Prapatan atau Segitiga Senen yang diabadikan tahun 1956 atau 51 tahun lalu memperlihatkan betapa semrawutnya lalu lintas di kala itu, yang hingga kini belum dapat dibenahi secara
baik. Sungguh kasihan polisi yang berdiri di bawah tugu harus mengatur lalu lintas hanya dengan tangannya. Lampu lalulintas belum dikenal kala itu, dan baru dimulai akhir 1960’an. Sementara istilah ‘damai’ antara polisi dan pengendara yang kini bukan lagi rahasia umum juga
masih sangat jarang.
Nama Senen diambil dari nama pasar,yang pada awal berdirinya pada 30 Agustus 1735 atau 272 tahun lalu, hari pasar jatuh pada tiap hari Senin. Seperti terlihat dalam foto rumah-rumah Cina dengan atap gentengnya yang runcing mendominasi Pasar Senen, meniru gaya dari negeri leluhurnya. Karena daerah sekitar Pasar Senen sebagian besar penduduknya keturunan Cina. Dan memang merekalah penghuni pertama Pasar Senen. Karena itu sebelum tahun 1960’an ada sejumlah
jalan yang berbau Cina. Seperti Gang Tjapgokeng (tjago = 15) keng (kamar). Dinamakan demikian karena dahulunya terdapat rumah dengan 15 pintu yang para penghuninya adalah Cina perantauan. Di sini juga terdapat Gang Wangseng dari nama seorang letnan Cina Tan Wang Seng.
Pada masa pemerintahan Bung Karno itu, becak ikut mendominasi jalan raya dan operasionalnya tidak dibatasi termasuk di Merdeka Utara dekat Istana Merdeka. Mobil-mobil — yang ketika itu buatan Amerika dan Eropa –, sopirnya sangat jengkel terhadap pengemudi si roda tiga karena
keberaniannya menyilap tanpa memperhitungkan keselamatan penumpang. Sementara di antara kendaraan bermotor terlihat oplet ‘si Doel’ yang oleh orang Jakarta disebut ostin. Karena kendaraan yang kini digantikan oleh mikrolet itu berasal dari mobil merek Austin yang didesain sebagai angkutan penumpang. Mobil-mobil yang berseliweran juga besar-besar dibandingkan
buatan Jepang. Tentu saja boros BBM. Tapi untungnya harga BBM ketika itu masih terjangkau pengusaha kecil.
Gedung yang berada di tengah-tengah kini sudah tidak terdapat lagi dan menjadi Atrium Senen sebagai pertokoan yang megah. Demikian juga gedung dan toko diseberangnya sudah menjadi mal dan
pertokoan modern. Sebagian jalan raya Senen juga sudah menghilang dengan dibangunnya fly over.
Pada awal 1950’an dan 60’an Pasar Senen merupakan tempat berkumpulnya para seniman Senen pada malam hari mulai pukul 20.00 sampai menjelang subuh. Pasar Senen sejak saat itu berdenyut terus selama 24 jam. Mulai menjelang malam di sini terdapat ‘bursa kueh’ yang pembelinya bukan hanya dari Jabodetabek, tapi juga dari Cianjur dan Sukabumi. Kalau kita membeli kue di kantin-kantin yang cukup mewah, banyak yang berasal dari pasar Senen.
Pada 1950’an dan 60’an keamanan di Pasar Senen terjamin karena dikuasai oleh Cobra suatu organisasi di bawah pimpinan tokoh Betawi, Kapten Sjafi’ie dari Komando Militer Kota Besar Djakarta Raja (KMKBDR). Anggota Cobra adalah bekas militer yang setelah penyerahan kedaulatan banyak yang tidak mendapat tempat di TNI. Mereka kemudian dihimpun dalam Cobra dan menjaga keamanan Ibu Kota. Kala itu para preman di Jakarta tidak ada yang berani terhadap Cobra.
Malem Bang.. nimbrung boleh yah
Asyik.. tambah lagi nih cerita sejarah yang saya dapat. Kebetulan teman saya tinggal di Senen, ngakunya sih dari sejak buyutnya udah tinggal di Senen, tapi waktu saya tanya sejarahnya daerah Senen dia kagak tau apa-apa. Sedih ya..
Tapi keren kok…Om saya yang punya toko kue di Pondok Gede, kalo malam juga hunting-nya di Senen. Cuma sayang yah si Cobra tuh dah gak ada, soalnya preman2 Senen sekarang sangat menyeramkan.. kalo nyari buku ke sana aja jadi deg2an. Bawaannya gak nyaman.
Gimana kalau bang Alwi yang jadi ketua Cobra sekarang??
Siap……..apalagi kalau dibantu ama WENK, kita berantas preman Senen dengan bantuan pesilat-pesilat Kwitang