Feeds:
Pos
Komentar

Posts Tagged ‘pasar baru’

 

Penyerahan Kedaulatan dari Belanda ke Indonesia/Arsip Nasional RI

Penyerahan Kedaulatan dari Belanda ke Indonesia/Arsip Nasional RI

Upacara penyerahan kedaulatan dari Pemerintah Belanda kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) terjadi di halaman depan Istana Gambir, Jakarta, pada 27 Desember 1949. Protokol penyerahan itu sebagai hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) di Belanda dan ditandatangani oleh Wakil Tinggi Mahkota Belanda, AJH Lovink, dan Ketua Delegasi RIS, Sultan Hamengkubuwono IX.

 

Pada waktu bersamaan, di Amsterdam, Belanda, mulai pukul 10.00 pagi waktu setempat juga dilakukan upacara yang sama. Upacara itu dihadiri 350 orang yang menyaksikannya dan mulai memasuki Troonzaal. Mereka terdiri atas anggota-anggota parlemen dan pembesar Belanda serta para wakil diplomatik asing. Acara yang sama digelar di Yogyakarta. Presiden RIS Ir Soekarno dan Presiden RI Mr Assaat mengikuti upacara di ruang sidang Istana Yogyakarta.

Matahari hampir terbenam ketika lagu kebangsaan Belanda Wilhelmus mengiringi ‘merah-putih-biru’ turun dari tiang untuk selama-lamanya dari bumi Indonesia. Beberapa detik kemudian, lagu Indonesia Raya pun terdengar dan sang saka Merah Putih berkibar. Lalu, berkumandang sorak-sorai para hadirin, “Merdeka! Merdeka! Merdeka!” Sejak saat itu, Istana Gambir atau Koning Palace (Istana Raja)–menurut versi Belanda–berganti nama menjadi Istana Merdeka.

Peristiwa penyerahan kedaulatan pada 27 Desember 1949 sebenarnya tidak berpengaruh bagi Indonesia. Pasalnya, proklamasi kemerdekaan yang tidak diakui oleh Pemerintah Kolonial Belanda sudah berkumandang lebih dulu pada 17 Agustus 1945.

Keesokan harinya (28 Desember 1949), Presiden Soekarno dan keluarganya yang hijrah ke kota perjuangan Yogyakarta tiba di Bandara Kemayoran pukul 11.40 WIB. Dari Kemayoran, Bung Karno yang menggunakan mobil terbuka menuju Istana Merdeka dengan melewati Jalan Gunung Sahari, Senen, Pasar Baru, hingga istana. Di tengah jalan, ratusan ribu warga Jakarta mengelu-elukan kedatangannya yang sejak Januari 1946 meninggalkan Jakarta karena menghadapi ancaman NICA. Di sepanjang jalan, rakyat berteriak, “Merdeka! Merdeka! Merdeka!” Di Istana Merdeka, ribuan rakyat telah berkumpul hingga di tangga istana dengan teriakan yang sama.

Read Full Post »

Foto para pedagang buah-buahan di Pasar Baru, Jakarta Pusat, diabadikan tahun 1910-an. Para pedagang yang memakai busana Betawi semacam blangkon ala Jawa Tengah dengan baju lurik tengah melayani pembeli seorang Cina yang berpakaian dari negeri leluhurnya. Pemuda Cina dengan rambut taucang di konde di bagian belakangnya dan bertelanjang kaki tengah menawar harga ayam yang dikurung dalam keranjang.

Rupanya busana para pedagang Betawi sekitar 100 tahun lalu masih menggunakan tutup kepala seperti layaknya masyarakat Jawa. Baru kemudian digantikan oleh kopiah hitam yang dipopulerkan oleh Bung Karno sejak tahun 1930-an. Kala itu orang Cina diharuskan menggunakan taucang yang merupakan kebiasaan bangsa Manchu yang mendirikan dinasti Qing di Tiongkok (1644-1911).

Selama dinasti ini berkuasa, mereka mengharuskan perantau Cina mengikuti tradisinya mengepang rambutnya dan melicinkan bagian atas. Meskipun pada 1911 dinasti Qing sudah tidak berkuasa lagi di daratan Cina, kini giliran Belanda yang tetap mempertahankan tradisi yang sudah berusia ratusan tahun itu. Karena pemerintah kolonial mengenakan pajak kepala atau pajak rambut panjang kepada warga Cina.

Seperti terlihat dalam foto, di pasar buah-buahan umumnya adalah produk lokal seperti salak, nenas, jeruk, kelapa, yang kini telah digantikan oleh buah-buahan impor yang mendominasi perdagangan di mal-mal dan supermarket. Bahkan para pedagang di kampung-kampung. Padahal, sampai awal tahun 1970-an, apel dan anggur merupakan buah-buahan yang harganya tidak terjangkau oleh masyarakat kelas bawah.

Buah-buahan ini diselundupkan ke Indonesia melalui para inang dari Singapura. Sampai tahun 1960-an kampung-kampung di Betawi banyak terdapat pohon durian, duku, rambutan, dan mangga. Kini durian lokal sudah sulit didapat, kalah bersaing dengan durian Thailand di mal-mal.

Di daerah-daerah pinggiran Betawi kala itu seperti Pasar Minggu, Kemang, Kuningan, Tebet, dan Condet kaya dengan berbagai jenis buah-buahan. Pada pagi hari para pedagang di sini dengan memikulnya menjual hasil tanaman mereka ke daerah-daerah perkotaan seperti Manggarai, Menteng, Kwitang, Kebon Sirih, dan Tanah Abang. Sungguh tragis, Indonesia negara agraris yang kaya raya dengan buah-buahannya, kini sebagian besar mengonsumsi buah-buahan impor.

Pasar Baru mulai dikenal sejak Gubernur Jenderal Daendels memindahkan kota tua dari Pasar Ikan ke Weltevreden. Untuk kepentingan warga Belanda dan Eropa, mereka membuka pertokoan Pasar Baru yang di dekatnya banyak bermunculan perkampungan Eropa. Para pedagangnya banyak keturunan Cina dan India (Bombay).

Read Full Post »