Sejarah Indonesia terasa hambar. Bahkan bongkar pasang. Buktinya, banyak peninggalan sejarah telah dibongkar dan dihancurkan. Tidak terkecuali rumah kediaman Bung Karno. Padahal, rumah di Jl Proklamasi (dulu Jl Pegangsaan Timur) 56, Jakarta memiliki nilai sejarah paling monumental. Dari tempat ini pada 17 Agustus 1945 pukul 10.00 pagi diproklamirkan kemerdekaan RI.
Kini, rumah yang bagian mukanya dibangun patung Proklamator Sukarno – Hatta, dijadwalkan akan dibangun kembali sesuai bentuk aslinya. ”Agar nilai sejarahnya lebih berbobot, pembangunan kembali rumah Bung Karno sebaiknya dilakukan ditempat semula,” kata drs Nurhadi, seorang staf pada Dinas Museum dan Pemugaran DKI Jakarta. Tanpa harus menggusur Tugu Proklamator, masih terdapat cukup luas pekarangan, di gedung yang sekarang bernama Perintis Kemerdekaan.
Ali Sadikin, ketika membuka seminar: ”Potensi Ekonomi Pelestarian Kawasan dan Bangunan Tempo Doeloe” pekan lalu ikut mendorong dibangunnya kembali kediaman Bung Karno. Bahkan, mantan gubernur DKI itu mengimbau masyarakat dan LSM untuk juga ikut mendorongnya. ”Belum terlambat untuk membangun kembali rumah Bung Karno,” katanya.
Sebetulnya, keinginan untuk membangun kembali rumah yang 55 tahun lalu dijadikan tempat proklamasi kemerdekaan RI sudah tercetus sejak lama.
Seperti dikemukakan Ali Sadikin, sejak menjadi gubernur DKI ia sudah berencana membangunnya kembali. ”Bahkan saya telah menyiapkan dananya. Tapi, Pak Harto tidak setuju karena akan membangun patung proklamator,” kata Bang Ali.
Agar pembangunan kembali rumah Bung Karno dapat dipertanggungjawabkan terhadap keabsahan sejarah, pihak Dinas Museum dan Pemugaran DKI, kata Nurhadi, tengah meneliti kembali bentuk rumah saat masih didiami presiden pertama RI. Seperti jumlah dan letak kamar, jenis perabot yang digunakan, tempat tidur Bung Karno dan keluarga. Di antara putera-puteri Bung Karno, hanya si sulung Guntur yang dilahirkan di tempat ini.
Rumah ini dibongkar masa pemerintahan Bung Karno. Ada yang mengatakan ia tidak mau diingatkan kembali pada keadaan yang tidak menyenangkan, saat-saat menjelang proklamasi kemerdekaan. Seperti saat ia beberapa kali didesak para pemuda radikal yang mengancamnya agar memproklamirkan kemerdekaan lebih awal.
Tentu saja, Bung Karno, sesuai dengan wataknya tidak pernah mau dipaksa-paksa kelompok muda, seperti Sukarni, Chaerul Saleh dan Wikana. Alasannya, waktu itu Jepang masih kuat dan memiliki senjata, yang tidak dimiliki para pemuda.
Dalam buku ”Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat” nya Cindy Adams, Bung Karno mengatakan: ”Kalau engkau, pemuda, hendak mengadakan pertumpahan darah yang sia-sia, cobalah tanpa saya.” Sementara dibelakang terdengar tangis Guntur dibujuk oleh Fatmawati. Menggambarkan betapa ‘panasnya’ pertemuan ini.
Pada 15 Agustus 1945, para pemuda yang telah mendengar Jepang menyerah, kembali mendatanginya diberanda rumah ini. ”Sekarang Bung, malam ini juga,” kata Chaerul Saleh. ”Kita kobarkan revolusi yang meluas malam ini juga. Dengan satu isyarat Bung Karno seluruh Jakarta akan terbakar. Ribuan pasukan bersenjata sudah siap sedia menyingkirkan seluruh tentara Jepang.”
Sukarni dan sejumlah pemuda lainnya juga bersuara lantang. Karena Bung Karno tetap tidak mau meladeni desakannya, seorang pemuda dengan suara rendah mengatakan: ”Barangkali Bung Besar kita takut. Barangkali dia menunggu perintah dari Tenno Heika.” (Kaisar Jepang-penulis).
Wikana mengikuti ejekan ini. ”Dia coba menggertakku. Revolusi berada ditangan kami sekarang dan kami memerintah Bung. Kalau Bung tidak memulai revolusi malam ini, lalu …..”. ”Lalu apa?” teriakku sambil meloncat dari kursi dengan kemarahan menyala-nyala. Jangan aku diancam. Ini kudukku. Boleh potong hayo.” Keesokan harinya (16/8-1945), sekitar pukul 04.00 saat sahur (waktu itu bulan puasa), para pemuda dipimpin Sukarni menculik Sukarno dan Hatta. Bersama Fatmawati dan Guntur yang masih bayi, mereka dibawa ke Rengasdenglok, Karawang (75 km arah timur Jakarta). Keduanya kembali menolak desakan para pemuda untuk memproklamirkan kemerdekaan di tempat ini. Baru kembali ke Jakarta malam hari, mereka langsung merumuskan naskah proklamasi di Jl Imam Bonjol (Nassau Boulevard), rumah Laksamana Maeda, panglima AL Jepang di Indonesia hingga pukul 04.00 pagi.
Mulanya, proklamasi kemerdekaan akan dibacakan di Lapangan Ikada (Monas). Tapi, demi menghindarkan bentrokan dengan tentara Jepang ditetapkan di kediaman Bung Karno. Pagi hari (17 Agustus 1945), sekitar 09.00 pagi kira-kira 500 orang berdiri di depan beranda rumah ini.
”Sekarang Bung, sekarang. Rakyat berteriak.” Tapi Bung Karno tidak mau, karena Hatta tidak ada. Ketika didesak dr Muwardi, komandan Barisan Pelopor, Bung Karno mengatakan: ”Saya tidak mau membacakan teks proklamasi bila Hatta tidak ada. Jikalau Mas Muwardi tidak mau menunggu silahkan baca sendiri.” Hatta tiba lima menit sebelum pembacaan proklamasi.
Masih banyak peristiwa penting terjadi di tempat ini. Seperti saat ia bersama Bung Hatta memimpin sidang kabinet RI pertama, hanya beberapa hari setelah proklamasi.
Mengapa Suharto tidak setuju dengan “ide mulia” bang Ali?
Apakah begitu besar bencinya Suharto terhadap “AYAH” REPUBLIK INDONESIA?
Aneh, rasanya saya kog jadi emosi mengetahui informasi ini.
Pantas saja rakyat tidak menggubris bendera setengah tiang, bahkan untuk 1 menitpun saya tidak rela, tidak sudi memasangnya!!!
Maaf bukan saya bermaksud menghina yang sudah dipanggil, tapi saya benar-benar kecewa mengetahui kedegilan sifat “bapak kemunduran” (derajat) bangsa.
Tuhan ampuni kemarahan saya terhadap orang “kerdil” ini.
Amin!
[…] https://alwishahab.wordpress.com/2000/07/30/rumah-bung-karno/ […]
NIAT MEMBANGUN KEMBALI RUMAH BUNG KARNO
Oleh Dasman Djamaluddin
Saya termasuk di antara undangan yang hadir dalam Seminar Draft Garis-Garis Besar Pengembangan Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Selasa, 15 Desember 2009 lalu di Jakarta. Meski undangan terbatas, tetapi di dalam seminar tersebut muncul gagasan-gagasan menarik yang patut dikembangkan dan dilaksanakan demi generasi penerus bangsa yang cinta akan sejarah bangsanya sendiri.
Ada dua gagasan pokok yang dapat saya tarik dari seminar tersebut. Pertama, betapa bangsa ini banyak yang tidak mengetahui sejarah bangsanya sendiri. Seakan-akan bangsa ini ingin melupakan sejarahnya dan lebih suka membaca sejarah-sejarah bangsa dari luar. Sebagai bukti banyak di antara peserta tidak mengetahui bahwa bangunan gedung yang berada di Jl.Imam Bonjol No.1 Jakarta Pusat yang di depannya berdiri megah rumah Dubes Amerika Serikat itu adalah Rumah Maeda, seorang Admiral Angkatan Laut Jepang yang mengizinkan para pendiri bangsa merumuskan naskah proklamasi, cikal bakal dari kemerdekaan bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Tentang gambaran rumah Maeda ini pada malam 17 Agustus 1945, Burhanudin Muhammad Diah atau lebih sering namanya disingkat B.M.Diah yang hadir dalam persitiwa bersejarah penting malam 17 Agustus 1945 sebagai satu-satunya seorang wartawan, di dalam buku yang saya tulis pada tahun 1992, halaman 57 /Butir-Butir Padi B.M.Diah, Tokoh Sejarah yang Menghayati Zaman, Diungkapkan kepada Dasman Djamaluddin (Jakarta: Pustaka Merdeka,1992), mengatakan:
“Kalau bolehlah saya katakan udara fajar di luar rumah kediaman Laksamana Maeda Angkatan Laut Jepang itu sangat cerah. Langit merona agak keputihan. Udara terang karena langit ditabur bintang. Dan orang berpuasa masih boleh makan sahur. Bung Hatta yang berada di tempat naskah proklamasi dibuat, telah memesan makanan untuk sahur. Hari itu kaum Muslimin sedang berada dalam waktu puasa yang telah berjalan beberapa hari. Saya keluar ke pekarangan rumah besar Laksamana Maeda yang memberikan, pejuang kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia sebuah ruangan untuk mempersiapkan satu proklamasi kemerdekaan…Daerah kita itu orang asing yang menguasai. Kita tidak berhak untuk berkumpul dan bermusyawarah di mana saja kita kehendaki. Kita tidak merdeka. Kita tidak memiliki sesuatu kekuasaan. Rumah yang didiaminya (Rumah Maeda), suatu daerah extra-territorial (satu daerah bebas yang berdiri sendiri) bagi kami untuk melaksanakan suatu tindakan sejarah, ketika bangsa Indonesia harus menentukan sendiri hari depannya.”
Faktor kedua, menyoroti sejauh mana kepedulian Pemerintah Indonesia terhadap benda-benda bernilai sejarah (museum). Mungkinkan bangsa ini diingatkan kembali agar “Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah (Jas Merah)”? Ketika kita melihat bangsa dan negara LAIN sangat menghargai sejarahnya, terbukti dengan berdirinya museum-museum megah yang sangat ramai dikunjungi wisatawan dari berbagai negara di mana didukung penuh pemerintahnya masing-masing, ada di mana pemerintah kita ?
Akhirnya seminar mengerucut kepada dua permasalahan pokok, di mana saya ikut mendukungnya:
Pertama, banyak gagasan Bung Karno (Presiden Soekarno, Proklamator dan Presiden Pertama RI) di dalam rangka membuat bangunan-bangunan bersejarah tidak sesuai dengan rencana semula penggagasnya. Contoh konkrit yang dikemukakan adalah menganai bangunan Monumen Nasional (Monas).
Kedua, menghimbau pemerintah agar rumah Bung Karno di Pegangsaan Timur dibangun kembali, sehingga generasi penerus bangsa bisa mengenal lebih dekat dan mendalam tentang sejarahnya sendiri. Bahkan saya berkomentar: “MEMBANGUN KEMBALI RUMAH BUNG KARNO LEBIH BAIK DARI PADA MEMBANGUN PATUNG OBAMA DI MENTENG. Memang bangunan ini sekitar tahun 60-an dibongkar atas perintah Bung Karno, sang pemilik. Peristiwa ini hingga kini masih menjadi misteri mengapa Bung Karno yang dikenal cinta budaya, cinta sejarah, cinta peninggalan sejarah itu justeru menghancurkan rumah yang amat bersejarah dan penuh kenangan itu. Dari suatu sumber menyatakan bahwa dalam Sidang Dewan Perancang Pembangunan Nasional (DEPERNAS), bulan Agustus 1960, Bung Karno mengatakan bahwa rumah proklamasi akan dibongkar dan di atasnya akan dibangun Gedung Pola. Sedangkan menurut Harian Merdeka (9 September 1993) ada oknum-oknum yang tidak masuk dalam sejarah proklamasi menginginkan rumah itu dibongkar. Nah, mana yang benar ? Sebelum gedung ini dibongkar Henk Ngantung, Wakil Gubernur DKI waktu itu menghadap Bung Karno untuk memohon agar rumah TIDAK dibongkar. Dengan nada tinggi Bung Karno berkata: Apakah kamu juga yang termasuk mereka yang ingin memamerkan celana kolorku ?”
[…] https://alwishahab.wordpress.com/2000/07/30/rumah-bung-karno/ […]