Jalan Imam Bonjol, Menteng, Jakarta Pusat, pada masa Belanda bernama Nassau Boulevard. Sedang pada masa pendudukan Jepang (1942-1945) bernama Myokodoori. Jepang, saat berkuasa di Indonesia, memang mengganti nama jalan, gedung dan taman yang berbau Belanda dengan bahasa Jepang.
Di Jalan Imam Bonjol No 1 terdapat Museum Naskah Proklamasi Kemerdekaan. Memasuki bagian belakang gedung ini, di atas sebuah meja kecil terletak sebuah mesin tik yang sudah sangat tua. Mesin tik inilah yang digunakan Sayuti Melik, untuk mengetik naskah proklamasi kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945 dini hari. Naskah proklamasi kemerdekaan ini kemudian dikumandangkan Bung Karno pada pukul 10.00 WIB pagi hari itu juga.
Sayuti Melik, pengetik naskah proklamasi dan suami pejuang wanita SK Trimurti, memiliki nama asli Mohammad Ibnu Sayuti. Melik adalah nama samaran sewaktu ia memegang rubrik pojok di Koran Pesat, Semarang. Sayuti Melik, yang hidup di kalangan santri, menjadi terkenal ketika dia menulis Belajar Memahami Sukarnoisme, yang selama berbulan-bulan tiap hari dimuat di 21 suratkabar.
Isi tulisan itu kentara sekali menelanjangi praktek-praktek busuk kaum komunis. Oleh Presiden Sukarno ia kemudian dipanggil dan dimintai keterangan apa maksudnya dengan artikel itu. Setelah mendapat penjelasan, Bung Karno berkata, ”Benar kowe Ti, teruskan.”
Syahdan, serial itu segera dihantam Nyoto, ahli ideologi PKI. Tokoh muda PKI ini, melalui serangkaian tajuk rencana di koran PKI, Harian Rakyat, menyerang keras tulisan-tulisan Sayuti Melik yang dimuat koran-koran di berbagai daerah yang anti PKI. Bagi Nyoto, dan surat-surat pro komunis, apa yang ditulis Sayuti Melik justru merupakan penghianatan terhadap ajaran-ajaran Bung Karno.
Lalu, bagaimana Bung Karno sendiri? Saat polemik di pers dan masyarakat menghangat, ternyata tafsir Sayuti Melik yang dianggap salah. Tafsir Nyoto itulah yang dianggap benar. Dan, hantaman bertubi-tubi terhadap BPS (Badan Pendukung Sukarnoisme) yang diprakarsai Adam Malik, BM Diah dan Sumantoro, dikumandangkan tiap hari di koran-koran kiri. Tokoh PKI Ir Anwar Sanusi, misalnya, mengatakan, ”Setelah DI/TII gagal, kaum reaksioner di dalam negeri memakai nama Sukarnoisme untuk menentang arus sejarah dan gerakan revolusioner rakyat Indonesia.”
Setelah berhari-hari terjadi demo-demo di tanah air minta BPS dibubarkan. Puncaknya, pada 24 Pebruari 1995, Presiden Sukarno selaku Pangti ABRI dan Pemimpin Besar Revolusi (PBR) di hadapan massa yang memenuhi Istora Senayan memerintahkan, ”Bubarkan Semua Koran, Organiswasi dan alat-alat antek BPS.”
Bung Karno menuduh BPS agen CIA (badan intelijen AS) — yang menggunakan ”Soekarnoisme” guna membunuh Sukarnoisme dan membunuh Sukarno. Pembubaran BPS itu dicanangkan dalam acara HUT PWI Pusat. Bung Karno juga menuduh BPS mendapat dana jutaan dolar AS dari CIA. Beberapa kawan saya yang korannya dituduh terlibat BPS dengan menyindir berkata, ”Kalau begitu gua kaya raya dong”.
Sementara, Nyoto berkomentar, ”Tindakan Presiden memerintahkan membubarkan sdurat-surat kabar BPS sesuai dengan tuntutan revolusi.”
Hanya sehari setelah perintah Bung Karno, Departemen Penerangan melarang terbit 21 surat kabar yang memuat tulisan Sayuti Melik. Di antara koran-koran yang dibreidel adalah Berita Indonesia, Merdeka, Warta Berita, Indonesian Observer dan Suluh Massa.
Sebelumnya, Bung Karno membubarkan Manikebu (Manifesto Kebudayaan) yang dicetuskan oleh HB Yassin dan Wiratmo Sukito untuk mengimbangi LEKRA-nya PKI. Manikebu difatwakan menjadi barang haram karena ”melemahkan revolusi”. Kemudian disusul dengan pembubaran Partai Murba, partai yang menjadi musuh utama PKI, setelah Masyumi dan PSI dibubarkan.
Setelah Manikebu, BPS dan Partai Murba dibubarkan, demo-demo massa kiri semakin meluas. Mereka meminta agar diadakan retoling di semua instansi dengan menyingkirkan mereka yang terlibat Manikebu, BPS, Partai Murba, serta kekuatan kanan yang disebut antek-antek DI/TII. Sementara, SBPA (Serikat Buruh Pekabaran Antara) yang pro komunis, mengadakan demo dengan memohon kepada Presiden sebagai pemimpin tertinggi Antara agar memecat pemimpin umumnya, Pandu Kartawiguna, Zein Effendi SH dan beberapa pimpinan Antara. Pandu Kartawiguna, seorang pejuang Angkatan 45, salah seorang pendiri Antara, ketika dipecat hanya mendapat sepotong nota dari Subandrio.
Kala itu, di kantor berita Antara sejak lama terjadi pertentangan antara kubu Djawoto dan Adam Malik. Djawoto, yang kemudian menjadi dubes di Beijing dan meninggal di negeri Belanda, sudah sejak lama berhaluan komunis dan waktu pemberontakan PKI di Madiun (1948) ia sudah menjadi anggota aktif Partai Sosialisnya Amir Syarifuddin.
Bagaimana hebatnya pertentangan ideologi kala itu juga terjadi di tubuh PNI. Ketika terjadi polemik soal Marhaenisme, yang dimenangkan kelompok Ali-Surahman, bahwa ‘Marhaenisme adalah Marxisme yang diterapkan di Indonesia’. Dan tersingkirlah Hardi SH dan Mohammad Isnaeni, dua tokoh PNI yang berseteru dengan Ali-Surahman. Hardi pernah menceritakan kepada saya, bahwa sebelum Bung Karno meninggal dunia, dia menemuinya. Bung Karno menyatakan kepadanya dia menyesal turut menyingkirkan Hardi cs, yang setelah Bung Karno jatuh tetap setia kepadanya.
Ass.wr.wb ! Berita yg mengesankan bagi saya , anak dari Bapak Pandu Kartawiguna . Alhamdulillah “berita ini ” tidak hilang disapu angin ke “moderen”an . Terima kasih Pak Alwi .Wass.
masa ga da ci
pr0klaMasi yG dtulis sAyuti MaliK ?
bANtUIN DUnK AlNA TgAS SKUlE AQ !