Feeds:
Pos
Komentar

Archive for the ‘Bung Karno’ Category

 

Penyerahan Kedaulatan dari Belanda ke Indonesia/Arsip Nasional RI

Penyerahan Kedaulatan dari Belanda ke Indonesia/Arsip Nasional RI

Upacara penyerahan kedaulatan dari Pemerintah Belanda kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) terjadi di halaman depan Istana Gambir, Jakarta, pada 27 Desember 1949. Protokol penyerahan itu sebagai hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) di Belanda dan ditandatangani oleh Wakil Tinggi Mahkota Belanda, AJH Lovink, dan Ketua Delegasi RIS, Sultan Hamengkubuwono IX.

 

Pada waktu bersamaan, di Amsterdam, Belanda, mulai pukul 10.00 pagi waktu setempat juga dilakukan upacara yang sama. Upacara itu dihadiri 350 orang yang menyaksikannya dan mulai memasuki Troonzaal. Mereka terdiri atas anggota-anggota parlemen dan pembesar Belanda serta para wakil diplomatik asing. Acara yang sama digelar di Yogyakarta. Presiden RIS Ir Soekarno dan Presiden RI Mr Assaat mengikuti upacara di ruang sidang Istana Yogyakarta.

Matahari hampir terbenam ketika lagu kebangsaan Belanda Wilhelmus mengiringi ‘merah-putih-biru’ turun dari tiang untuk selama-lamanya dari bumi Indonesia. Beberapa detik kemudian, lagu Indonesia Raya pun terdengar dan sang saka Merah Putih berkibar. Lalu, berkumandang sorak-sorai para hadirin, “Merdeka! Merdeka! Merdeka!” Sejak saat itu, Istana Gambir atau Koning Palace (Istana Raja)–menurut versi Belanda–berganti nama menjadi Istana Merdeka.

Peristiwa penyerahan kedaulatan pada 27 Desember 1949 sebenarnya tidak berpengaruh bagi Indonesia. Pasalnya, proklamasi kemerdekaan yang tidak diakui oleh Pemerintah Kolonial Belanda sudah berkumandang lebih dulu pada 17 Agustus 1945.

Keesokan harinya (28 Desember 1949), Presiden Soekarno dan keluarganya yang hijrah ke kota perjuangan Yogyakarta tiba di Bandara Kemayoran pukul 11.40 WIB. Dari Kemayoran, Bung Karno yang menggunakan mobil terbuka menuju Istana Merdeka dengan melewati Jalan Gunung Sahari, Senen, Pasar Baru, hingga istana. Di tengah jalan, ratusan ribu warga Jakarta mengelu-elukan kedatangannya yang sejak Januari 1946 meninggalkan Jakarta karena menghadapi ancaman NICA. Di sepanjang jalan, rakyat berteriak, “Merdeka! Merdeka! Merdeka!” Di Istana Merdeka, ribuan rakyat telah berkumpul hingga di tangga istana dengan teriakan yang sama.

Read Full Post »

Rekonstruksi Rumah Bung Karno tempat diproklamirkannya kemerdekaan RI 63 tahun lalu telah diseminarkan di Jakarta pada 19-20 Agustus 2008. Hampir semua (100 orang) peserta dari berbagai profesi sepakat perlunya dibangun kembali bekas kediaman Bung Karno di Jalan Pegangsaan Timur (kini Jl Proklamasi) 56, Jakarta Pusat.

Seorang pelaku sejarah, Herman Sarens Sudiro, bahkan menyarankan agar pembangunan kembali kediaman Bung Karno jangan hanya diseminarkan, tapi segera direalisir. ”Bisa saja sejarah proklamasi nanti dihapus, kalau kita tidak membangun rumah Bung Karno, tempat proklamasi itu berlangsung,” katanya.

Seminar tentang rekonstruksi kediaman Bung Karno, yang ditempati pada masa pendudukan Jepang (1942-1945) dan awal 1946, telah berlangsung 10 kali tanpa realisasi. TS Lingga, dari Yayasan Bung Karno, menyatakan tidak keberatan atas rencana itu. Ahmad Syarofi, Sekjen Lembaga Kebudayaan Betawi, bahkan menyatakan warga Betawi bersedia membiayai rekonstruksi yang diperkirakan memerlukan dana Rp 10 miliar itu.

Rekonstruksi kediaman Bung Karno itu tanpa harus membongkar Monumen Proklamator Sukarno-Hatta, tempat Bung Karno berdiri membacakan teks proklamasi. Tempat ini ditandai dengan Tugu Petir di atas tiang setinggi 17 meter. Tugu ini berbentuk linggis dengan lambang petir di puncaknya yang melambangkan gerak pembangunan. Petirnya melambangkan geleger proklamasi ke seluruh pelosok tanah air dan dunia.

Dibongkarnya rumah Bung Karno pada tahun 1961 sudah merupakan kenyataan yang tidak bisa diubah. Sekali suatu bangunan bersejarah dihancurkan, maka hilang untuk selamanya. Situs sejarah yang otentik sebagai media untuk mengenang kembali peristiwa masa lampau yang begitu bermakna itu kini tidak ada lagi, dan kini tinggal kenangan. Hingga generasi sesudah tahun 1950-an tidak pernah lagi melihat rumah itu, termasuk Tugu Proklamasi yang aslinya, yang dibangun tahun 1946.

Sejak lama timbul pertanyaan mengapa tidak dibangun kembali rumah Bung Karno? Baiklah, kita beralih ke tahun 1980-an, sekitar 20 tahun setelah kediaman Bung Karno itu dibongkar. Pada waktu itu, Presiden Soeharto mengemukakan gagasannya untuk membangun monumen proklamator. Tapi, banyak pihak, di antaranaya Ali Sadikin, yang menginginkan agar bekas kediaman Bung Karno dibangun kembali seperti asalnya.

Menanggapi banyaknya usulan semacam itu, Presiden Soeharto berdalih bahwa itu sudah menjadi kehendak sejarah. Artinya, pembongkaran bangunan itu sudah terjadi, dan yang membongkar adalah Bung Karno sendiri. Maka biarkanlah. ”Padahal, kalau Presiden Soeharto  menyetujui maka peristiwa itu juga akan menjadi sejarah,” kata Prof Susanto Zuhdi, dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI, dalam seminar tersebut.

Dia menilai pembongkaran itu merupakan kecelakaan sejarah (historical blunder) yang sulit dapat dimengerti. Mengapa? Bukankah peristiwa pembongkaran (1961), terjadi pada masa presiden pertama RI yang pernah mengatakan, ”Hanya bangsa yang dapat memetik pelajaran dari masa silam, dan cakap mempergunakan pengalaman-pengalamannya untuk menghadapi masa depan, yang dapat menjadi bangsa besar.” Bung Karno juga pernah mengatakan, ”Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah.”

Lalu, mengapa Presiden Soekarno membongkar gedung yang amat bersejarah  bagi bangsa Indonesia itu? Hal ini pernah ditanyakan oleh salah seorang penulis biografi Bung Karno yang berjudul Putera Fajar, yakni Solichin Salam, kepadanya. Jawab Bung Karno, ”Saya lebih mengutamakan tempatnya dan bukan gedungnya. Sebab, saya taksir gedung Pegangsaan Timur (kini Jl Proklamasi) 56 itu paling lama hanya tahan 100 tahun, mungkin tidak sampai. Itu sebabnya saya suruh bongkar.”

Menurut keterangan dari Yayasan Bung Karno, presiden pertama RI itu ingin memindahkan semangat proklamasi kemerdekaan di Monas. Peringatan hari ulang tahun kemerdekaan RI agar selanjutnya diadakan di Monas yang monumental itu. Bukan di gedung proklamasi dan juga bukan di Istana. Tugu Monas, menurut Bung Karno, dirancang untuk tahan ribuan tahun seperti juga piramid di Mesir.

Meskipun begitu, sebagian besar pembicara seminar itu menyepakati agar bekas kediaman Bung Karno tetap dibangun kembali di tempat semula. Tujuannya, agar generasi muda dan mendatang bisa menyaksikan kembali gedung yang menjadi tempat proklamasi dikumandangkan ke seluruh jagad.

Bang Selamat, yang mewakili Dewan Harian Angkatan ’45, misalnya, mengusulkan agar nantinya gedung tersebut dijadikan pusat kegiatan pengkajian ajaran Bung Karno dan Bung Hatta.

Ketika Bung Karno hendak membongkar kediaman yang memiliki pekarangan luas itu, banyak pihak yang menyarankan agar dijadikan sebagai museum. Banyak peristiwa penting terjadi di gedung ini, sejak saat-saat menjelang proklamasi, saat proklamasi, hingga sebelum pembongkaran 1961.

Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta tiap habis mengadakan upacara 17 Agustus juga selalu datang ke tempat tersebut. Pada 1957, ketika Bung Karno dan Bung Hatta, ingin dipulihkan kekerabatannya, juga diadakan Musyawarah Nasional di gedung tersebut.

Read Full Post »

Era Demokrasi Terpimpin

Pada 6 Juni 1901 Bung Karno lahir di Surabaya. Dia meninggal dunia pada 21 Juni 1970 di Jakarta dan dimakamkan di Blitar, Jawa Timur. Saya yang ikut meliput acara pemakaman almarhum dari rumah duka di Wisma Yaso Jl Gatot Subroto (kini Museum Satria Mandala) ke Bandara Halim Perdanakusumah, Jakarta, melihat pengantar jenasah yang begitu membludak di sepanjang jalan.Dari kediaman Nyonya Dewi, istrinya, di Wisma Yaso, ke bandara yang jaraknya belasan kilometer, mobil jenazah harus berjalan perlahan-lahan karena harus melewati ribuan massa. Di antara mereka banyak yang melelehkan air mata dan menangis histeris. Kabarnya, haul 27 tahun wafat presiden RI pertama itu akan diperingati di Blitar. Dikabarkan banyak tokoh nasional yang akan hadir, termasuk mantan presiden Megawati, puteri tertua almarhum.

Presiden Soekarno — seperti dinyatakannya sendiri — baru merasa berkuasa penuh setelah pada 5 Juli 1959 mengeluarkan maklumat kembali ke UUD 1945 dan membubarkan konstituante hasil pemilu pertama. Dia begitu membenci demokrasi parlementer, yang olehnya dikritik sebagai demokrasi ala Barat yang tidak cocok dengan demokrasi Indonesia.

Tapi, menurut Herbeth Feith & Lance Coster dalam buku Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, periode demokrasi parlementer boleh dianggap berakhir Maret 1958, ketika terjadi pertentangan yang amat seru antara pusat dan daerah dan berujung pemberontakan PRRI/Permesta. Kekalahan pemberontak yang begitu cepat dan pengambilalihan semua milik Belanda, disusul dengan susunan politik baru. Parpol-parpol menjadi lemah dan peran para pemimpin ABRI menjadi jauh lebih besar.

Pidato Presiden Soekarno pada hari kemerdekaan 17 Agustus 1960 berjudul Kembali ke Jalur Revolusi, oleh MPRS kemudian ditetapkan sebagai Manifesto Politik (Manipol) menjadi garis-garis besar Haluan Negara. Parpol maupun perorangan, yang dinilai menyimpang dari Manipol, disingkirkan. Masyumi dan PSI dibubarkan, tokoh-tokohnya dipenjarakan, termasuk tokoh oposisi yang tergabung dalam Liga Demokrasi. Setelah membubarkan BPS (Badan Pendukung Sukarnoisme), terakhir kali Bung Karno membubarkan Partai Murba — musuh utama PKI.

Dari soal-soal politik kita bisa menyoroti suasana kota Jakarta di era demokrasi terpimpin, yang pada 22 Juni 2007 nanti berusia 480 tahun. Bung Karno, pada masa jayanya itu, punya pengaruh cukup menentukan dalam membentuk wajah kota Jakarta. Pada awal demokrasi terpimpin, penduduk Jakarta hampir tiga juta jiwa. Kenaikan enam kali dari populasi 1941, menjelang hengkangnya kolonial Belanda.

Pada masa pendudukan Jepang penduduk Jakarta baru sekitar 500 ribu jiwa. Sebagian akibat migrasi, karena banyaknya orang ngendon ke Jakarta akibat stagnasi di kota-kota lain. Seperti juga sekarang, meski diberlakukan otonomi, tapi pendatang ke kota si Pitung ini makin membludak.

Seperti juga tahun 1950-an, gubuk-gubuk liar banyak bertebaran di mana-mana. Tidak terhitung jumlah pengemis dan gelandangan. Bung Karno yang ketika itu menjadikan Jakarta sebagai kota perjuangan bangsa-bangsa tertindas, sangat sibuk menerima kepala-kepala negara asing.

Guna menunjukkan keramahan bangsa Indonesia, untuk menyambut tamu negara dikerahkan murid-murid sekolah, kaum buruh dan pegawai negeri sipil. Mereka berbaris di sisi kiri dan kanan jalan yang di lewati tamu negara — dari bandara Kamayoran hingga depan Istana Negara — sambil mengelu-ngelukannya.

Pernah terjadi menjelang kedatangan Presiden Polandia, di dekat bandara Kemayoramn dipasang bendera negara Eropa Timur itu yang bewarna putih-merah. Seorang Hansip, yang menyangka bendera itu dipasang terbalik, langsung menaiki tiang dan membaliknya jadi merah putih. Karuan saja panitia menjadi repot akibat ulah si Hansip. Benderapun dikembalikan menjadi putih merah.

Bung Karno-lah yang membangun Jl Thamrin dan Jl Sudirman — menjelang Asian Games IV awal 1960-an — yang menghubungkan Senayan dan Kebayoran Baru. Jalan ini — semula tidak beraspal — oleh Bung Karno disulap menjadi jalan protokol. Kini kawasan di timur kedua jalan tersebut, bersama Kuningan-Gatot Subroto, merupakan kawasan segi tiga emas.

Di Jl Thamrin, Bung Karno membangun gedung berlantai 20, Sarinah, pencakar langit tertinggi kala itu, dari hasil uang pampasan perang Jepang. Di lantai bagian atas pada masa Bang Ali Sadikin dibangun kasino yang kemudian mendapat protes keras dari umat Islam. Sementara, Usmar Ismail — tokoh perfilman nasional — membangun nite club Mirasa Sky Club yang merupakan klub malam pertama ketika itu. Di Jl Thamrin, Bung Karno membangun Hotel Indonesia bertingkat 13, setelah sebelumnya menggusur Hotel des Indes di Jl Gajah Mada, peninggalan Belanda. Dia kurang menyenangi bangunan warisan kolonial.

Kawasan Sudirman-Thamrin makin bergengsi setelah dibangun kompleks OR Gelora Bung Karno pada 1960, ketika Indonesia terpilih menjadi tuan rumah Asian Games IV. Meskipun, untuk itu tergusur ribuan KK warga Betawi yang kemudian ditempatkan di Tebet, Jakarta Timur. Setelah daerah ini berkembang, ribuan warga Betawi tergusur lagi ke daerah-daerah pinggiran.

Kini jumlah warga Betawi korban gusuran yang masih tinggal di Tebet dapat dihitung dengan jari. Memang demikianlah nasib warga Betawi di kota kelahirannya sendiri. Semoga gubernur mendatang lebih memberikan perhatian pada nasib warga Betawi dan tidak lagi melakukan penggusuran secara sewenang-wenang tanpa ganti rugi yang layak.

Read Full Post »

Situasi Jakarta Makin Memanas

Lahir di Rambipuji, Jember, Jatim 24 April 1911, Brigjen dr H Soemarno Sastroatmodjo, menjabat Gubernur Kepala Daerah Khusus Jakarta 4 Pebruari 1960 – 26 Agustus 1964. Kemudian sejak 15 Juli 1965 hingga 23 Maret 1966, Presiden Soekarno yang ingin menjadikan Ibu Kota sebagai kota teladan dan mercu suar dunia ketiga, meningkatkan jabatannya setingkat menteri. Lima hari setelah dilantik, pada 9 Pebruari 1960 Jakarta mengalami hujan lebat selama 12 jam. Kawasan Grogol (Jakarta Barat) yang baru dibangun sebagai kota satelit — kebanggaan Jakarta ketika itu — dilanda banjir besar. Menggenangi rumah, termasuk kompleks parlemen setinggi lutut dan pinggang. Lebih parah lagi keadaan kampung sekelilingnya banjir setinggi atap rumah. Berbagai tempat di Ibu Kota juga dilanda banjir.

Bung Karno — yang turut langsung menangani berbagai proyek –, menjadikan Jakarta kota perlawanan dunia terhadap nekolim. Bahkan, presiden pertama RI ini ikut mendorong rakyat menentangnya dalam bentuk demo-demo dan aksi-aksi yang marak dan terjadi hampir tiap hari. Sumarno dalam kesan-kesannya selama menjadi gubernur menulis: ‘kegiatan-kegiatan yang demikian ini membuat situasi Jakarta tidak hanya hangat tetapi makin hari makin memanas’. Situasi makin hangat ketika film-film imperialis diganyang. Digantikan film-film dari negara Sosialis dan RRC yang penuh propaganda dan indoktrinasi. Tentu saja tidak disenangi rakyat, hingga ratusan gedung bioskop di Indonesia berubah fungsi menjadi gudang, sementara buruh-buruhnya jadi penganggur.

Di kampung-kampung tiap tahun yang kemudian ditingkatkan dua kali setahun diadakan perlombaan kebersihan antara RT/RK (kini RW) terbaik untuk kemudian ikut dalam perlombaan tingkat kelurahan. Demikian terus ke atas hingga terpilih kampung (RT/RK) terbersih se-Jakarta. Lomba ini diadakan Panitia Kebersihan Nasional. Tiap 17 Agustus sore setelah aubade murid sekolah, Bung Karno memberikan penghargaan kepada daerah tingkat II dan I. Jakarta pernah menggondol gelar ‘Kota Besar Paling Tidak Kotor’. Sesuai dengan cita-cita Bung Karno menjadikan Jakarta sebagai kota yang bersih.

Kantor-kantor pemerintahan, termasuk departemen-departemen ikut memberi contoh pada rakyat. Di samping itu ada lomba kebersihan antarstasiun kereta api dan antartoko. Seperti dituturkan Sumarno, Pemda DKI memberi contoh dalam gerakan kebersihan ini. Tahun 1960, untuk pertama kali karyawan pembersih jalan, mulai bekerja pagi-pagi, sebelum subuh. Supaya jalan-jalan yang menjadi tanggung jawabnya sudah bersih sebelum karyawan lain dan murid sekolah keluar rumah pergi ke kantor dan sekolah.

Sumarno menuturkan, acara ini bawa keuntungan tambahan bagi karyawan kebersihan. Karena waktu siang waktu luang untuk menyambi pekerjaan lain. Di samping mereka jadi lebih aman terhadap kesibukan lalu lintas yang tiap hari tambahan ramai. Tetapi keuntungan terbesar dengan cara tersebut di dapat oleh Pemda DKI sendiri. Karena dengan penampilan Jakarta dalam keadaan bersih tiap pagi, rakyat diberi contoh dalam masalah kebersihan.

Read Full Post »

Ketika menjadi wartawan Kantor Berita Antara (1963-1993) ada seorang jurufoto bernama Nurdin AS. Saya tidak tahu apa kepanjangan AS itu. Badannya tidak lebih dari 155 cm dan beratnya ‘hanya’ sekitar 45 kg. Meski sebagai jurufoto dia harus terjun ke lapangan.

Nurdin selalu berpakaian cukup necis atau trendy menurut istilah sekarang. Tangan kirinya memakai gelang emas, seperti peneng yang harus dikenakan para jamaah haji Indonesia selama di tanah suci agar gampang dikenali bila tersasar. Pokoknya, penampilan Nurdin jauh lebih unggul dibanding rekan-rekan wartawan lainnya.

Nurdin juga memiliki sebuah mobil Fiat buatan Italia, padahal ketika itu umumnya wartawan kalau meliput naik bus atau becak.

Suatu ketika juruwarta yang sampai akhir hayatnya tetap membujang ini, membuat sebuah kejutan. Ketika dia mengabadikan sebuah foto rakyat tengah berebutan menyapu beras yang berceceran di jalan dekat pelabuhan Tanjung Priok. Rupanya beras di dalam karung saat diangkut ke truk seringkali dijegal di tengah jalan. Karungnya mereka bolongin hingga berasnya berceceran.Rupanya peristiwa itu sudah terjadi sejak lama hingga Nurdin mendatangi tempat tersebut. Meskipun ketika itu kebebasan pers dikekang, tapi foto tersebut dimuat juga oleh sejumlah harian Jakarta.

Maka, ketika wartawati Antara, Ita Syamsudin, tengah meliput acara di Istana, dia dipanggil Bung Karno. Presiden Sukarno memang akrab dengan para wartawan yang meliput kegiatan kepresidenan. Lebih-lebih dengan Ita Syamsuddin. Bahkan dialah yang mengganti nama depan Itje yang berbau Belanda dengan Ita.

”Ita, kau lihat foto dan berita ini?” Bung Karno bertanya dengan nada marah. ”Ya, saya lihat. Apa salahnya? Itu adalah foto yang telah berbicara sendiri,” katanya tanpa merasa bersalah, seperti ditulisnya dalam buku Catatan Politik Pengalaman Wartawan Antara. Kemudian Bung Karno berkata, ”Antara sebagai alat revolusi tidak boleh menyiarkan foto yang demikian.”

Kemarahan Bung Karno itu diwujudkan keesokan harinya dengan memanggil para pimpinan Antara, yang kala itu terdiri dari unsur-unsur Nasakom. Tapi, dalam situasi politik yang panas kala itu, para pimpinan Antara tidak pernah berhenti dari konflik diantara mereka.

Setelah memanggil para pimpinan Antara, Bung Karno mengatakan pada Ita, ”Pimpinan Antara sudah saya marahi. Mereka mengaku sudah kebobolan. Tapi, tahukah kamu Ita, bahwa foto itu mungkin saja dilepas pihak komunis dan mungkin pihak kolonialis, yang keduanya tidak menghendaki kemakmuran Indonesia.”

Indonesia, menurut Bung Karno, sebenarnya tidak kekurangan pangan. ”Rakyat Indonesia tidak hanya makan beras. Hal ini selalu kukatakan pada wartawan-wartawan asing yang menanyakan apakah rakyat Indonesia kekurangan pangan.”

Pengarang AS Louis Fischer dalam bukunya, The Story of Indonesia, ketika menanyakan soal keluarga berencana, Bung Karno bersikukuh menyatakan Indonesia — ketika itu berpenduduk sekitar 90 juta jiwa — tidak perlu keluarga berencana.

Bung Karno pernah menyebutkan bahwa di Kalimantan, Sumatera dan Sulawesi masih banyak daerah yang kosong, hingga dapat memberi makan 250 juta penduduk.

Bung Karno memang tidak mengartikan pangan hanya dengan beras. Berdasarkan kenyataan ketika itu, tidak seluruh rakyat Indonesia menjadikan nasi sebagai makanan pokok. Karenanya, sampai menjelang kejatuhannya ia selalu tidak henti-hentinya menganjurkan agar rakyat Indonesia juga makan jagung, sagu dan ubi-ubian.

Untuk itu, Bung Karno disamping sering sarapan bersama dengan ubi dan singkong di Istana bersama para wartawan, juga mengundang para diplomat asing. Terutama teman akrabnya, Dubes Amerika Serikat Howard P Jones. Termasuk di depan televisi.

Dalam suasana menggalakkan diversifikasi pangan itulah Bung Karno menjadi marah besar melihat foto beras berceceran diperebutkan rakyat dan disiarkan Antara. Padahal, merupakan kenyataan bahwa situasi ketika itu dari hari ke hari memang tidak menyenangkan. Seperti juga sekarang, rakyat kecil makin susah mendapatkan kebutuhan sehari-hari. Antri beras terjadi di mana-mana.

Dalam pidato 17 Agustus 1964 berjudul Tavip (Tahun Vivere Pericoloso) atau Tahun Nyerempet-nyerempet Bahaya yang ditujukan kepada seluruh rakyat Indonesia, Bung Karno menegaskan, ”Sejak 17 Agustus 1964 ini saya menghendaki kita tidak akan membikin kontrak baru bagi pembelian beras dari luar negeri!” kata Bung Karno.

”Selain membasmi hama tikus dan hama-hama lain, selain memberantas segala pemborosan, segala pencoleng-pencoleng kekayaan negara dan pengacau-pengacau ekonomi, kalau perlu dengan menembak mati mereka, maka saya minta Saudara-saudara berkorban pula di atas ‘lapangan makanan’ ini,” tambah Bung Jarno.

Produksi beras kita, menurut Bung karno, sebenarnya sudah cukup! ”Tetapi kenapa kita harus membuang devisen 120 juta sampai 150 juta dolar tiap tahun untuk membeli beras dari luar negeri? Kalau 150 juta dolar kita pergunakan untuk pembangunan, alangkah baiknya hal itu! Tambahlah menu berasmu dengan jagung, dengan ubi, dengan lain-lain. Jagung adalah makanan sehat, kacang adalah makanan sehat! Saya sendiri sedikitnya seminggu sekali makan jagung, dan badanku, lihat, adalah sehat.”
 

Read Full Post »

Banyak kawan menyarankan agar saya menulis buku tentang pengalaman selama delapan tahun jadi wartawan yang meliput kegiatan kepresidenan. Wartawan Istana, yang pada zaman Orba diidentikkan sebagai wartawan kerajaan, saya jalani dari tahun 1969 sampai 1977. Entah siapa yang memulai, sebutan wartawan kerajaan kala itu lebih populer dari pada julukan wartawan Istana.

Memang, penampilan wartawan Istana cukup mentereng. Tiap hari untuk menghadiri acara di Istana harus memakai dasi. Bahkan, pada saat-saat kepala negara menerima para tamu negara dari luar negeri harus memakai jas. Termasuk saat-saat kunjungan kenegaraan presiden ke luar negeri. Untungnya kami mendapat hadiah jas dari Pak Probosutedjo, adik Pak Harto.

Untuk itu, tidak tanggung-tanggung ia mendatangkan penjahit khusus dari Singapura, Tat Bee Taylor. Kami masing-masing disuruh memilih bahan dan mengukurnya. Hanya dalam waktu dua minggu pakaian lengkap tersebut sudah kami terima di Jakarta.

Sebelum ditugaskan meliput kegiatan kepresidnean pada masa Pak Harto berkuasa, saya pernah meliput kegiatan Bung Karno pada acara di luar Istana. Menurut rekan-rekan senior wartawan kala itu, Bung Karno sangat memperhatikan penampilan wartawan yang meliput kegiatannya. Dia tidak segan-segan merapikan kemeja dan dasi para wartawan, sekaligus menegurnya bila berbusana tidak rapi.

Bung Karno juga akan sangat marah bila wartawan salah menulis pidatonya. Lebih-lebih salah dalam menulis kalimat bahasa Inggris. Dia pernah marah ketika ditulis namanya Presiden Ahmad Sukarno. Bung Karno menyebut penulisnya sebagai wartawan tolol. Rupanya wartawan itu meniru sebuah harian di Timur Tengah yang menulis nama Bung Karno dengan tambahan ‘Ahmad’.

Salah satu kesenangan Bung Karno adalah sarapan pagi di beranda antara Istana Merdeka dan Istana Negara, menghadap ke taman hijau luas. Dia sering mengajak wartawan sarapan pagi dengan hidangan pisang uli rebus atau kukus, yang harganya murah. Dia juga berbuat demikian saat sarapan pagi dengan para diplomat asing, seperti Dubes AS Howard P Jones.

Menurut rekan saya, wartawati Antara Ita Syamnsuddin, yang kala itu bertugas di Istana Negara, Bung Karno yang dikenal anti kolonialisme dan imperialisme serta dekat dengan kiri, sangat akrab dengan Dubes AS. Meskipun CIA punya rencana untuk menggulingkan Bung Karno, tapi secara pribadi Dubes AS adalah sahabat karibnya.

Bung Karno, menurut Ita Syamsudin, pernah mengajak wartawan Istana menyaksikan patung-patung yang ada di taman-taman ibukota. Dia hafal nama patungnya, nama pembuatnya, dan siap berkomentar untuk masing-masing patung. Di Monas, Bung Karno membeli rambutan. Kemudian menikmatinya bersama para wartawan.

Tentu, banyak kesan yang tak terlupakan selama delapan tahun menjadi wartawan Istana pada masa Presiden Suharto. Selalu terburu-buru, diuber waktu. Persisnya, harus mengejar dead line, yakni batas waktu kapan laporan atau tulisan harus disiapkan. Sebagai wartawan Antara, saya harus bersaing dengan dua wartawan koran sore Sinar Harapan: Annie Bertha Simamora dan Moxa Nadeak. Begitu acara selesai, setelah Mensesneg Sudharmono SH memberikan keterangan, kami berebutan telepon untuk memberikan laporan kepada redaktur masing-masing di kantor.

Ada suatu hal yang tidak ada lagi sekarang. Di samping budaya telpon, pada masa Orde Baru sering seorang wartawan Antara melakukan peliputan atau membuat berita atas ‘titipan’ atau ‘permintaan’ dari pihak yang berkuasa. Suatu pagi sesudah peristiwa Malari (15 Januari 1974), saya diberitahu atasan ada pertanyaan titipan dari Hankam untuk Jendral TNI Soemitro, Panglima Kopkamtib, yang akan diterima Pak Harto di Cendana. Dia datang bersama Laksamana Sudomo.

Pertanyaan ‘titipan’ itu adalah, ”Benarkah Pak Mitro ingin mengadakan kudeta dengan menggerakkan para mahasiswa sehingga terjadi kerusuhan massal di berbagai tempat. Termasuk pembakaran proyek Senen dan ratusan mobil?”
Ketika saya tiba di Cendana semuanya wartawan menyatakan akan menunggu pertanyaan saya. Ketika itu, Pak Mitro membantah keras isu-isu bahwa ia ingin mengkudeta Pak Harto.

Pengalaman tak terlupakan lainnya, adalah ketika motor Honda yang saya parkir di Cendana digilas panser. Ketika menunggu tamu yang diterima Pak Harto, tiba-tiba dari samping kediamannya muncul sebuah panser yang akan diparkir oleh seorang prajurit ABRI untuk menjaga keamanan di kediaman Kepala Negara.

Entah bagaimana, tiba-tiba panser tersebut menggilas motor saya. Tidak cukup sekali, setelah menggilas dengan jalan mundur panser tersebut kemudian melaju ke depan dan menggilas motor saya lagi. Akibatnya, motor saya gepeng seperti kerupuk. Tapi, beberapa hari kemudian saya mendapat ganti motor baru.

Almarhumah Ibu Tien Soeharto juga punya perhatian terhadap wartawan Istana. Dia memberikan kepada para wartawan masing-masing sebuah tape recorder, yang kala itu ukurannya lebih besar dari tape recorder sekarang ini. ”Jangan sampai salah-salah lagi dalam meliput acara Pak Harto,” salah satu pesanannya yang masih saya ingat.

Pak Harto mempunyai seorang juru foto yang tiap acara pasti mendampinginya. Dia adalah Saidi. Dia adalah salah seorang dari sedikit orang yang bisa memerintah presiden. Dia acapkali memerintah agar Pak Harto dan Ibu Tien dengan alasan estitika pengambilan foto atau momentum yang langka berpose begini atau begitu. Presiden dan Ibu biasanya menurut saja apa yang diperintahkan Saidi.

Karena ketika Saidi nenjadi juru foto Istana mula-mula berpangkat kopral, maka rekan-rekan wartawan Istana menjulukinya ‘Kopral Jenderal’.

Read Full Post »

Bung Karno dan Olahraga

Ketika artikel ini dibuat, Asian Games (AG) di Doha, Qatar, hampir usai. Kontingen Indonesia di pesta olahraga paling bergengsi di Asia itu menduduki urutan ke-21. Berada di bawah Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam dan Filipina sesama negara ASEAN. Prestasi olahraga Indonesia yang berpenduduk 210 juta jiwa kini benar-benar anjlok. Kita berada di bawah Singapura negara pulau yang berpenduduk empat juta jiwa. Di bawah Vietnam yang baru muncul di bidang olahraga pertengahan 1970-an setelah berakhirnya perang di negeri itu. Bahkan, dalam SEA Games di Manila (2005), kontingan Indonesia yang telah beberapa kali jadi juara umum melorot ke urutan kelima.

Tim sepakbola kita juga digilas Irak 0-6 negara yang sedang kacau balau. Padahal, tim sepakbola Indonesia sampai tahun 1970-an dan awal 1980-an sangat disegenai di Asia. Lebih unggul dari Korea dan Jepang.

Indonesia sendiri pernah menjadi tuan rumah AG IV di Jakarta (Agustus 1962). Sekalipun income per kapita kita saat itu masih di bawah 100 dolar AS, tapi guna mensukseskan AG IV, Presiden Soekarno membangun kompleks OR di Senayan seluas 270 ha, dengan stadion utama yang dapat menampung 110 ribu penonton, yang kala itu dibanggakan sebagai stadion terbesar di dunia.

Dengan tergusurnya beberapa kampung di Senayan, ribuan warga Betawi setelah mendapat ganti rugi di tempatkan di kawasan Tebet, Jakarta Selatan. Sebagian besar adalah petani buah, pengrajin batik, tukang ketupat sayur keliling dan pedagang kecil lainnya.

Bagi kontingen Indonesia, AG IV merupakan sukses besar. Merenggut 51 medali ter maswuk medali emas. Nama Sarengat, mahasiswa kedokteran UI jadi termashur ketika meraih medali emas nomor lari 100 meter dan lari gawang 110 meter. Untuk lari 100 meter, Sarengat yang kemudian menjadi dokter Wakil Presiden Sultan Hamengkubuwono IX mencatat 10,4 detik. Rekor ini bertahan puluhan tahun.

Dalam suasana Demokrasi Terpimpin, yang menempatkan politik di atas segala-galanya, bagi Bung Karno olahraga tidak dapat dipisahkan dari politik. Meskipun harus menghadapi tantangan keras dari Komite Olimpiade Internasional (KOI), dia bukan saja tidak mau mengundang, tapi menolak kehadiran Israel dan Taiwan.

Penolakan terhadap Israel itu sebagai rasa solidaritas bangsa Indonesia terhadap rakyat Palestina dan Arab. Sedangkan penolakan terhadap Taiwan, karena kedekatan Indonesia terhadap RR Cina. Sementara itu, RR Cina dan Korea Utara yang bukan anggota KOI diundang sebagai bagian dari komitmen politik Indonesia.

Keadaan tersebut menyebabkan terjadinya peristiwa Sondhy, seorang petinggi KOI yang kebetulan berkebangsaan India. Bukan hanya Bung Karno, tapi rakyat Indonesia menjadi marah besar ketika Sondhy menyatakan bahwa legimitasi AG IV Jakarta harus dipertanyakan. Ketika itu, Sondhy tengah berada di Jakarta menghadiri pertandingan-pertandingan. Sikap itu juga karena Sondhy adalah diplomat dari India negara yang sedang konflik dengan RR Cina.

Sondhy terpaksa harus keluar dari Indonesia, karena demonstrasi dari rakyat — terutama kelompok kiri dan kemarahan dari pemerintah Indonesia. Saya merasakan, saat itu demo-demo anti India marak di mana-mana. Dan, yang paling berdebar-debar tentu saja para pemilik toko India di Pasar Baru, Jakarta Pusat.

Abdul Rachim (68 tahun) menceritakan kepada saya, bahwa karena Bung Karno bersahabat dengan sejumlah tokoh India di Jakarta, ia terlebih dulu memberitakan akan terjadinya demo-demo anti India. Maksudnya agar mereka waspada. Memang, kata Abdul Rachim, sekalipun terjadi demo di Pasar Baru dan beberapa mobil milik warga India dibakar serta toko India dilempari batu. Tapi, kata Rachim, yang tinggal di dekat Pasar Baru, kejadian tersebut tidak separah kalau saja Bung Karno tidak memberitahu teman-teman Indianya.

Terhadap reaksi KOI tersebut, Bung Karno justru melakukan perlawanan keras. Ia bukan saja tidak mengakui komite tertinggi olahraga dunia itu, tapi membuat komite tandingan. Sambil menuduh KOI sebagai alat imperialis. Dengan membagi dunia dalam dua kelompok Nefos (negara berkembang dan dunia ketiga) dan Oldefos (negara imperialis) Bung Karno menyelenggarakan Ganefo (Games of the New Emerging Forcing) pada bulan Nopember 1963 di Jakarta.

Walaupun mendapat ancaman dari KOI pesertanya tidak boleh turut dalam Olimpiade tapi Ganefo yang dimaksudkan untuk menandingi Olimpiade berlangsung sukses. Diikuti 2.200 atlet dari 48 negara Asia, Afrika, Amerika Latin dan Eropa.

Pada waktu hampir bersamaan Bung Karno mengeluarkan Keputusan Presiden No 263/1963 mencanangkan Indonesia menjadi 10 besar dalam bidang olahraga di dunia. Bagi Bung Karno, olahraga merupakan bagian dari revolusi guna mengharumkan nama bangsa. Dan revolusi Indonesia, seperti sering ditegaskannya, adalah revolusi multikompleks termasuk bidang olahraga.

Untuk mencapai target 10 besar dunia itu Bung Karno juga mendorong 30 persen warga Indonesia untuk secara aktif jadi bagian dalam kegiatan-kegiatan olahraga. Caranya, mengintensifkan program olahraga sejak SD dan pembangunan kelengkapan sarana materiilnya. Kala itu penduduk Indonesia baru 100 juta jiwa

Read Full Post »

Ganyang (mengganyang), menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti memakan mentah-mentah, memakan begitu saja, menghancurkan, mengikis habis dan mengalahkan lawan (dalam pertandingan).

Pada masa pemerintahan Presiden Sukarno kata tersebut banyak dipakai. Ketika konfrontasi dengan Malaysia misalnya, tidak terhitung banyaknya demo meneriakkan ‘ganyang Malaysia’. Demikian juga saat-saat meruncingnya hubungan Indonesia dengan negara-negara Barat, muncul ‘Ganyang nekolim’ (neo-kolonialisme, kolonialisme dan imperialisme).

Dalam pidato kenegaraan 17 Agustus 1964, Bung Karno memberikan judul pidatonya Tahun Vivere Pericoloso (Tavip). Ia menginstruksikan seluruh rakyat untuk melaksanakan Tri Sakti Tavip. Yakni, berdaulat dalam bidang politik, berdikari dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam bidang kebudayaan. Dalam masalah yang terakhir ini, Bung Karno menentang keras apa yang disebutnya ‘musik ngak ngik ngok’, literatur picisan, dan dansa-dansi gila-gilaan. Menurut Bung Karno kaum imperialis ingin merusak moral bangsa Indonesia melalui penetrasi kebudayaan.

Dalam soal kepribadian, Bung Karno juga menginginkan agar dalam berpakaian pun mencerminkan kepribadian Indonesia. Tidak heran kalau pakaian you can see, yang memperlihatkan ketiak, juga menjadi sasaran tembak. ”Ganyang you can see,” teriakan yang sering terdengar bila melihat orang berpakaian demikian.

‘Pengganyangan’ itu tidak hanya terjadi di Jakarta. Saya pernah mengikuti Menteri Negara Oei Tjoe Tat, pada pertengahan 1960-an, ke Kalimantan Barat. Dari sebuah losmen, sejumlah anak muda meneriakkan ”ganyang you can see” kepada seorang wanita yang berpakaian demikian. Terlihat bagaimana merah padamnya muka wanita tersebut menahan malu. Ia cepat-cepat menghindar dari kerumunan massa yang berteriak-teriak itu.

Dalam kaitan dengan you can see itu, perusahaan kosmetik Rexona punya iklan yang disebut Ketty Dance, yakni tarian sejumlah perempuan dengan memperlihatkan ketiaknya. Bukan rahasia lagi, para pembawa acara di televisi bukan hanya berwajah cantik, tapi kebanyakan juga mesti berpenampilan berani. Demikian pula para penari latar dan penyanyi, merasa kurang afdhol kalau tidak menggoyang-goyangkan pinggulnya.

Menurut Munif Bahasuan (71 tahun), yang lebih 50 tahun berkecimpung di dunia dangdut, ketika dangdut masih bernama Orkes Melayu mereka tampil sangat sopan. Penyanyi wanitanya berpakaian kebaya, sedangkan prianya memakai teluk belanga. Ada foto yang sering disiarkan ketika Bung Karno bertari lenso dengan putrinya, Megawati Sukarnoputri. Megawati menggunakan baju kebaya dan kain batik, busana wanita yang dominan saat itu.

Masih menurut Munif, dahulu yang disebut goyang pinggul tidak ada. Kalau sekarang tidak terhitung banyak jenisnya. Ada goyang ngebor, goyang ngecor, goyang patah-patah, goyang kayang dan entah apa lagi namanya. Tidak heran kalau RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) disahkan mereka tidak setuju. Bagi televisi pertunjukan semacam itu bukan saja dimaksudkan untuk mengejar rating, tidak peduli dengan mengeksplorasi sensualitas. Padahal ketika Bung Karno melarang you can see tidak ada masalah di masyarakat.

Dalam kaitan dengan RUU APP, saya ingin sedikit mengutip pengamatan Moammar Emka, penulis buku Jakarta Undercover dan pemerhati kehidupan malam, ketika beberapa waktu bersama saya jadi pembicara dalam ‘Program Persiapan Calon Pemimpin DPW PKS DKI Jakarta.

Jakarta sebagai kota metropolitan (dan kota-kota besar lainnya), tak lepas dari kehidupan malamnya. Ratusan tempat hiburan malam berlomba-lomba membuka pintu lebar-lelbar dengan aneka menu spesial menggoda, dari kafe, bar, pub, diskotek, karaoke sampai klub. Nafas kehidupan malam itu, pada akhirnya juga menghembuskan bau lain yang tak sedap karena dalam prakteknya tak semua tempat hiburan beroperasi sebagaimana mestinya.

Diskotek kini tak hanya sebagai ajang berdisko semata, tapi juga sebagai ajang untuk meneguk kenikmatan ‘surga ekstasi dan seks’. Karaoke tak lagi sebagai tempat rileksasi ditemani ladies-escort, tapi juga sebagai prive room untuk mendapat layanan spesial dari penari striptis, seks shashimi sampai kencam one short time.

Kalau dilihat dari kaca mata industri, kata Moammar Emka, Jakarta tak ubahnya seperti sebuah medan yang tiap hari, bahkan tiap jam, selalu berdenyut oleh banyaknya transaksi seksual. Saking banyaknya industri seks yang ada di Jakarta, saya sampai berani membuat satu kesimpulan bahwa Jakarta sudah menjadi medan sex show supermarket. Bagaimana tidak? Jumlah tempat pijat, sauna, karaoke dan hotel yang menyediakan pelayanan sensual, jumlahnya tak kalah banyak dengan supermarket.

Kita tidak ingin dekadensi moral yang sudah merusak kepribadian bangsa terus meningkat tanpa kendali. Karena itu, memang diperlukan perangkat UU yang mengatur pornografi dan pornoaksi.
 

Read Full Post »

Hubungan RI – Malaysia memanas sejak negara jiran ini mengklaim blok Ambalat — wilayah kedaulatan Indonesia — sebagai wilayahnya. Mendapat angin setelah di Mahkamah Internasional memenangkan klaim atas pulau Sipadan dan Ligitan, kini Malaysia melancarkan trick baru, mengklain pulau yang terletak di timur laut Kalimantan Timur sebagai wilayahnya.

Sebelumnya, hubungan kedua negara sedikit agak terganggu akibat persoalan tenaga kerja Indonesia. Banyak tenaga kerja kita di Malaysia yang diperlakukan tidak manusiawi: disiksa dan tidak sedikit yang tidak dibayar gajinya. Mereka yang mengalami nasib demikian diperlakukan seperti budak belian.

Untuk menyelesaikan masalah Ambalat, Presiden SBY disertai Pangab dan ketiga Kepala Staf Angkatan, selama dua hari berkunjung ke Pulau Sebatik untuk meninjau kesiapan pasukan-pasukan di daerah perbatasan. Di samping untuk meninjau situasi lapangan. Untuk itu, Presiden dan rombongan naik kapal perang RI (KRI) KS Tubun yang tengah sandar di Tarakan.

Sementara di Jakarta dan berbagai kota lainnya, demo anti Malaysia terus berlangsung. Termasuk enam anggota DPR ikut demo bersama puluhan pelajar dan mahasiswa di Kedubes Malaysia di Kuningan, Jakarta Pusat. Bendera Malaysia dibakar. Seorang anggota DPR, Permadi SH, dari PDIP menuduh Malaysia sebagai ‘neo kolonialisme’, lontaran yang sering dikemukakan Bung Karno saat konfrontasi dengan Malaysia (1963-1965).

Di Surabaya dan di tempat lain ada teriakan-teriakan ”Ganyang Malaysia’, juga ungkapan kemarahan rakyat pada saat konfrontasi 42 tahun lalu. Bahkan ada spanduk berbunyi: KOGAM – Komando Ganyang Malaysia -. Bung Karno dalam upaya memperhebat konfrontasi telah membentuk ‘Komando Ganyang Malaysia’.

Demo-demo anti Malaysia di seluruh tanah air terjadi, ketika Bung Karno pada tanggal 3 Mei 1964 di Jakarta dihadapan apel sukarelawan yang dihadiri ratusan ribu rakyat mencanangkan Dwikora (Dwi Komando Rakyat). (1). Perhebat ketahanan revolusi Indonesia, dan (2) bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sabah, Serawak, dan Brunei.

Bung Karno memang dikenal sebagai orang yang dapat menggelorakan semangat rakyat. Dalam waktu singkat terhimpun jutaan sukarelawan dan sukarelawati. Setelah diseleksi, mereka di kirim ke daerah-daerah perbatasan. Seperti Riau, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat. Di antara sukarelawan ini terdapat dokter, mahasiswa, pemuda, dan wartawan. Sementara satuan-satuan ABRI yang juga mengklaim diri sebagai sebagai sukarelawan mulai merembes masuk ke wilayah Singapura dan Kalimantan Utara. Di sana mereka melancarkan operasi militer terhadap pasukan Inggris dengan satuan Gurkha-nya dari Tibet.

Karena itu, tidak heran kalau Kedubes Inggris di Jakarta juga menjadi sasaran demo. Pada 18 September 1963, hanya dua hari setelah Federasi Malaysia resmi berdiri, Kedubes Inggris dibakar dan lambang negara itu dicopot para demonstran. Pembalasan akibat pembakaran ini terjadi di Kuala Lumpur. Para diplomat Indonesia ditangkapi dan kedubes RI diserang. Pada Agustus 1964, 16 prajurit Indonesia ditangkap di Johor dan keesokan harinya 17 prajurit RI mendarat di selatan Johor.

Konfrontasi RI – Malaysia yang dibantu negara-negara Barat, sudah diambang perang terbuka. Armada ke-7 AS sudah memasuki perairan di Selat Lombok. KSAD Jenderal A Yani mengeluarkan ultimatun agar armada ke-7 segera meninggalkan perairan Indonesia. Hubungan dengan AS semakin tegang ketika Presiden AS Jhonson dan PM Malaysia Tengku Abdurahman Putra menandatangi pernyataan bersama.

Bung Karno yang marah besar memperingatkan AS bahwa hubungannya dengan Indonesia akan tambah runyam, dan bila terjadi apa-apa jangan salahkan Indonesia. Sementara demo-demo anti AS meluas diberbagai daerah. ”Go home Yankee”, di antara spanduk yang mereka bawa. Sementara kelompok kiri memanfaatkan situasi ini untuk keuntungan mereka. Ketika itu terjadi dua blok : AS dan Uni Soviet. Kedua kekuatan ini saling bersaing agar negara-negara lain memihak kepada salah satu blok. Dalam konfrontasi dengan Malaysia, US berpihak pada RI.Waktu itu persenjataan kita banyak dari Uni Soviet.

Sementara Bung Karno dalam upaya melawan kekuatan Barat berhasil membentuk front internasional yang luas anti Malaysia. Meskipun banyak yang meragukan kredibilitas para peserta yang hadir. Dalam pidatonya Bung Karno kerap menyerang PM Malaysia Tengku Abdurahman. ”Tengku Abdurahman adalah tulen antek imperialis AS.” Bung Karno menyebutnya angkuh ketika Tengku mengatakan : ”Malaysia sudah ada, orang senang atau tidak senang. Kalau senang terimalah. Kalau tidak senang biarkanlah’.

Dalam pernyataannya yang ditujukan kepada AS, Bung Karno menyatakan bahwa sebetulnya ia melakukan hal itu diluar kemauannya. Seandainya tidak ada Komunike Bersama Johnson-Tengku, maka kata-kata saya ini takkan pernah diucapkan. Hasrat bersahabat dari pihak Indonesia terhadap AS sudah jelas sekali. Bahkan sesudah percobaan pendaratan Armada ke-VII ke Pekanbaru, bahkan sesudah pemboman-pemboman oleh Alan Pope. ”Dengan perasaan berat saya katakan bahwa komunike bersama Johnson-Tengku benar-benar keterlaluan. Benar-benar di luar batas,” kata Bung Karno.

Ketika artikel ini ditulis, Menlu Malaysia, Sayed Hamid Albar, dan Menlu Hasan Wirayudha tengah berupaya untuk menyelesaikan masalah kedua negara. Banyak pihak berharap agar sengketa dapat diselesaikan secara damai, tidak melalui jalur perang seperti masa konfrontasi.
 

Read Full Post »

Jalan Imam Bonjol, Menteng, Jakarta Pusat, pada masa Belanda bernama Nassau Boulevard. Sedang pada masa pendudukan Jepang (1942-1945) bernama Myokodoori. Jepang, saat berkuasa di Indonesia, memang mengganti nama jalan, gedung dan taman yang berbau Belanda dengan bahasa Jepang.

Di Jalan Imam Bonjol No 1 terdapat Museum Naskah Proklamasi Kemerdekaan. Memasuki bagian belakang gedung ini, di atas sebuah meja kecil terletak sebuah mesin tik yang sudah sangat tua. Mesin tik inilah yang digunakan Sayuti Melik, untuk mengetik naskah proklamasi kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945 dini hari. Naskah proklamasi kemerdekaan ini kemudian dikumandangkan Bung Karno pada pukul 10.00 WIB pagi hari itu juga.

Sayuti Melik, pengetik naskah proklamasi dan suami pejuang wanita SK Trimurti, memiliki nama asli Mohammad Ibnu Sayuti. Melik adalah nama samaran sewaktu ia memegang rubrik pojok di Koran Pesat, Semarang. Sayuti Melik, yang hidup di kalangan santri, menjadi terkenal ketika dia menulis Belajar Memahami Sukarnoisme, yang selama berbulan-bulan tiap hari dimuat di 21 suratkabar.

Isi tulisan itu kentara sekali menelanjangi praktek-praktek busuk kaum komunis. Oleh Presiden Sukarno ia kemudian dipanggil dan dimintai keterangan apa maksudnya dengan artikel itu. Setelah mendapat penjelasan, Bung Karno berkata, ”Benar kowe Ti, teruskan.”

Syahdan, serial itu segera dihantam Nyoto, ahli ideologi PKI. Tokoh muda PKI ini, melalui serangkaian tajuk rencana di koran PKI, Harian Rakyat, menyerang keras tulisan-tulisan Sayuti Melik yang dimuat koran-koran di berbagai daerah yang anti PKI. Bagi Nyoto, dan surat-surat pro komunis, apa yang ditulis Sayuti Melik justru merupakan penghianatan terhadap ajaran-ajaran Bung Karno.

Lalu, bagaimana Bung Karno sendiri? Saat polemik di pers dan masyarakat menghangat, ternyata tafsir Sayuti Melik yang dianggap salah. Tafsir Nyoto itulah yang dianggap benar. Dan, hantaman bertubi-tubi terhadap BPS (Badan Pendukung Sukarnoisme) yang diprakarsai Adam Malik, BM Diah dan Sumantoro, dikumandangkan tiap hari di koran-koran kiri. Tokoh PKI Ir Anwar Sanusi, misalnya, mengatakan, ”Setelah DI/TII gagal, kaum reaksioner di dalam negeri memakai nama Sukarnoisme untuk menentang arus sejarah dan gerakan revolusioner rakyat Indonesia.”

Setelah berhari-hari terjadi demo-demo di tanah air minta BPS dibubarkan. Puncaknya, pada 24 Pebruari 1995, Presiden Sukarno selaku Pangti ABRI dan Pemimpin Besar Revolusi (PBR) di hadapan massa yang memenuhi Istora Senayan memerintahkan, ”Bubarkan Semua Koran, Organiswasi dan alat-alat antek BPS.”

Bung Karno menuduh BPS agen CIA (badan intelijen AS) — yang menggunakan ”Soekarnoisme” guna membunuh Sukarnoisme dan membunuh Sukarno. Pembubaran BPS itu dicanangkan dalam acara HUT PWI Pusat. Bung Karno juga menuduh BPS mendapat dana jutaan dolar AS dari CIA. Beberapa kawan saya yang korannya dituduh terlibat BPS dengan menyindir berkata, ”Kalau begitu gua kaya raya dong”.
Sementara, Nyoto berkomentar, ”Tindakan Presiden memerintahkan membubarkan sdurat-surat kabar BPS sesuai dengan tuntutan revolusi.”

Hanya sehari setelah perintah Bung Karno, Departemen Penerangan melarang terbit 21 surat kabar yang memuat tulisan Sayuti Melik. Di antara koran-koran yang dibreidel adalah Berita Indonesia, Merdeka, Warta Berita, Indonesian Observer dan Suluh Massa.

Sebelumnya, Bung Karno membubarkan Manikebu (Manifesto Kebudayaan) yang dicetuskan oleh HB Yassin dan Wiratmo Sukito untuk mengimbangi LEKRA-nya PKI. Manikebu difatwakan menjadi barang haram karena ”melemahkan revolusi”. Kemudian disusul dengan pembubaran Partai Murba, partai yang menjadi musuh utama PKI, setelah Masyumi dan PSI dibubarkan.

Setelah Manikebu, BPS dan Partai Murba dibubarkan, demo-demo massa kiri semakin meluas. Mereka meminta agar diadakan retoling di semua instansi dengan menyingkirkan mereka yang terlibat Manikebu, BPS, Partai Murba, serta kekuatan kanan yang disebut antek-antek DI/TII. Sementara, SBPA (Serikat Buruh Pekabaran Antara) yang pro komunis, mengadakan demo dengan memohon kepada Presiden sebagai pemimpin tertinggi Antara agar memecat pemimpin umumnya, Pandu Kartawiguna, Zein Effendi SH dan beberapa pimpinan Antara. Pandu Kartawiguna, seorang pejuang Angkatan 45, salah seorang pendiri Antara, ketika dipecat hanya mendapat sepotong nota dari Subandrio.

Kala itu, di kantor berita Antara sejak lama terjadi pertentangan antara kubu Djawoto dan Adam Malik. Djawoto, yang kemudian menjadi dubes di Beijing dan meninggal di negeri Belanda, sudah sejak lama berhaluan komunis dan waktu pemberontakan PKI di Madiun (1948) ia sudah menjadi anggota aktif Partai Sosialisnya Amir Syarifuddin.

Bagaimana hebatnya pertentangan ideologi kala itu juga terjadi di tubuh PNI. Ketika terjadi polemik soal Marhaenisme, yang dimenangkan kelompok Ali-Surahman, bahwa ‘Marhaenisme adalah Marxisme yang diterapkan di Indonesia’. Dan tersingkirlah Hardi SH dan Mohammad Isnaeni, dua tokoh PNI yang berseteru dengan Ali-Surahman. Hardi pernah menceritakan kepada saya, bahwa sebelum Bung Karno meninggal dunia, dia menemuinya. Bung Karno menyatakan kepadanya dia menyesal turut menyingkirkan Hardi cs, yang setelah Bung Karno jatuh tetap setia kepadanya.
 

Read Full Post »

Older Posts »