Tahun 1960, PM Nikita Krushchov berkunjung ke Indonesia. Kedatangan pemimpin Uni Soviet bertubuh tambun ini mendapat perhatian besar para wartawan, termasuk pers asing. Khususnya pers Barat banyak mengirimkan wartawannya ke Jakarta. Hal ini tentu saja merepotkan Ny Rochmuljati Hamzah, jurubicara kepresidenan yang selalu melayani kepentingan mereka.
Suatu ketika diantara seratus wartawan asing, yang berkerumun di bawah tangga Istana Merdeka, terdapat wartawan televisi dari CBS, AS. Kepada Ny Rochmuljati, ia menyatakan ingin mewawancarai Bung Karno. Saat menyampaikan keinginan wartawan asing kepada Bung Karno itu, Rochmuljati agak sedikit memaksa. ”Tolonglah Bapak menenteramkam sedikit hati saya untuk mau menerima wartawan CBS,” pintanya.
”Aku benar-benar membentak Rochmuljati yang manis. Aku berpaling kepadanya dan menyembur: Berapa kali aku harus mengatakan kepadamu TIDAK,” jawab Bung Karno seperti tertulis pada buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat. Mendapat semprotan demikian, Roch berlari keluar dan pulang kerumahnya. Bung Karno kemudian menyuruh ajudan menelpon dan memintanya datang ke Istana. Kemudian Bung Karno pun meminta maaf.
Sejauh ini, tidak pernah terdengar kekeliruan Rochmuljati dalam melaksanakan tugasnya sebagai jubir kepresidenan. Apalagi Bung Karno, yang dekat dengan wartawan lebih banyak memberikan keterangan langsung pada pers. Bung Karno ketika itu juga memberi julukan Jubir Usman (Jurubicara USDEK – UUD 45, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Manipol – Menifesto Politik) kepada Dr H Roeslan Abdulgani.
Pada awal pemerintahan Pak Harto, Widya Latief ditunjuk sebagai jurubicara kepresidenan. Saya, yang saat itu bertugas sebagai wartawan Istana pernah ditegur pensiunan jenderal kelahiran Sumatera Barat ini. Soalnya, ketika memberitakan rencana kunjungan Pak Harto ke Riau untuk menjadikan Batam sebagai pelabuhan bebas dan kawasan industri, saya memberitakannya secara mendetail. Termasuk akan menggunakan kapal laut dari Tanjung Pinang ke Batam. Maklum, pada tahun 1967 hubungan Indonesia – RR Cina sedang panas-panasnya akibat G30S.
Hampir tiap hari radio Peking (Beijing), memaki-maki Indonesia. Kemudian disusul memburuknya hubungan dengan Singapura, yang menggantung dua prajurit KKO di sana. Batam sendiri waktu itu dibangun untuk menyaingi Singapura. Setidak-tidaknya agar kita tidak tergantung pada negeri itu. Menurut Widya Latief, dalam situasi yang demikian, seharusnya tidak diberitakan dulu rencana naik kapal laut.
Dalam masa pemerintahan Pak Harto, Menteri Sekretaris Negara baik Sudharmono maupun Moerdiono, bertindak sebagai jurubicara kepresidenan.
Sudharmono dikenal sangat dekat dengan wartawan, murah senyum dan sangat korek dalam memberikan keterangan. Moerdiono, yang bicaranya tersendat-sendat dikenal bertemperaman keras, suka marah, tapi tidak pernah mendendam. Pada masa Habibie jubir kepresidenan adalah Dewi Fortuna Anwar.
Menjadi jubir kepresidenan merupakan jabatan amanah, yang menurut agama harus jujur dan lurus. Karena itu tidak boleh ditambah-tambah, apalagi kalau sampai menyimpang. Sejauh ini, sejak masa pemerintahan Bung Karno, tidak pernah seorang menteri atau pejabat tinggi negara membantah keterangan jubir kepresidenan. Baru pada masa Wimar Witoelar sebagai jubir kepresidnen terjadi saling bantah.
Ketika Wimar menegaskan posisi Marzuki Darusman terancam, yang kemudian mengakibatkan timbulnya isu-isu bahwa Jaksa Agung akan diganti, maka Marzuki kontan mengadakan jumpa pers menuduh Wimar memelintir berita hasil pertemuannya dengan presiden Wahid. Wimar, kata Marzuki, telah mencemarkan lembaga kepresidenan, karena sudah berulang kali dilakukannya.
Setelah dengan Jaksa Agung, saling bantah terjadi antara Wimar dengan Menham Mahfud MD. Sebelumnya, pemelintiran berita juga terjadi. Ketika Presiden menerima kelompok Cipayung yang meminta agar Gus Dur membuka silaturahmi nasional yang akan menghadirkan empat tokoh nasional.
Menurut Wimar, mereka datang untuk berikan dukungan kepada Gus Dur. Tentu saja dibantah oleh kelompok Cipayung ini. ”Kami tidak menolak dan juga tidak mendukung,” kata seorang jubirnya.
Wimar juga pernah mendapat protes keras ketika menjadi moderator ”Detak Detik Pemilu” (1999). Karena dalam acara yang disiarkan oleh TVRI dan empat TV swasta, sebagai pemandu Wimar dinilai berpihak pada kelompok tertentu, dan menghantam kelompok yang tidak disenanginya. Hingga banyak yang minta agar acara ini dihilangkan, atau moderatornya diganti.
Tinggalkan komentar