Sampai tahun 1955 hari ulang tahun Jakarta belum pernah diperingati dan dibiarkan berlalu begitu saja. Tidak ada warga Ibukota yang peduli, termasuk dua gubernur sebelumnya, Suwiryo dan Syamsuridjal. Padahal, pada masa kolonial, tiap tahun Belanda memperingati hari jadi kota Batavia.
Dulu, ulang tahun Batavia diperingati tiap akhir Mei, dengan dasar bahwa pada akhir Mei 1619 Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen menaklukkan Jayakarta. Pada tahun 1869, untuk memperingati 250 tahun usia Batavia, dibangun pula monumen JP Coen — di halaman Departemen Keuagan, Jalan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat.
Di atas fondasi beton yang kokoh berdiri Coen, yang dengan angkuhnya tengah menunjuk ke arah bawah — menggambarkan dia berhasil menaklukkan Jayakarta. Patung yang menjadi simbol dimulainya penjajahan Belanda itu dihancurkan pada masa pendududukan Jepang (1941-1945).
Walikota Jakarta, Sudiro, menyadari perlunya kota ini punya hari ulang tahun. Maka, ia pun memanggil sejumlah ahli sejarah, seperti Mr Mohamad Yamin dan Mr Dr Sukanto, serta wartawan senior Sudarjo Tjokrosiswoyo.
”Saya mohon kesediaan mereka untuk meneliti kapan Jakarta didirikan. Bukanlah Batavianya Jan Pieterzoons Coen, melainkan kota Jakarta yang didirikan oleh Fatahillah di atas puing-puing benteng Portugis,” tulis Sudiro pada memorinya sebagai walikota Jakarta (1953-1958).
Kala itu, Sudiro berkeyakinan bahwa tahunnya sudah pasti, yaitu 1527. Yang jadi pertanyaan adalah hari, tanggal dan bulan lahirnya kota Jakarta. ”Saya ingin, nantinya, kita memperingati dan insya Allah merayakan hari lahir kota Jakarta tiap tahun. Dan para warga akan saya anjurkan untuk memperingatinya, Insya Allah, sepanjang masa,” tulis Sudiro.
Dari tiga orang tersebut, hanya Mr Dr Sukanto yang berhasil menemukan tanggal lahir kota Jakarta. Sebagai hasil penyelidikannya selama berbulan-bulan, pada tahun 1956 ia menyerahkan naskah berjudul Dari Jayakarta ke Jakarta. Beliau berkesimpulan bahwa tanggal 22 Juni 1527 adalah hari yang paling dekat pada kenyataan dibangunnya kota Jayakarta oleh Fatahillah.
Menurut Sudiro, naskah tersebut kemudian ia serahkan kepada Dewan Perwakilan Kota Sementara untuk dibahas, yang kemudian langsung bersidang dan menetapkan 22 Juni 1527 sebagai berdirinya kota Jakarta. Tepat pada 22 Juni 1956, Sudiro mengajukannya dengan resmi pada sidang pleno dan usulnya itu diterima dengan suara bulat. Selanjutnya, sejak saat itu tiap tanggal 22 Juni diadakan sidang istimewa DPRD Kota Jakarta sebagai tradisi memperingati berdirinya kota Jakarta.
Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa dipilihnya 22 Juni 1527, karena saat itu merupakan Maulid Nabi Muhammad SAW. Setelah berhasil mengusir Portugis dari Sunda Kalapa, maka Falatihan sebagai Panglima Kesultanan Demak mengubah Sunda Kalapa menjadi Jayakarta.
Nama Jayakarta merujuk QS Al-Fath ayat pertama yang berbunyi, Inna fatahna lakafathan mubina (Sesungguhnya kami telah memberikan kemenangan kepadamu – kemenangan yang nyata). Jayakarta dalam bahasa sansekerta berarti telah membuat kemenangan. Ayat ini turun ketika Nabi dan pasukannya menaklukkan kota Mekah.
Sejak kemenangan itu, Fatahillah dijadikan penguasa Jayakarta yang berkedudukan sebagai adipati atau raja yang berada di bawah naungan Kerajaan Demak dan langsung di bawah pengawasan Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati di Cirebon. Fatahillah wafat tahun 1570 dan dimakamkan di sebelah timur makam Sunan Gunung Jati.
***
Menurut Walikota Sudiro, Monumen Nasional (Monas) adalah ide (gagasan) seorang wargakota dari kalangan rakyat biasa, Sarwoko. ”Saya anjurkan kepadanya, untuk menemui beberapa orang tokoh, dan membentuk sebuah panitia. Sarwoko sendiri sebagai ketuanya. Ternyata, Presiden Soekarno bersedia menjadi pelindungnya,” katanya.
Pada tanggal 17 Agustus 1955, sewaktu ia didampingi wakil presiden Hatta dalam satu kendaraa dari Istana Merdeka menuju Pegangsaan Timur (kini Jl Proklmasi) 56 untuk meletakkan karangan bunga, keduanya berhenti sebentar di tengah-tengah Lapangan Merdeka, tempat tugu setinggi 45 meter saat itu akan dibangun.
Bung Karno kemudian menambah rancangan tugu itu, antara lain dengan emas murni pada ujungnya dan mengundang teknisi-teknisi Jepang untuk menyelesaikan pembangunannya. Menurut Sudiro, sebenarnya hal itu bertentangan dengan ide semula. Karena, para seniman dan pejuang berkeinginan agar pembangunan Monas sepenuhnya ditangani oleh orang-orang Indonesia sendiri.
Kalau penyair Chairil Anwar menyatakan, ”Aku ingin hidup 1.000 tahun lagi,” maka Bung Karno ketika membangun Monas menyatakan, ”Monumen ini akan tahan selama 1.000 tahun.” Dia melakukan pemancangan tiang pertama Tugu Nasional (Monas) pada 17 Agustus 1961.
Ketinggian pelataran Monas 115 meter. Sedang lidah api kemerdekaan, yang terbuat dari 124,5 ton perunggu dengan lapisan emas murni seberat 35 kg, memiliki ketinggian 14 meter.
Untuk membangun Monas pada 50 tahun lalu hanya memerlukan biaya Rp 7 miliar. Padahal, sekarang ini untuk membangun rumah mewah di kawasan elite seperti Pondok Indah, Simpruk, Kemang, Pluit dan Bumi Serpong Damai, dibutuhkan belasan miliar.
Pada tahun 1960 satu dolar AS bernilai 125 rupiah. Harga emas Rp 25 per gram. Biaya pembangunan Monas berdasarkan nilai sekarang Rp 42 triliun. Jauh lebih kecil dari uang negara yang dilarikan para koruptor BLBI yang jumlahnya di atas Rp 1.300 triliun.
Tinggalkan komentar