Feeds:
Pos
Komentar

Posts Tagged ‘Nostalgia’

Perhatian masyarakat minggu lalu tertuju ke Senayan, ketika berlangsung perebutan Uber Cup dan Thomas Cup. Kemeriahan Senayan berlanjut dengan perayaan 100 tahun Kebangkitan Nasional yang disiarkan langsung oleh semua stasion televisi nasional.

Kawasan Senayan mulai banyak dikenal sejak didirikan gelanggang olahraga bertaraf internasional dengan nama Gelora Bung Karno, yang dibangun awal 1960-an atas bantuan Uni Sovyet pada zaman PM Nikita Kruschev. Ada yang menyatakan PM Uni Soviet ini kecewa karena tidak ada tanda-tanda prasasti yang menyebutkan Uni Soviet-lah yang membangunnya.

Senayan, dengan luas 270 hektar, dalam bahasa Betawi berarti senenan — jenis permainan berkuda. Nama itu diperkirakan muncul sejak Masda Inggris, Thomas Raffles (1808-1811), menjadikannya sebagai tempat warga Inggris bermain polo, mengingat warga negara itu sangat menggemari permainan berkuda.

Berdasarkan peta yang diterbitkan oleh Topographisch Bureau Batavia, tahun 1902, nama kawasan Senayan masih ditulis Wangsanajan, atau Wangsanayan menurut Ejaan Yang Diperbaharui. Kata wangsanayan dapat berarti ‘tanah tempat tinggal’ atau tanah milik sesorang bernama Wangsanaya. Lambat laun nama itu berubah jadi Senayan.

Kawasan sekitar Senayan, yang dulu menjadi tempat tinggal warga Betawi, kini berubah menbjadi pusat kegiatan bisnis dan perhotelan. Hingga pada tahun 1990-an, pada masa Orde Baru, ada kelompok yang berambisi untuk memindahkan gelanggang olahraga ini ke Cengkareng. Untungnya tidak kesampean, karena terhalang krisis moneter.

Tidak jauh dari Senayan ada kawasan Kebayoran Baru. Memasuki terminal Blok-M kondektur meneriakkan “CSW! CSW!” CSW adalah singkatan Centrale Stichting Wederopbouw yang bertugas mengelola Kebayoran Baru 1 Juni 1948. Pada 1 Januari 1952 CSW berganti nama jadi Pembangunan Chusus Kotabaru Kebayoran.

Sampai 1958 kawasan di Jakarta Selatan ini masih ditangani oleh Departemen Pekerjaaan Umum, bukan Pemda DKI. Pada masa VOC, Kebayoran Baru menjadi tempat pelarian para perampok dan penjahat dari Batavia.

Kata ‘kerbayoran’ berasal dari kabayuran, yang berarti ‘tempat penimbunan kayu bayur’. Kayu yang sangat baik itu dijadikan bahan bangunan, karena kekuataannya serta tahan terhadap serangan rayap. Ada juga jenis kayu-kayu lain yang ditimbun untuk diangkut ke Batavia melalui Kali Krukut dan Kali Grogol dengan cara dihanyutkan.

Sekarang ini pembalakan hutan melibatkan aparat negara dan kehutanan, kala itu melibatkan aparat VOC. Pada tahun 1938 di kawasan Kebayoran direncanakan akan dibangun sebuah lapangan terbang internasional, namun batal karena keburu perang duniua II. Akhirnya dibangunlah kota satelit Kebayoran Baru, melipuati areal seluas 730 ha yang direncanakan untuk menampung 100 ribu penduduk. Kini penduduk Kebayoran Baru lebih dari satu juta jiwa.

Di Jakarta Barat juga banyak terdapat kampung bersejarah, antar lain Jembatan Lima. Letak kampung ini sangat strategis, mudah dicapai baik oleh kendaraan roda empat maupun kereta api. Stasion KA Angke merupakan pintu gerbang yang menghubungkan daerah kulon — sebutan orang Betawi untuk daerah Tangerang, Pandeglang, Balaraja dan Banten dengan Jembatan Lima. Nama kampung ini mengacu pada lima buah jembatan yang dulu pernah ada.

Di kampung ini terdapat sebuah masjid bersejarah Al-Mansyur — namanya mengacu pada nama seorang ulama dan pejuang kemerdekaan, Guru Mansur. Pada masa revolusi, masjid itu memasang bendera merah putih di menaranya hingga ia ditahan oleh NICA. Guru Mansur juga seorang ahli falak, hingga dia selalu diminta pendapatnya saat menetapkan awal dan akhir Ramadhan serta Idul Adha.

Masjid tersdebut didirikan oleh Abdul MKuhit, putra Pangeran Tjakrajaya, sepupu Tumenggung Mataram, pada 1717. Oleh para pejuang Mataram, termasuk KH Mohamad Mansyur, masjid ini dijadikan pusat penggemblengan para pejuang untuk melawan penjajahan Belanda dan Jepang.

Di Kampung Lima terdapat Gang Laksa, karena tinggal beberapa orang yang punya kekayaan berlaksa-laksa. Terdapat pula Kampung Krendeng, karena selalu terendam air (banjir) kalau musim hujan. Ada juga Kampung Petuakan, karena jadi tempat mangkal penjual minuman tuak. Nama Petak Serani juga ada di Jembatan Lima, karena dulun terdapat petak-petak yang dihuni orang beragama (Kristen).

Di Jakarta Utara yang tidak jauh dari pelabuhan Tanjung Priok terdapat kampung Rawa Badak. Rawa berarti tempat yang selalu basah karena banyak air dan badak berasal dari bahasa Sunda dan Jawa yang berarti luas. Jadi, Rawa Badak artinya rawa yang luas.

Masih di Jakarta Utara, terdapat Kelurahan Pluit, kecamatan Penjaringan. Menurut peta 1903 dan peta 1935, sebutan bagi kawasan itu adalah Fluit. Lengkapnya Fluit Muarabaru. Sekitar tahun 1660 di pantai sebelah timur muara Kali Angke diletakkan fluitship (kapal berlurus panjang), bernama Het Witte Paert, yang sudah tidak laik laut.

Kapal tersebut dijadikan kubu pertahanan untuk membantu benteng Vijhoek yang terletak di pinggir Kali Grogol, sebelah timur Kali Angke — dalam rangka menanggulangbi serangan-serangan sporadis yang dilakukan pasukan Kesultanan Banten. Kubu tersebut kemudian dikenal dengan sebutan De Fluit yang kemudian menjadi Pluit hingga sekarang. Kawasan ini terkenal dengan perumahan mewahnya.

Read Full Post »

Mungkin banyak yang belum tahu, bahwa Little India bukan hanya terdapat di Singapura tapi juga di Jakarta. Little India kini sedang berkembang setidaknya mengarah ke sana di kawasan Sunter, Jakarta Utara, tidak begitu jauh dari pantai.

Warga India dan juga Pakistan di Sunter, yang berjumlah ratusan, merupakan pindahan dari Pasar Baru, Pintu Air dan Gang Klinci, Jakarta Pusat. Mereka pindah ke Sunter, karena daerah kediamannya di kawasan sekitar Pasar Baru bertambah kumuh, dan lebih cocok untuk pusat perdagangan katimbang tempat tinggal. Bahkan, ada beberapa jalan yang tidak dapat dilewati mobil.

Mungkin kita masih ingat aktor ternama keturunan Pakistan tahun 1970-an, Farouk Afero. Keluarga besarnya, yang dulu tinggal di Gunung Sahari, kini juga turut hijrah ke Sunter. Berkembangnya Sunter menjadi Little India seperti di Singapura, menurut sejumlah orang India di Jakarta, hanya soal waktu saja. Meskipun tidak semegah Singapura, karena keturunan India di negeri yang dibangun oleh Raffles itu populasinya berlipat ganda dibanding warga keturunan India dan Pakistan di Jakarta.

Di Singapura, Little India merupakan salah satu pusat wisata yang tiap hari didatangi ribuan wisatawan mancanegsara. Di Sunter juga terdapat supermarket Mustafa yang menjual segala barang produk India. Tapi tidak diketahui apakah supermarket ini juga dikelola oleh pemilik supermarket dengan nama yang sama di Singapura.

Di kawasan Little India Sunter kita akan mendapati setidaknya lima restoran India dengan pionir rumah makan Rasa Sayang. Di sini kita dengan mudah mendapatkan toko atau warung yang menjual makanan dan oleh-oleh produk India dan Pakistan. Termasuk beras yang khusus didatangkan dari India untuk penderita diabetis, yakni Taj Mahal Rice, serta beras untuk nasi beriani. Juga tersedia berbagai macam teh India yang terkenal, seperti Taj Mahal Tea dan Red Label.

Makanan India dan Pakistan terkenal dengan aneka ragam aroma rempah-rempahnya. Warga India dan Pakistan di toko mereka menyediakan beragam rempah-rempah yang juga banyak didatangkan dari negara asalnya. Karena semakin banyaknya penduduk yang nenek moyangnya berasal dari Asia Selatan, maka bermunculanlah toko-toko rempah-rempah di Sunter dan daerah yang berdekatan dengan sekolah India, seperti Gandhi Memorial School, Universal School dan Jupilee School.

Bagi warga India (Hindu) shindur adalah tanda merah yang dioleskan sang suami saat menikah, seperti yang sering kita lihat dalam film-film Bollywood. Sedangkan phundi diletakkan di dahi hanya sebagai hiasan, dengan dominasi warna merah. Juga tato warna-warni untuk hiasan tangan dan badan.

Meskipun toko-toko mereka terletak di berbagai pusat perdagangan, termasuk Pasar Baru, tapi dari Sunter-lah ekspor dan impor garmen dilakukan. Kawasan di Jakarta Utara ini juga banyak didatangi pembeli dari Jakarta dan berbagai kota di tanah air, karena di sini juga terjadi transaksi penjualan tekstil secara grosir.

Orang India sudah mendatangi Nusantara sejak abad ke-4 sampai 11 Masehi. Mereka hampir seluruhnya datang dari India Selatan. Jakarta pada abad ke-5 pernah diperintah oleh Kerajaan Hindu Tarumanegara dengan raja Mulawarman. Migrasi kedua terjadi pada abad ke-14 sampai 16 dengan datangnya pedagang beragama Islam, berasal dari Gujarat dan pantai Malabar, serta dari India Selatan.

Ada yang berpedapat bahwa Islam berasal dari Gujarat. Padahal, para penyebar Islam berasal dari Hadramaut, dan sebelum ke Nusantara terlebih dulu mampir di Gujarat dan ada yang menetap di Gujarat. Alasannya, perjalanan dengan kapal layar memerlukan waktu lama, dan India, seperti juga Yaman dan negara Arab lainnya, jadi jajahan Inggris hingga tidak ada masalah izin tinggal karena satu paspor.

Migrasi ketiga dari India ke Indonesia terjadi pada abad ke-18 ketika seluruh Asia dikuasai oleh kekuatan-kekuatan kolonial Eropa. Dengan munculnya Revolusi Industri di pertengahan abad ke-19 terjadi perubahan pola migrasi. Dari India yang dikirim adalah para pekerja (kuli).

Migrasi ke empat terjadi sesudah perang dunia I, terdiri dari para pedagang dari Sindh (India Utara). Dan, migrasi terakhir terjadi sesudah perang dunia II, yang umumnya para keluarga korban perang saudara (para pengungsi) ketika India dibagi menjadi dua negara: India dan Pakistan. Mereka datang untuk mencari keamanan dan kehidupan baru di Batavia, yang menurut mereka tidak terlalu berbeda dengan kota-kota di India, karena pengaruh budaya India.

Menurut Suresh G Vaswani dari Gandhi Memorial School, banyak istilah-istilah India masa lampau yang sampai sekarang masih hidup dan menjadi istilah sehari-hari di Betawi, antara lain kata guru, bumi, daya, wayang, pustaka, prasasti, manusiua, dan istri.

Sedangkan pengaruh makanan yang berasal dari India Selatan adalah makanan yang menggunakan santan, kayu manis dan lada hitam. Sate di Indonesia menyerupai sate yang berasal dari India Utara. Perbedaannya hanya pada cara pengolahannya. Gulai di Indonesia terbuat dari kari yang merupakan makanan khas India. Hanya rasanya diubah untuk mendapatkan rasa khas Betawi.

Di Jakarta, menurut data tahun 2000-an, diperkirakan terdapat 2000 kepala keluarga India. ”Orang Betawi sangat toleran. Saya ini orang India dan saya Hindu. Tapi tidak ada masalah dalam bergaul dengan warga Betawi,” kata Suresh G Vaswani.

Read Full Post »