Kehadiran kaum Arab di nusantara tak dipungkiri ikut mewarnai sejarah bangsa Indonesia. Seminar internasional bertajuk Warisan Budaya Arab di Indonesia: Percampuran Budaya Indonesia – Hadramaut (Yaman) di Jakarta pun digelar untuk kian memberi bukti itu. Dalam seminar yang lebih banyak menyoroti peran keturunan Arab di Indonesia baik dari segi agama, budaya, ekonomi, dan politik ini Menteri Agama Said Agil al Munawar yang juga berdarah Arab menyebutkan, jumlah keturunan Arab di Indonesia tidak kurang lima juta orang, sebagian besar dari Hadramaut.
Pendapat senada dikemukakan Prof LWC van den Berg, orientalis dan pakar hukum Belanda, yang pada tahun 1884-1886 pernah mengadakan penelitian mengenai orang Arab di Hadramaut dan di Indonesia. Menurut Van den Berg, orang-orang Arab yang bermukim di nusantara umumnya berasal dari Hadramaut. Hanya satu dua di antara mereka yang datang dari Muskat di Teluk Parsi, Hijaz, Mesir atau Afrika Utara.
Sebelum mengadakan penelitian, Van den Berg menjabat sebagai penasehat pemerintah Hindia Belanda untuk bahasa Arab dan Hukum Islam (1878-1883). Saat itu ia juga menerjemahkan kitab fikih karangan An-Nawawi Minhaj at-Talibihn ke dalam bahasa Prancis, bahasa ilmiah yang lebih umum dipakai ketika itu ketimbang bahasa Inggris. Pada 1884, penelitian mengenai orang Arab dilakukan di Batavia lewat wawancara, observasi, dan analisis surat yang dikirim dari dan ke Arab. Tahun berikutnya, ia mengadakan perjalanan ke berbagai tempat dan kota yang banyak dihuni komunitas Arab di nusantara.
Dalam kunjungan ke kelompok Arab di Tegal maupun Surabaya, Van den Berg menemukan beberapa kitab kumpulan khutbah Jumat yang menyebut Sultan Istambul (Turki) sebagai kepala pemerintah (khalifah) yang sah yang dengan rajin memerangi kaum kafir. Kitab ini dicetak di Bombay (Mumbai) India. Menurut Van den Berg, tidak ada bahaya dalam penyebaran itu karena baik khatib (pribumi) maupun warga pribumi tidak mengerti isi khutbah itu. Sampai 1960-an, para khatib masih menggunakan khutbah dalam bahasa Arab yang umumnya tidak dimengerti pendengarnya.
Mr Hamid Algadiri, tokoh masyarakat Arab, memuji sikap Van den Berg yang dinilainya lebih obyektif dan tidak Arabphobi seperti Snouck Hungronye. Menurutnya, Van den Berg sebagai orang yang membela asimilasi keturunan Arab dengan pribumi yang justru ditentang keras Hungronye. Hungronye dalam upaya pemisahannya menempatkan orang-orang Arab dalam kampung khusus. Van den Berg juga berbeda pendapat dengan orang Belanda pada umumnya saat itu yang menganggap orang Arab juga merupakan bahaya laten sehingga harus pula diawasi dengan ketat. Pendapat ini dibantah Van den Berg. ”Memang orang Arab sering taat dalam melaksanakan agamanya, tetapi tidak mengajarkan agama secara paksa dan fanatik.”
Orientalis Belanda ini meyakinkan bahwa para navigator dan pedagang Arablah yang telah memperkenalkan Islam di nusantara. Ia memaparkan, Aceh menjadi tempat pertama yang mereka singgahi, kemudian Palembang, dan abad ke-18 di Pulau Jawa. Sebelum 1859, tidak tersedia data yang jelas mengenai jumlah orang Arab yang bermukim di daerah jajahan Belanda. Dalam beberapa catatan, mereka dirincukan dengan orang Benggali dan orang asing yang beragama Islam. Sejak 1870, pelayaran dengan kapal uap antara Timur Jauh dan Arab mengalami perkembangan pesat sehingga perpindahan penduduk dari Hadramaut menjadi lebih mudah. Sejak pelayaran melalui kapal uap, umumnya tidak lagi melalui Aceh, tapi Singapura dan Batavia. Menurut statistik (1885), di Jawa terdapat enam koloni besar Arab, yaitu Batavia, Tegal, Pekalongan, Semarang, Surabaya, dan Madura.
Yang menarik dalam tulisan Van den Berg, justru di Aceh bangsa Arab jumlahnya paling besar dibandingkan di tempat lain manapun, dan tidak pernah bermukim secara berkelompok seperti di tempat lain. Di Batavia, karena semakin banyak pendatang Hadramaut, pada 1844 pemerintah Belanda mengharuskan adanya kepala koloni yang ketika itu dinamai kapiten atau kapten Arab. Seperti juga orang Cina dan berbagai etnis lainnya di nusantara yang ditempatkan dalam satu kampung, seperti Kampung Melayu, Kampung Jawa, Kampung Makasar, Kampung Bali, dan lainnya.
Orang-orang Arab ini, kata Van den Berg, menetap di Pekojan yang artinya tempat orang Koja (sebutan untuk orang Benggali, India). Ketika ia mengadakan penelitian (1884-1886), orang Benggali tidak ada lagi. Saat itu penduduk yang ada mayoritas Arab dan hanya beberapa gelintir Cina. Sejak sekitar 1970-an, orang Arab menjadi minoritas dan orang Cina berganti menjadi mayoritas. Ia menggambarkan kala itu wilayah Pekojan sangat kumuh, namun tampaknya orang Arab tidak terlalu menderita karenanya. Sekitar satu setengah abad lalu itu, orang Arab juga sudah banyak tinggal di daerah pinggiran (kini Jakarta pusat), seperti daerah Krukut dan Tanah Abang.
Di Cirebon, kapiten Arab diangkat pada 1845. Seperti juga di Batavia, kampung Arab di sini dulunya tempat tinggal orang Benggali. Pada 1872 koloni di Indramayu dipisahkan dari Cirebon dengan mengangkat seorang kapiten (kepala koloni) Arab. Demikian pula di Tegal, Pekalongan, Semarang, Surabaya, Gresik, Pasuruan, Bangil, Lumajang, Besuki, Banyuwangi, Surakarta, Sumenep, dan berbagai tempat di nusantara terdapat kapiten Arab. Ini dimaksudkan, antara lain, untuk memisahkan keturunan Arab dengan pribumi.
REPUBLIKA – Minggu, 21 Desember 2003
Tinggalkan komentar