Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak ”Merdeka”dan angkat senjata lagiKami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Sajak karya Chairil Anwar di atas menggambarkan betapa hebatnya pertempuran yang dilakukan para pejuang dalam mempertahankan kemerdekaan di front Karawang-Bekasi pada masa revolusi fisik (1945-1949). Saat itu para pejuang kemerdekaan Ibukota memilih front Krawang-Bekasi untuk bergerilya melawan NICA (Nederlands Indies Civil Affair Officier).
Sejak zaman pendudukan Jepang (1942-1945) hingga masa-masa kemerdekaan kondisi sosial ekonomi masyarakat Jakarta sangat buruk. Beras menjadi komoditi strategis di masa Jepang. Beras dilarang diperdagangkan secara bebas, karena dibutuhkan untuk suplai makanan di medan perang. Akibat hilang dan berkurangnya suplai beras, rakyat harus berjalan kaki atau naik kereta api berjubel-jubel, untuk mencari beras ke daerah Tambun dan Bekasi.
Pada masa itu Jepang juga mengeluarkan uang semau-maunya. Hingga untuk mendapatkan lima liter beras orang harus membawa uang sebantal atau sebakul. Maklum, inflasi kala itu sudah kagak kehitung lagi. Pokoknya Jepang asal mencetak uang, hingga nilainya merosot tajam.
Ketika tentara sekutu mendarat di Tanjung Priok, 29 September 1945, tentara Belanda (NICA) ikut mendompleng. Agar dapat berkuasa kembali di bekas tanah jajahannya, mereka menduduki beberapa bagian wilayah Jakarta terutama gedung-gedung strategis. Maka terjadilah pertempuran di seluruh kota yang tidak seimbang antara pasukan bambu runcing dan golok dengan musuh yang menggunakan senjata mutakhir.
Pertempuran terjadi di sudut-sudut kota Jakarta dengan korban mencapai ribuan jiwa. Lapangan di samping masjid Kwitang, misalnya, kala itu dijadikan kuburan untuk memakamkan para pahlawan. Karena, membawa jenazah ke TPU Bivak, Tanah Abang, Jakarta Pusat, tidak aman. Setelah kemerdekaan jenazah-jenazah itu dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Pada Nopember 1945, pemerintah RI mengeluarkan suatu pengumuman bahwa semua badan organiasasi bersenjata agar beralih keluar kota karena Jakarta ditetapkan sebagai kota diplomasi. Kesatuan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) yang bersenjata, dipindahkan ke arah timur Jakarta, yakni ke Cakung, Bekasi, Tambun, Karawang, Lemah Abang, Cibarusa, Karawang dan Cikampek.
Daerah-daerah itu merupakan gudang beras yang harus dipertahankan agar tidak jatuh ke tangan musuh. Sementara, penduduk sipil banyak yang hijrah ke Yogyakarta, seperti dilakukan Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohamad Hatta, para menteri dan pejabat tinggi negara. Mereka tidak sudi bekerja di kantor-kantor dan jawatan yang dikuasai Belanda.
Almarhum Dr Satrio, yang pernah menjadi dokter di medan perang, menceritakan jatuhnya pesawat Palang Merah Sekutu (Inggris) yang menjadi pemicu perang Kawarang – Bekasi. Para penumpangnya, sebanyak 26 orang, ditangkap oleh orang Bekasi, setelah satu malam dikerem lalu semuanya dibunuh. Mereka dikubur secara massal. Jatuhnya pesawat Palang Merah itu mengakibatkan Sekutu melakukan tindakan balas dendam dengan menjadikan Bekasi lautan api.
Pada 13 Desember 1945, Sekutu sekali lagi melancarkan serangan terhadap Bekasi. Front pertahanan para pejuang dihujani 200 peluru meriam. Infanteri dan kavaleri mereka menyerang Bekasi Barat dan Bekasi Timur.
Pada malam harinya, pihak pejuang melakukan serangan balasan dari jarak dekat oleh pasukan golok yang membawa granat tangan. Akibatnya, Sekutu mengundurkan diri dari Bekasi ke Jakarta. Kemudian diikuti pertempuran di jalan-jalan menuju Bekasi. Dalam pertempuran ini pasukan Haji Darip, seorang ulama Bekasi, banyak ambil bagian dalam mempertahankan Bekasi.
Tekad rakyat untuk mempertahankan proklamasi kemerdekaan mulai dikobarkan sejak berlangsungnya rapat raksasa Ikada pada 19 September 1945. Dua hari sebelum rapat (17 September) malam di Jakarta berkeliaran mobil-mobil, tank, panser, wagon, tentara Jepang, yang mengumumkan bahwa rapat Ikada (Ikatan Atletik Djakarta) dilarang.
Pada malam keesokan harinya (18 September) Jepang yang sebulan sebelumnya telah menyerah kepada Sekutu, kembali mengeluarkan larangan. Larangan itu ternyata tidak dihiraukan, yang telah dipersiapkan dan diumumkan secara luas termasuk keluar kota Jakarta.
Kira-kira pukul 10.00 pagi pada 19 September 1945 berduyun-duyun dari semua jurusan rakyat berdatangan. Tidak kurang dari sejuta orang menghadiri rapat raksasa Ikada di tengah-tengah keberadaan tentara Jepang yang berjaga-jaga dengan bayonet terhunus. Padahal penduduk Jakarta ketika itu hanya sekitar 600 ribu jiwa. Banyak yang datang dari Bogor, Depok, Karawang, Bandung, dan ada juga dari Jawa Tengah.
H Mohammad Amir (85 tahun), Ketua Umuym Dewan Harian Angkatan 45, yang hadir pada peristiwa 63 tahun lalu itu, menuturkan, ”sampai sekarang ini saya belum pernah melihat demo sebanyak dan setertib Rapat Ikada.”
Tidak ada seorangpun yang merusak. Begitu Bung Karno dalam pidatonya yang amat singkat menyerukan agar mereka tenang dan kembali ke tempat masing-masing, rakyat pun mematuhinya.
Bagaimana pentingnya semangat 19 September 1945, almarhum Ali Sadikin pernah mengatakan, ”Tidak akan ada Bandung Lautan Api bila tidak ada proklamasi 17 Agustus 45 dan rapat raksasa Ikada. Juga tidak akan ada perang 5 hari di Semarang, bahkan tidak akan ada Hari Pahlawan 10 Nopember 1945 di Surabaya kalau tidak ada rapat besar Ikada 19 September 1945.”
wah, saya pengen tau banget nih, tentang kisah perjuangan rakyat bekasi yang tergambar di sajak Chairil anwar itu. apa ada referensi dokumen lengkapnya, ya.
salam kenal
– Djuli –