Mungkin tidak banyak lagi yang mengenal NV Jacobson van den Berg. Padahal, perusahaan dagang Belanda yang dinasionalisasi pada tahun 1957 (pada masa Bung Karno) itu merupakan salah satu perusahaan raksasa yang punya jaringan tersebar di seluruh dunia dan memiliki cabang di seluruh kota di Nusantara.
Didirikan di Amsterdam pada 1 Juni 1860, Jacobson van den Berg, yang bergerak di bidang asuransi dan industri, memiliki kantor di Toko Merah, Jl Kalibesar 111, Jakarta Barat. Ia merupakan salah satu dari The Big Five (lima perusahaan raksasa milik Belanda), selain Internatio, Lindeteves, Borsuimy dan Geo Wehry. The Big Five membentuk sebuah trading house yang kuat dan menguasai jaringan bisnis perdagangan, produksi, jasa, industri, serta distribusi di berbagai negara.
Saat jaringan bisnis The Big Five dengan ratusan jaringan armada kapalnya menjelajah hampir ke seluruh Indonesia, tidak terjadi masalah dalam distribusi barang-barang kebutuhan pokok sampai ke daerah-daerah terpencil sekalipun. Setelah Jepang menaklukkan Hindia Belanda (1942-1945), sejumlah karyawan Belanda, khususnya yang menduduki jabatan tinggi di Jacobson van den Berg dan empat perusahaan lainnya, raib tidak ketahuan rimbanya — diduga dibantai oleh Dai Nipon.
Menurut Thomas B Ataladjar dalam buku Toko Merah Saksi Kejayaan Batavia Lama di Tepian Muara Ciliwung, pada 1946 — setelah NICA berkuasa kembali di Jakarta — perusahaan raksasa NV Jacobson van den Berg kembali menempati gedung lamanya: Gedung Merah. Pada 27 Desember 1949 terjadi penyerahan kedaulatan dari Belanda ke Indonesia sebagai hasil dari Konperensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag. Tapi, penyerahan kedaulatan dengan berdirinya Republik Indonesia Serikat (RIS) belum menyelesaikan persoalan kedua negara. Karena, masalah Irian Barat masih mengganjal.
Karena itu, tidak heran kalau tiap kabinet pada demokrasi parlemen yang gonta-ganti itu, salah satu programnya adalah membebaskan Irian Barat. Bung Karno, yang tidak sabaran karena persoalan daerah paling timur Indonesia itu tidak kunjung selesai, pada 13 Pebruari 1956 memutuskan hubungan diplomatik RI dengan Belanda. Tindakan ini disambut hangat oleh rakyat Indonesia.
Sebagai akibat pemutusan hubungan diplomatik itu, bidang ekonomi ikut mengalami hambatan. Perusahaan-perusahaan milik Belanda yang masih banyak beroperasi diambil alih. Bung Karno berpidato melalui RRI yang disiarkan di seluruh Indonesia dengan mengultimatum agar para buruh mengambil alih semua perusahaan Belanda bila tidak mau menyerahkan Irian Barat (Papua) kepada Indonesia. Perintah Pemimpin Besar Revolusi itu ditanggapi para buruh yang langsung mengambil alih perusahaan milik Belanda, termasuk Jacobson van den Berg. Perkebunan dan perbankan milik Belanda juga dinasionalisasi. Bank-bank itu, setelah dilebur, menjadi Bank Mandiri sekarang ini. Sedangkan The Big Five sebagai perusahaan BUMN kemudian dilebur menjadi PT Dharma Bhakti.
Setelah perusahaan Belanda, pada tahun 1963 saat konfrontasi dengan Malaysia, giliran perusahaan-perusahaan Inggris dinasionalisasi. Bahkan Bung Karno mengatakan, pada dasarnya dan pada akhirnya tidak boleh ada modal imperialis yang beroperasi di Indonesia. Kemudian giliran perusahaan-perusahaan AS dikenai tindakan serupa. ”Ini langkah penting bagi RI yang dengan asas Berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) sedang menegakkan perekonomian yang bebas samasekali dari imperialisme dan feodalisme,” tegas Bung Karno.
Ketika terjadi sengketa RI-Belanda, banyak orang Indo yang tinggal di Indonesia, khususnya di Jakarta, memilih meninggalkan Indonesia. Sejak saat itu saya banyak kehilangan teman Indo. Cewek Indo yang berdarah Belanda dengan wanita pribumi umumnya lebih cantik dibanding cewek bule. Cewek Indo tahun 1950-an senang main bola keranjang seperti basket sekarang ini. Meski hanya latihan, banyak penontonnya kalau mereka main di Lapangan Banteng. Para penonton umumnya datang untuk ‘cuci mata’.
Mereka umumnya tinggal di Krtamat IV, V, dan VI, Salemba dan Matraman. Rumah-rumah mereka cukup besar dengan pekarangan luas. Di Salemba, sejumlah rumah yang pernah ditinggali Indo, kini menjadi gedung Depsos, dan sejumlah pertokoan. Di rumah yang luas mereka memiliki empat atau lima orang pembantu, seperti jongos, tukang kebun yang menyapu pekarangan dengan sapu lidi, serta seorang pembantu yang menyibukkan diri di sumur menimba air.
Pada pukul enam pagi, sang suami, didampingi istri, sebelum ke kantor, berada di beranda untuk minum kopi tubruk sambil mengisap rokok. Dia masih memakai slaapbroeken (pakaian tidur). Kala itu, bila sore hari banyak lelaki Indo memakai piyama yang merupakan pakaian saat mereka berada di rumah. Sementara para mevrouw (nyonya) memakai kebaya dan kain batik meniru gaya pribumi.
Anak-anak mereka pergi ke sekolah dengan dokar atau sepeda, dan tiba kembali di rumah pukul satu siang. Setelah melepaskan sepatu, mandi, dan memakai baju yang bagus, mereka duduk rapi untuk makan siang dengan sambal goreng tempe yang selalu dihidangkan. Kemudian, mereka istirahat tridur siang. Pakaian rumah para wanita adalah kimono dan hoskot. Pakaian rumah ini dapat pula dikenakan selama sarapan dan waktu minum kopi di beranda yang biasanya nampak terbuka dari jalan.
Pada senja hari, setelah tidur siang, para tamu yang datang diajak menikmati kue talam, lemper, kue cina, bubur sumsum, kue lapis atau onde-onde yang telah disiapkan oleh koki (kepala pembantu rumah tangga). Pada saat luang mereka berbelanja ke Noordwijk (Jl Juanda) dan Risjwijk (Jl Segera) dan Pasar Baru. Pakaian mewah bagi para mevrouw banyak didatangkan dari Eropa.
Tinggalkan komentar