Feeds:
Pos
Komentar

Archive for the ‘Gubernur’ Category

Agar Jakarta Ijo Royo-royo

Fotograper Woodbury & Page telah mengadakan ratusan foto Batavia akhir abad ke-19. Ketika itu, ia merupakan kota yang ijo royo-royo. Seperti Jl Kalibesar di Glodok yang kini hiruk-piruk dan gersang masih dipenuhi pepohonan rindang. Apalagi daerah pinggiran kala itu seperti Condet, Tebet, Senayan, bahkan Menteng masih jarang dihuni manusia. Di sepanjang Jl Hayam Wuruk dan Gajah Mada yang diapit kanal Ciliwung dikiri kanan dipenuhi pohon rindang.

Tentu saja, membandingkan Jakarta seratus tahun lalu yang penduduknya baru ratusan ribu jiwa, sangat tidak relevan. Jakarta kini sudah menjadi kota megapolitan yang berpenduduk sekitar 10 juta jiwa. Tentu saja Jakarta memerlukan gedung-gedung pencakar langit, ratusan pusat perbelanjaan, dan berbagai tempat hiburan. Tapi, jangan semua tanah kosong dijadikan hutan beton. Sisakanlah juga untuk penghijauan, yang kini banyak dilakukan oleh kota-kota besar di dunia.

Menyadari perlunya ‘paru-paru kota’, Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso mencita-citakan agar 13 persen dari wilayah seluas Jakarta sekitar 66.000 hektare, 14 persen adalah daerah hijau royo-royo atau sekitar 9.240 hektare lahan hijau. Sekarang ini, sekalipun baru delapan persen, konon penghijauannya lebih baik dari Bandung, yang pada masa kolonial Belanda dijuluki ‘Parijs van Java’. Sutiyoso sendiri ketika memagari Monas — lapangan terbesar dan terluas di dunia –, mendapat reaksi keras dari banyak pihak. Sekarang ini, Monas tertata rapi dan merupakan salah satu tempat rekreasi paling digandrungi masyarakat. Tiap hari tidak kurang dari delapan ribu orang mendatanginya. Bahkan pada hari-hari libur, bisa mencapai 20 – 25 ribu orang. Mereka datang untuk rekreasi sambil olah raga.

Dalam melaksanakan programnya selama dua periode menjabat gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso punya prinsip dan keyakinan bahwa ia ingin melaksanakan tugas sebaik mungkin. Sekalipun sebagai manusia, ia pernah menyatakan tidak luput dari kesalahan. Karena itulah, dia menerima, bahkan siap untuk menerima kritik.

Adanya hutan kota ini, dapat mengurangi banjir. Seperti dikemukakan sejumlah pakar perkotaan, kalau saja tidak ada lagi lahan kosong untuk area resapan air dan luapan air sungai, kawasan Stadion Gelora Bung Karno yang merupakan stadion terbesar di dunia ketika awal dibangun, akan tenggelam. Singapura yang berpenduduk lima juta — satu juta warga asing –, tiap tahun kedatangan sekitar 20 juta wisatawan asing. Dan negeri pulau ini, membanggakan dirinya: ‘Garden City’ (kota taman). Untuk mencapai target yang dipatok Sutiyoso menjadikan Jakarta ‘ijo royo-royo’, Pemprov DKI Jakarta akan menanam 115 ribu pohon produksi di seluruh wilayah Jakarta.

Pohon-pohon yang akan ditanam adalah pohon jenis produktif setinggi dua sampai dua setengah meter. Seperti mangga, jambu, rambutan, belimbing, jeruk, dan durian. Sampai tahun 1970’an, kampung-kampung di pinggiran Jakarta melimpah dengan buah-buahan. Durian dan jeruk sudah merupakan pohon langka, hingga kita mengimpor durian montong dan jeruk dalam jumlah berlimpah.

Sutiyoso, lulusan Akademi Militer Magelang (1968), yang pernah menjabat sebagai Wakil Komandan Jenderal Kopassus (1962) dan Pangdam Jaya (1996), adalah seorang penggemar berat olah raga. Tidak heran kalau hobi Letjen (Purn) ini bulutangkis, tenis, golf, menembak, basketbal, dan sepakbola. Dia juga menjadi pengurus sekitar 10 organisasi olah raga, di samping Ketua Asosiasi Pimpinan Pemerintahan Daerah Seluruh Indonesia (APPSI).

Read Full Post »

Terobosan Transportasi Darat dan Air

Sutiyoso, mantan Pandam Jaya ini, tetap tegar sekalipun menghadapi berbagai kritik pedas. Seperti saat-saat gubernur kelahiran Semarang, 6 Desember 1944 merencanakan untuk membangun busway. Tak pelak lagi jalan-jalan di Ibu Kota makin parah kemacetannya karena di bagian kiri dan kanan ditutup untuk jalur busway. Tapi kini, banyak masyarakat yang tertolong dengan adanya angkutan TransJakarta itu.

Pergi ke Senen dari Cililitan yang biasanya memerlukan waktu lebih satu setengah jam, kini melalui busway ditempuh tidak sampai setengah jam. Begitu juga perjalanan dari Ragunan (Jakarta Selatan) ke Kota (Jakarta Barat) setelah mengganti bus di terminal Jl Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat, seluruhnya dapat ditempuh sekitar 40 menit. Dari sini, mereka yang ingin rekreasi ke Taman Impian Jaya Ancol, dapat memilih naik mikrolet dengan hanya membayar Rp 2 ribu per orang. Atau meneruskan perjalanan dengan busway, bukan hanya cepat, tapi juga nyaman. Bahkan ada jalur dari Jatinegara-Ancol.

Apa yang dirintis oleh Sutiyoso –meniru proyek yang sama di Bogotta, ibukota Kolombia– mendapat penghargaan dari Organisasi Angkutan Darat (Organda), yang menobatkannya sebagai Bapak Pembaruan Transportasi. Organisasi angkutan ini menilai Sutiyoso telah mampu secara revolusioner mengatasi masalah transportasi di Jakarta melalui konsep Pola Transportasi Makro (TPM). Pola TPM yang di antaranya melahirkan busway terbukti telah banyak mengalihkan penggunaan kendaraan pribadi ke angkutan massal. Ada yang berpendapat bahwa busway sepertinya pengganti trem yang beroperasi sampai tahun 1960. Para meener (tuan) Belanda, bila ke kantor di sekitar Pintu Besar dari kediamannya di Menteng dan Matraman pulang pergi naik trem. Pengalihan penggunaan mobil pribadi kepada angkutan massal kini berlangsung di negara-negara maju di Eropa, termasuk jiran kita Singapura dan Kuala Lumpur.

Jadi, di Jakarta sendiri buat apa ada keluarga yang memiliki tiga sampai empat mobil, kalau angkutan massal seperti busway dapat ditingkatkan operasionalnya. Tidak terjaring kemacetan yang terjadi di hampir jaringan jalan raya di Ibukota, termasuk jalan bebas hambatan (tol). Sayangnya, banyak pengemudi angkutan umum dan mikrolet, termasuk mobil pribadi dan sepeda motor ikut menyerobot jalur busway. Kalau saja jumlah bus TransJakarta ini ditingkatkan lagi jumlahnya, penyerobotan diharapkan tidak terjadi lagi.

Terobosan lainnya yang dilakukan Sutiyoso –satu-satunya gubernur di Indonesia yang mengalami lima kali penggantian presiden– ketika dia belum lama berselang meresmikan angkutan air (waterway) dari Halimun sampai Karet melalui Kali Ciliwung di Banjir Kanal Barat. Dengan hanya membayar Rp 3.000 per orang, mereka dapat menikmati suasana Jakarta ketika masih bernama Batavia. Ketika itu, Belanda menjadikan sungai-sungai di Jakarta sebagai transportasi air. Bahkan para warga Belanda, yang kala itu banyak tinggal ditepi-tepi sungai atau kanal masing-masing memiliki perahu. Saat berkunjung atau bertamu mereka datang dengan mengendarai perahu.

Sutiyoso sendiri, yang akan berakhir masa jabatannya bulan Oktober mendatang, saat meresmikan waterway ingin menciptakan suasana kota Batavia. Sejauh ini, animo masyarakat Ibu Kota untuk berekreasi melalui waterway yang berlangsung tiap Sabtu dan Ahad dari pagi hingga sore cukup besar. Disediakan dua buah kapal yang masing-masing dapat menampung 28 orang.

Read Full Post »

Kiat Menghentikan Banjir

Sutiyoso, menjabat gubernur DKI Jakarta selama periode (1997-2002 dan 2002-2007). Bulan Agustus mendatang, gubernur kelahiran Semarang 6 Desember 1944 akan habis masa jabatannya. Dua hari sebelum periode kedua jabatannya, sebuah surat kabar Ibu Kota menganugerahi Sutiyoso gelar ‘Gubernur Pembuat Berita Terpopuler Indonesia 2002.’

Penganugerahan ini didasari pemberitaan media massa yang tiada henti tentang Sutiyoso sejak akhir 2001 hingga Juli 2002. ”Tiada hari tanpa berita tentang Sutiyoso,” kata pimpinan suratkabar tersebut.

Sutiyoso yang meminta warga Jakarta untuk selalu kritis dan memberikan masukan kepadanya, siap menghadapi kecaman yang begitu gencar ketika terjadi banjir bulan Pebruari 2007 yang mengakibatkan ratusan ribu warga Jakarta harus mengungsi dan meninggalkan kediaman mereka. Dia sendiri mendatangi posko-posko banjir yang banyak terdapat ketika itu, dan siap berdialog dengan para korban. Untuk itu, Sutiyoso mengaku bahwa dia tiap hari tidur tidak lebih dari tiga jam.

Tanpa basa-basi, dia mengatakan banjir di Jakarta tidak dapat ditanggulangi oleh Pemprov DKI sendiri tanpa bantuan pemerintah pusat. Ini juga pernah dikemukakan Bang Ali saat ia menjadi gubernur DKI. Bahaya banjir di Jakarta, kata Bang Ali, tidak dapat dihindarkan sampai kapan pun selama kita tidak mengadakan sistem drainase yang sempurna. Dan untuk mengatasi bahaya banjir dengan tuntas, biayanya mahal, terlalu mahal.

”Waktu saya menjadi gubernur, banjir besar menyebabkan dua juta orang kebanjiran,” ujar Bang Ali. Padahal sekarang ini penduduk Jakarta setidaknya tiga kali lipat dari masa Bang Ali pada tahun 1970-an.

Jakarta yang tingginya hanya tujuh meter dari permukaan laut, sejak masa VOC bila musim hujan selalu diiringi banjir. Sampai pihak Belanda sendiri ada yang menyesalkan kenapa Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen ketika membangun Batavia (1619), tidak memilih dataran yang lebih tinggi.

Tampaknya, Sutiyoso yang bulan Oktober akan berakhir masa jabatannya ingin menuntaskan masalah banjir yang disepakati sebagai salah satu masalah besar di Jakarta. Setidaknya, jangan sampai terjadi lagi banjir seperti tahun 2002 dan 2007 saat masa jabatannya. Banjir yang terakhir ini agar jangan sampai terjadi lebih parah. Ia terpaksa memerintahkan membuka Pintu Air Manggarai yang bisa menimbulkan banjir di kawasan Istana Kepresidenan. Ini demi untuk menolong masyarakat lebih luas.

Dalam upaya menanggulangi banjir secara lebih tuntas, Sutiyoso memilih untuk mengembangkan pembangunan terowongan air berskala besar dibanding membangun waduk resapan di atas sungai purba. Pembangunan terowongan air ini juga sudah dilakukan di beberapa kota besar seperti Hongkong, Kuala Lumpur, Singapura, dan Chicago.

Terowongan air ini nantinya berfungsi untuk mengatasi masalah banjir, kelangkaan air baku, penanganan limbah air perkotaan, manajemen dan konservasi air tanah, serta perbaikan kondisi kualitas air sungai.

Pembangunan terowongan air bawah tanah ini tidak rumit seperti pembangunan Banjir Kanal Timur yang terganjal masalah pembebasan lahan. Sedang pembangunan terowongan ini tidak membutuhkan pembebasan lahan karena dibangun 100 meter di bawah tanah.

Dalam bidang spiritual, Sutiyoso melakukan gebrakan ketika ia menyulap daerah Kramat Tunggak, Jakarta Utara menjadi Islamic Center, salah satu pusat kegiatan Islam paling megah yang ditangani Pemda DKI. Tempat pelacuran Kramat Tunggak ia tutup. Ketika menjelaskan rencana menjadikan Kramat Tunggak sebagai Islamic Center kepada para alim ulama, mereka langsung bertakbir: ”Allahu Akbar, Allahu Akbar”

Read Full Post »

Calon Dalang yang Jadi Gubernur

Surjadi Soedirdja, dilantik menjadi Gubernur DKI Jakarta, Nopember 1992 menggantikan Wiyogo Atmodarminto. Putra Banten kelahiran Jakarta 11 Oktober 1938, sewaktu kecil dipersiapkan menjadi seorang dalang wayang golek oleh ayahnya, Soedirdja. Sejak ayahnya meninggal (1947), Surjadi lebih condong kemiliteran. Lulusan AMN Magelang (1962) dan Lemhanas (1979) sebelum menjadi Gubernur DKI menjabat Pangdam V/Jaya (1988-1990) dan kemudian menjadi Asisten Sospol ABRI (1991-1992).

Selama lima tahun menjabat Gubernur DKI, Surjadi melakukan banyak kejutan. Di awal kepemimpinannya, Pemprov DKI sedang menghadapi masalah Terminal Kampung Rambutan, Jakarta Timur yang mendapat sorotan pers karena dinilai semrawut dan keadaan bangunannya kurang siap. Dengan tegas ia menindak pegawai yang dinilai bertanggung jawab atas keadaan itu.

Tidak tanggung-tanggung sebanyak 20 orang aparat Pemprov DKI yang dicurigai memanipulasi pembangunan terminal ini dipecatnya. Masih di awal jabatannya, gubernur yang selalu tampak serius ini menindak 42 aparatnya yang terlibat manipulasi pembangunan Pasar Jatinegara, Jakarta Timur. Di samping itu dia memecat 28 orang aparatnya yang tersangkut manipulasi pembangunan 16 kantor kelurahan.

Gedung-gedung kelurahan dengan luas tanah rata-rata 1.000 m2 dan luas bangunan 700 m2 itu tampak megah dari luar, tapi borbok di dalamnya. Tembok retak bahkan ada yang sampai bolong. Lantai keramik pecah-pecah dan kusen dibuat dari kayu yang jelek kualitasnya. Bahkan ada yang dibuat dari kayu bekas. Ini membuat Surjadi tak memberi ampun terhadap aparatnya yang tak bertanggung jawab.

Sesuai dengan motto: Teguh Beriman singkatan dari ”gerakan untuk hidup bersih, indah, menarik, manusiawi, dan aman”, gubernur yang puasa Senen-Kemis ini bertindak tegas terhadap para preman. Apalagi kehadiran mereka makin meresahkan, hingga diperlukan tindakan tegas dan kuat. Ketika itu, seperti juga sekarang ini preman-preman beroperasi bukan hanya di pasar-pasar, tapi juga di terminal-terminal dan tempat-tempat keramaian. Mottonya itu dilestarikan melalui lomba cipta lagu ”Jakarta Teguh Beriman”.

Dia juga mengangkat motto: ”Dari rakyat untuk rakyat”. Muatannya ialah agar warga dapat merasakan hak kewajibannya sebagai manusia seutuhnya, basis sebagai individu, warga DKI dan bangsa Indonesia. Dengan begitu, Suryadi yakin warga DKI Jakarta akan lebih mengerti permasalahan perkotaan, dan tidak mewakili kepentingan sendiri-sendiri.

Karena gaya kepemimpinan seperti itulah aneka problem yang melingkupi Jakarta satu persatu dapat diurai, bahkan prestasi demi prestasi dapat digapai. Dia berusaha menerapkan kedisiplinan untuk aparatnya demi kepentingan warga Ibu Kota. Ia berusaha untuk menegaskan komitmen bahwa yang lurus itu lurus dan bengkok itu bengkok.

Dia pernah mengeluarkan pernyataan yang keras yang ditujukan pada segenap aparatnya. ”Aparat Pemda DKI yang menyeleweng dan tidak mendukung Gerakan Disiplin Nasional (GDN) lebih baik mundur atau dimundurkan. Mereka hendaknya jangan jadi benalu terus. Saya minta kepada Wagub Bidang Pemerintahan, Sekwilda, dan Asisten Pembinaan Aparatur agar mempertajam penilaian terhadap karyawan,” ujarnya. Soal disiplin dia sangat tegas. Seperti hari pertama setelah Idul Fitri 1996, ia masuk kantor pukul 06.15 pagi. Siang harinya ia melakukan sidak ke kantor DKI sampai lantai 23.

Read Full Post »