melakukan demo. Mereka menilai dari sinopsisnya, film tersebut menggambarkan ajaran komunisme.

Film yang akan melibatkan artis Marcella Zalianty yang kini tengah berada dalam tahanan Polda Metro Jaya karena dituduh melakukan penganiayaan, rencananya akan disutradarai oleh Eros Djarot. Memang terjadi pro dan kontra terhadap film di mana Lastri ketika terjadi peristiwa G30S dituduh sebagai anggota Gerwani. Bahkan Erot bersikukuh akan meneruskan pembuatan film tersebut dengan memindahkan ke daerah lain.

Sutradara H Misbach Yusa Biran (75 tahun), yang pada tahun 1950-an dan 1960-an selalu menjadi incaran kecaman dan hujatan golongan ‘kiri’ terus terang menyatakan tidak setuju terhadap film ‘Lastri’. Mantan Kepala Sinematek Indonesia ini beralasan, film tersebut ceritakan orang-orang kiri pro-PKI yang menjadi korban ketika terjadi peristiwa G30S Oktober 1965. Film ini, kata dia juga akan menanamkan kebencian masyarakat terhadap ABRI. Bagaimana akibatnya kalau masyarakat membenci Angkatan Bersenjatanya?

Misbach di masa berkuasanya kelompok kiri beberapa karyanya dilarang terbit, menilai film Lastri secara politis sangat besar pengaruhnya bagi generasi muda. Mereka akan beranggapan bahwa PKI adalah pihak yang benar. Tuduhan bahwa PKI bersalah dalam peristiwa 1965 adalah bohong belaka. Dengan demikian, generasi muda akan bersimpati pada PKI yang mereka nilai prorakyat. Ujung-ujungnya adalah antiagama yang ikut aktif dalam pengganyangan PKI. Meskipun PKI sendiri sulit hidup lagi di Indonesia tapi isme dan ajarannya akan berpengaruh.

Dalam bukunya Kenang-kenangan Orang Bandel, Misbach menceritakan, ”Cara kalangan kiri melakukan serangan terhadap mereka yang dianggap lawan semakin gencar dan kasar. Main babat.” Film Pagar Kawat Berduri karya Asrul Sani dan Anak Perawan di Sarang Penyamun harus ditolak karena Sutan Takdir Alisjahbana. Terhadap film yang kedua memang ditolak oleh Badan Sensor. Tapi, terhadap film Pagar Kawat Berduri Bung Karno diminta menjadi ‘juri’. Bung Karno menonton dan berpendapat film Asrul Sani tidak ada masalah.

Lewat produksi Kedjora, Pagar Kawat Berduri (1961), Asrul mengangkat mengenai sejumlah pejuang yang ditawan Belanda dalam kampinan Koenen (diperankan Bernard Ijzerdraat/Suryabrata).

Salah seorang tawanan, Parman (Sukarno M Noor) justru berteman dengan Belanda kepala kamp itu, antara lain melayaninya main catur. Film ‘humanisme universal’ ini membuat Asrul terus dikecam pihak komunis, karena menampilkan penjajah Belanda yang baik hati. Pagar Kawat Berduri berdasarkan cerita karya Trisnojuwono, pengarang kenamaan kala itu mantan anggota RPKAD (Resimen Para Komando AD – kini Kopassus).

Pada 1960-an, kaum ‘kiri’ giat merayu siap saja agar masuk perangkap. Tapi, banyak  yang tidak tergiur antara lain Sukarno M Noor, ayah si ‘Doel’ Rano Karno (kini wakil bupati Tangerang). Kala itu, BPS (Badan Pendukung Sukarno) yang kemudian dibubarkan oleh Bung Karno, menganut paham ini.

Ketika dunia film dipecah belah kalangan ‘kiri’, Sukarno M Noor bersama Usmar Ismail, Nisbach, Asrul Sani, bergabung dengan Lembaga Seniman dan Budayawan Muslim Indonesia (Lesbumi), untuk menentang kegiatan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) PKI.

Pada 1965, pengganyangan terhadap film-film Barat khususnya AS makin menjadi-jadi dengan terbentuknya Panitia Aksi Pemboikotan Film Imperialis Amerika Serikat (PAPFIAS). Tidak tanggung-tanggung kalangan kiri ini kemudian membakar gedung pusat distribusi film Amerika yang sekarang ini letaknya di samping Bina Graha di ujung Jalan Veteran IV.
Kala itu, gedung masih sederhana dan hanya satu tingkat. PAPFIAS kemudian bukan hanya melarang film-film AS, tapi juga film antek-anteknya, semua film negara Barat. Kala itu, film Italia dan Inggris juga digemari masyarakat.

Untuk membantu bioskop dari kekosongan penonton, masuklah film RR Cina, Rusia, Polandia, dan negeri-negeri komunis atau sosialis lainnya. Akibatnya bioskop-bioskop sebagian besar mati dan menjadi gudang. Karena masyarakat tidak senang menonton film-film dari negara komunis/sosialis yang isinya penuh propaganda.

Read Full Post »

Foto Maret 1950 terlihat buldozer dan pekerja tengah membangun proyek kota satelit Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Pembangunan dijadwalkan akhir 1948 saat Jakarta dikuasai Belanda yang datang membonceng pasukan sekutu. Kebayoran Baru yang kini diperkirakan berpenduduk lebih dari sejuta jiwa, ketika itu masih di penuhi pepohonan, belukar, dan rawa-rawa. Setahun kemudian (1949) lebih sepertiga wilayahnya sudah dibebaskan dan mulai dibangun jalan raya penghubung antara Kebayoran dengan Jakarta.

Pembangunan Kebayoran Baru dilaksanakan perusahaan Belanda Central Stichting Wederopbouw yang dikenal dengan sebutan CSW. Perusahaan ini didirikan Agustus 1948. Kantor CSW letaknya beberapa ratus meter sebelum Terminal Blok M dan berhadapan dengan kantor Kejaksaan Agung. Sampai kini kondektur bus masih menyebut nama demikian.

Pengarang FDJ Pangemanan dalam Tjerita Si Tjonat menggambarkan pada abad ke-19 dari Batavia (Jakarta Kota) ke Kebayoran, bila berangkat sore baru tiba malam hari. Tentu saja kala itu belum ada kendaraan hingga orang harus berjalan kaki. Kebayoran ketika itu merupakan tempat pelarian para penjahat dari Batavia.

Dibangunannya Kebayoran Baru merupakan upaya awal bagi Kota Jakarta untuk menyediakan fasilitas perkotaan terencana. Pada 1949, sepertiga wilayah yang sebagian besar milik warga Betawi sudah dibebaskan. Dan pada 1950, seperti terlihat di foto, mulai dibangun jalan raya yang menghubungkan Kebayoran Baru – Jakarta. Dengan hengkangnya Belanda dari bumi Indonesia, maka pembangunan kota satelit Kebayoran Baru ditangani Kementerian Pekerjaan Umum.

Pada akhir 1950, sekitar dua pertiga wilayah Kebayoran Baru sudah dibuka dan tiga ribu rumah sudah terbangun, 1.300 m2 jalan sudah siap dan 30 ribu saluran air sudah terpasang. Ketika itu baru delapan sekolah yang dibangun. Setahun kemudian (1951) sebanyak 3.365 rumah dibangun, selain rencana pembangunan vila-vila seluas 110 hektare, juga dibangun pertokoan dan gedung sekolah.

Pemekaran wilayah Kebayoran telah menghasilkan pusat pertumbuhan di selatan kota. Ketika Kebayoran Baru hendak dibangun (1948), penduduk Jakarta hanya 823 ribu jiwa. Pada 1960-an jalan-jalan ke Kebayoran Baru nikmat sekali. Tidak ada kemacetan, rumah dan vila-vila mungil merupakan pemandangan yang indah.

Read Full Post »

Sumpah Pemuda Arab

Banyak masyarakat salah persepsi tentang kedatangan orang Arab ke Nusantara. Pemerintah kolonial Belanda menyebutkan para imigran dari Hadramaut (Yaman Selatan) datang ke Indonesia pada abad ke-19. Lalu para orientalis, seperti Snock Hurgronye, menyatakan Islam masuk ke Indonesia bukan dari Arab, tapi Gujarat (India). Tujuannya adalah untuk menghilangkan pengaruh Arab di Indonesia, yang di mata Belanda sangat berbahaya bagi kelangsungan hidupnya di tanah jajahan.

Pendapat tersebut telah dibantah dalam seminar Sejarah Masuknya Islam di Indonesia yang berlangsung di Medan (1973). Seminar yang dihadiri para sejarawan dan pemuka agama ini menegaskan bahwa Islam telah berangsur datang ke Indonesia sejak abad pertama hijriah (abad ketujuh Masehi) dibawa oleh para saudagar Islam yang berasal dari Arab, diikuti oleh orang Persia dan Gujarat.

Menurut hasil seminar itu, mereka bukanlah missionaris Islam sebagaimana diperkirakan dunia Kristen. Sebab, pada hakekatnya setiap orang Islam punya kewajiban menyampaikan missi. Malabar dan Koromandek (India) juga bukan tempat asal kedatangan Islam ke Indonesia, tetapi tempat singgah.

Pada masa terebut perjalanan dari Arab ke Indonesia dengan kapal layar memerlukan waktu berbulan-bulan, bahkan lebih setahun. Karena itu, mereka harus singgah di Gujarat yang kala itu merupakan bandar yang ramai.

Berarti, sejak lama orang Arab telah datang ke Indonesia, Malaysia dan daerah lain di Nusantara. Penduduk menerima orang-orang Arab yang mereka anggap datang dari tanah suci (Mekah dan Madinah). Dapat dipahami bahwa pengaruh Arab di kedua negara tersebut relatif sangat besar.

Pada abad ke-18 dan 19, misalnya, masyarakat Nusantara lebih dapat membaca huruf Arab daripada latin. Maka, mata uang di masa Belanda ditulis dengan huruf Arab Melayu, Arab Pegon atau Arab Jawi. Bahkan, pada masa itu, cerita-cerita roman termasuk tulisan pengarang Tionghoa juga ditulis dalam huruf Arab Melayu.

Mengingat sekitar 90 persen penduduk Indonesia adalah Muslim, seperti pernah dikatakan Rasulullah, ”Dicintai Arab karena tiga hal, karena aku seorang Arab, Alquran tertulis dalam bahasa Arab, dan percakapan ahli surga juga mempergunakan bahasa Arab.” (Hadis riwayat Ibnu Abbas).

Sehubungan dengan hal di atas, wajarlah bila Indonesia-Arab merupakan golongan yang sedemikian unik, karena status atau kedudukan mereka akibat perpaduan antara Islam dan budaya Arab, serta sejarah mereka. Kalau Belanda menyebut pribumi sebagai inlander (bangsa kuli) yang membuat Bung Karno marah besar, keturunan Arab memberikan penghargaan dengan sebutan ahwal (saudara dari pihak ibu). Mengingat, sebagian besar keturunan Arab yang datang ke Indonesia tanpa disertai istri.

Karena itu, orang Indonesia keturunan Arab menolak ketika Belanda ingin meningkatkan status mereka, sebagai usaha untuk menjauhkan mereka dengan pribumi. Mereka lebih memilih untuk berdekatan dengan saudara-saudaranya dari pihak ibu.

Mr Hamid Algadri yang banyak menulis tentang keturunan Arab di Indonesia menyebutkan tidak sedikit mereka yang terlibat dalam perjuangan melawan Belanda di berbagai daerah. Bahkan, Raden Saleh (dari keluarga Bin Yahya), yang merupakan anak didik Belanda, pada akhir hayatnya pernah ditangkap dan dituduh membela kelompok Muslim radikal yang memberontak di Bekasi.

Belanda selalu menyebut kelompok yang melakukan perlawanan terhadap penjajah sebagai radikal dan Islam fundamentalis. Seperti yang dilakukan sekarang ini oleh AS dan sekutu-sekutunya terhadapat para pejuang Islam yang tidak mau tunduk padanya.

Raden Saleh telah menyediakan kediamannya (kini TIM) sebagai kebon binatang sebelum pindah ke Ragunan. Pelukis yang namanya dikenal di dunia internasional ini juga membangun sebuah masjid di Jl Raden Saleh yang hingga kini masih berdiri.

Sebelum Boedi Oewtomo berdiri (1908), pada 1901 berdiri organisasi Islam modern pertama di Indonesia, Jamiat Kheir. Pendirinya antara lain Sayed Ali bin Ahmad Shahab, kelahiran Pekojan, tempat sekolah itu pertama kali didirikan. Kelahiran Jamiat Kheir mendapat simpati dari tokoh-tokoh nasional seperti HOS Tjokroaminoto (Syarikat Islam) dan KH Ahmad Dahlan (Muhammadiyah).

Sayed Ali, bersama sejumlah pemuka keturunan Arab, pernah mengirimkan para pemuda ke Turki, termasuk putranya, Abdul Muthalib Chehab. Di Turki mereka mendapatkan pendidikan militer dengan harapan sekembalinya ke Indonesia dapat turut memimpin perjuangan melawan Belanda.
Sayang, pada 1923 Kerajaan Ottoman jatuh dan Turki menjadi negara sekuler pimpinan Mustafa Kemal Attaturk. Sekarang ini, kelompok Islam di Turki memiliki seorang Presiden yang dekat dengan Islam dan istrinya memakai jilbab, sesuatu yang sebelumnya sangat diharamkan.

Beberapa orang Arab telah mengumpulkan dana sebagai modal pada Tirtoadisuryo untuk mendirikan majalah dagang Medan Prijai di Bandung yang akhirnya mendirikan Sarikat Dagang Islam (SDI) di Jakarta dan Bogor (1911), sebelum yang bersangkutan diundang Samanhudi agar bergabung dengan SDI di Solo (1912).

Tampilnya Partai Arab Indonesia (PAI) pimpinan AR Baswedan dalam arena pergerakan perjuangan kemerdekaan cukup mengejutkan, karena PAI mencita-citakan Indonesia sebagai tanah air keturunan Arab. Sumpah Pemuda Indonesia keturunan Arab ini diikrarkan secara luas pada tahun 1934.

Ikrar tersebut sekaligus menjadi jembatan yang menyatukan kembali kelompok Arabithah dengan Al-Irsyad yang sebelumnya saling cakar-cakaran. Kini masyarakat Indonesia keturunan Arab tidak mau lagi dipecah belah seperti yang pernah terjadi pada masa kolonial Belanda.

Read Full Post »

KH Abdullah Syafi’ie

Awal pekan ini saya mendapat telepon dari KH Abdul Rasyid AS, putera tertua almarhum KH Abdullah Syafi’ie. ”Antum datang ya pada khaul ke-22 walid (ayah) di Puloair, Sukabumi, Jawa Barat.”

Mendapat undangan itu saya teringat peristiwa 22 tahun lalu. Ketika saya hendak olahraga pagi, istri memberitahukan bahwa Radio Assafi’iyah memberitakan KH Abdullah Syafi’ie meninggal dunia tanggal 3 September 1985 dalam usia 75 tahun. Kemudian, dari radio Islam itu bergema ayat-ayat suci Alquran diselingi berita-berita duka cita.

Saya bergegas meninggalkan kediaman di Depok, dan langsung ke rumah duka di Kampung Balimatraman, Tebet Selatan, Jakarta Selatan. Sesampai di rumah duka, sekitar pukul 09.00 WIB, saya mendapati ribuan orang yang tengah ber-takziah. Suara tahlil, takbir dan tahmid bergema tiada henti.

KH Abdullah Syafi’ie memang dikenal luas oleh masyarakat. Karena itu, saya yang saat itu menjadi koordinator liputan KBN Antara menugaskan dua orang wartawati dan seorang fotografer. Bagaimana susah payah dan lelah keduanya, karena dari rumah duka di Kampung Balimatraman ke peristirahatan terakhir di Pesantren Asyafi’iyah, Jatiwaringin, mesin mobil dimatikan. Karena, ribuan pelayat rela untuk saling rebutan mendorongnya sejauh 17 km. Benar saja, kedua reporter tersebut cukup berpeluh saat membuat berita reportase pemakaman.

Saya mengenal baik KH Abdullah Syafi’ie, karena pada masa Habib Ali Alhabsyi (meninggal September 1968), sang kiai hampir tiap Ahad pagi hadir di majelisnya. Apalagi sang kiai pernah berguru di madrasah Unwanul Walah yang dibangun Habib tahun 1920-an. Habib Ali selalu meminta muridnya itu untuk berpidato di majelis taklimnya di Kwitang.

KH Abdullah Syafi’ie juga pernah berguru pada Habib Alwi Alhadad, seorang yang banyak ilmunya hingga diminta menjadi Mufti Johor oleh pemerintah setempat. Kesultanan Johor memberikan penghargaan besar kepada muftinya itu. Habib Alwi adalah pendiri Daarul Aitam (Panti Asuhan) di Tanah Abang, Jakarta Pusat (1931), yang hingga kini masih berdiri dengan megah. Ia juga penulis Masuknya Islam di Indonesia, yang dijadikan salah satu rujukan dalam seminar di Medan (1953).

Saya teringat pada peristiwa 52 tahun lalu, saat kampanye Pemilu pertama (September 1955). Bagaimana gagahnya sang kiai memimpin barisahn ketika melewati Jalan Kwitang Raya — depan toko buku Gunung Agung. Memang, waktu Pemilu 1955, sang kiai berkampanye untuk Partai Masyumi. Karenanya, sampai akhir hayatnya dia sangat dekat dengan Mohamad Natsir, Mr Mohamad Roem, Syafrudin Prawiranegara, Prawoto Mangunpuspito, dan KH Abdulllah Salim.

Bagi KH Abdullah Syafi’i, beda pendapat dalam agama bukan untuk diperdebatkan, apalagi menjadi sumber konflik. Dia dekat dengan kelompok tradisional yang memang merupakan tema majelis taklimnya. Tapi, ia juga punya hubungan erat dengan tokoh-tokoh pembaharuan.

Meskipun sekolahnya hanya sampai kelas dua SD, tapi ketika ia wafat putra-putrinya ikut mengendalikan perguruan Islam Asyafi’iyah yang memiliki 63 lembaga. Suatu prestasi yang perlu diacungi jempol. Menunjukkan ia punya cita-cita besar untuk memajukan umat Islam Indonesia. Ketika ditanya dari mana dananya, almarhum dengan optimis mengatakan, ”Setiap niat baik dan ikhlas, pasti Allah akan memberikan jalan.”

Melihat pesantrennya yang memiliki ribuan santri dari tingkat SD sampai perguruan tinggi, mungkin sukar dipercaya bahwa untuk mencapainya almarhum merintisnya dari bawah. Kiai yang kental logat Betawi-nya dan dikenal rendah hati ini mulai berdakwah dari kandang sapi. Kemudian, dari kandang sapi dia membangun Masjid Al Barkah yang diresmikan oleh Habib Ali Kwitang (Nopember 1933). Lalu, ia menyediakan tanahnya sendiri yang dibeli dengan uang pribadi.

Bagi KH Abdullah Syafe’ie, perjuangan untuk Islam tidak mengenal akhir. Sebelum wafat, almarhum masih bercita-citakan untuk membangun pesantren Alquran. Rupanya, putra KH Abdul Rasyid ini ingin mewujudkan cita-cita sang ayah. Pada tahun 1970 — 17 tahun lalu, atas wakaf dari pengusaha Restoran Lembur Kuring, H Sukarno, dia mendapatkan hibah tanah seluas 3,3 hektar di Pulau Air, Jl Sukabumi-Cianjur Km 10,

Saat ini pesantren Alquran, mulai dari TK sampai SMA, memiliki tanah seluas 27 hektar. Pesantren yang terletak di atas ketinggian 600 meter di atas permukaan laut itu, kini memiliki lebih dari 700 santri. Pesantren yang juga menyelenggarakan pendidikan umum itu telah mewisuda 15 santri hafal Alquran. Empat diantaranya telah diberangkatkan haji.

Seperti ayahnya, KH Abdul Rasyid AS belum merasa puas atas apa yang telah dimiliki dan diperbuatnya. ”Saya bercita-cita pesantren ini menjadi tempat pengkaderan ulama,” katanya.

Dia juga bercitya-cita membangun sebuah universitas Islam berbobot di Pulau Air, serta mendirikan rumah sakit Islam di lereng pegunungan yang sejuk itu. Kini siaran radionya makin berkembang dengan adanya Radio Asyafi’iyah 792 AM dan RASfn 95,5 — keduanya di Jakarta. Selain itu, juga Radio Suara Pulau Air FM 89,5. ”Khaul walid nanti akan disiarkan langsung oleh ketiga radio tersebut,” katanya

Read Full Post »

Sosialis Kanan (Soska)

Pada tahun 1955, menjelang Pemilu pertama, saya menghadiri kampanye Partai Sosialis Indonesia (PSI) di lapangan Gambir (kini Monas), berhadapan dengan gedung Dana Reksa. Saya, sebagai pemembaca koran Pedoman, tertarik pada PSI. Koran yang dipimpin Rosihan Anwar ini menjadi pendukung PSI, bersama Keng Po dan Indonesia Raya. Ketiganya, pada tahun 1950-an dan 1960-an merupakan koran yang memiliki tiras terbesar di Indonesia.

Jumlah massa mengikuti kampanye ternyata tidak begitu banyak. Sekalipun hanya bagian kecil lapangan Gambir yang digunakan, masih tampak ruang-ruang kosong. Padahal, hadir Sutan Sjahrir, ketua umum PSI, Sumitro Djojohadikusumo, Subadio Sastrosatomo, dan sejumlah tokoh PSI lainnya. Jauh lebih sepi dibanding kampanye Masyumi, PNI, NU dan PKI.

Dalam kampanye PSI itu hadir pula ketua partai sosialis Birma. Pada tahun-tahun tersebut di Asia dan Eropa banyak bermunculan partai sosialis yang mempunyai pengaruh kuat di pemerintahan.

Sedikitnya pendukung PSI tercermin pada hasil Pemilu 1955. Partai yang dijuluki sosialis kanan (soska) karena gandrung kepada kelompok Troskis katimnbang Stalin yang berkuasa setelah meninggalnya Lenin itu hanya meraih lima kursi di parlemen — merosot dari sebelumnya 17 kursi. Partainya Sjahrir — yang dijuluki Bung Kecil — itu tidak begitu laku di kalangan buruh dan tani, meski di kalangan terpelajar memiliki kader-kader militan yang tergabung dalam Gerakan Mahasiswa Sosialis dan Gerakan Pemuda Sosialis.

Setidak-tidaknya, setelah PKI dibubarkan karena dituduh terlibat G30S, para kader PSI menduduki posisi penting dalam pemerintahan Order Baru. Bahkan, Widjojo Nitisastro menjadi ketua Bappenas dan anggota-anggota kelompoknya memegang kendali ekonomi.

Pada masa Jepang, Sjahrir dikenal sebagai tokoh yang non-kooperatif. Ia menolak kerja sama dengan Jepang, berlainan dengan Sukarno-Hatta yamg mau kerjasama dengan Dai Nippon. Dia mendirikan PSI pada tahun 1948, setelah pada awal revolusi mengeluarkan sebuah buklet berjudul Perjuangan Kita, yang berisi diagnosis terhadap masalah-masalah kontemporer Indonesia pada masa revolusi fisik.

Di masa itulah kemudian ‘si Bung Kecil’ menduduki jabatan sebagai Perdana Menteri. Naiknya Sjahrir sebagai PM untuk menunjukkan kepada Belanda bahwa republik ini bukan bentukan Jepang. Wartawan senior Rosihan Anwar dalam buku Subadio Sastrosastomo mengemukakan, kekalahan PSI dalam Pemilu 1955 berarti berakhirnya politik Sjahrirl. Ini suatu hal yang tragis, tulisnya. Hal yang sama dikemukakan Jenderal Simatupang dan Mochtar Lubis.

Namun, PM pertama RI ini justru tutup usia dalam status sebagai tahanan politik Orla pada 9 April 1966 di Zurich, Swiss. Dia diizinkan berobat ke Swiss oleh Presiden Soekarno sejak Mei 1965. Dalam surat izin itu Sjahrir diperbolehkan berobat kemana saja selain ke Belanda. Kalau pada masa Orla dia dianggap penghianat, saat jenazahnya tiba di tanah air dia dielu-elukan sedemikian rupa, bahkan diangkat sebagai pahlawan nasional.

Keberhasilan Sjahrir menduduki jabatan PM tidak serta-merta menghilangkan gejolak yang ada. Menurut Anderson (1988) dalam salah satu tulisannya, ada dua hal yang menjadi fokus permasalahan. Pertama, kabinet tersebut tidak mewakili semua golongan, bahkan hanya dikuasai oleh pemimpin-pemimpin dari Partai Sosialis dan beberapa orang profesional yang buta politik. Kedua, karena isi program kabinet Sjahrir yang mengutamakan diplomasi daripada perlawanan bersenjata.

Salah satu tokoh yang keras menentang kebijakan-kebijakan Sjahrir adalah Tan Malaka. Dalam usia yang sangat muda, Tan Malaka berpidato pada sidang kominteren (komunis internasional). Kelompok Tan Malaka — yang juga sosialis — memiliki kader-kader muda yang berpendirian setelah kemerdekaan diproklamirkan bukan sesuatu yang harus dirundingkan. Kemerdekaan itu adalah seratus persen milik bangsa Indonesia.

Kecendrungan semacam itu makin memuncak setelah terjadinya pertempuran di Surabaya tanggal 10 Nopember 1945. Tan Malaka yang melihat secara langsung peristiwa itu menganggap bahwa semangat yang muncul pada waktu itu merupakan tanda untuk dapat menggerakkan massa guna merealisasikan revolusi total. Baginya, pertempuran-pertempuran amat penting dilakukan dengan pengorganisasian serta kepemimpinan yang kuat. Bukan semata-mata dilakukan melalui perundingan-perundingan, tulis Aria Wiratma, anggota Studi Klub Sejarah, UI. Tan Malaka mati tertembak dalam revolusi fisik.

Ketika Bung Karno dan Bung Hatta diculik oleh para pemuda agar memproklamirkan kemerdekaan saat itu juga, dalam bukunya Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat, dia menuduh Sjahrirlah orang yang menyala-nyalakan api para pemuda itu. Padahal yang menculik Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdenglok, Karawang, kemudian dikenal sebagai kelompok Tan Malaka. Mereka kemudian tergabung dalam Partai Murba, yang juga dituduh Troskis dan sangat dibenci oleh PKI-nya DN Aidit.

Ketika PSI bersama Masyumi dibubarkan oleh Bung Karno pada 1960, berarti dua musuh bebuyatan PKI jadi partai terlarang. Maka, bagi PKI, tinggal Partai Murba yang harus dihadapinya. Dan Partai Murba pun mengalami nasib yang sama, dibubarkan oleh Bung Karno hanya beberapa hari menjelang G30S.

Saat itu, musuh-musuh politik PKI sudah tersingkir. Tapi, PKI menghadapi lawan berat, Angkatan Darat. Meskipun sebelumnya telah berhasil mengutak-ngatik perpecahan di tubuh ABRI, tapi yang terakhir inilah yang menumpas PKI dan menggagalkan G30S.

Read Full Post »

« Newer Posts - Older Posts »