Tidak ada yang mengira bahwa desa terpencil di tepi pantai yang dikelilingi pepohonan rindang dan belasan rumah bilik beratapkan rumbia kini merupakan salah satu sudut Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, yang tiap tahun didatangi ribuan kapal mancanegara. Foto yang diabadikan Woodbury & Page pada 1867 saat dilakukan survei untuk membangun Pelabuhan Tanjung Priok menggantikan pelabuhan Sunda Kelapa di Pasar Ikan.
Pemerintah kolonial kala itu dipusingkan karena Pelabuhan Sunda Kelapa tidak mampu disandari oleh kapal-kapal uap akibat pendangkalan. Akibatnya, kapal-kapal samudra dari mancanegara harus bersandar jauh di tepi pantai, lalu barang bongkar muat harus diangkat dengan perahu.
Akhirnya, diputuskan untuk memindahkan Pelabuhan Sunda Kelapa dan dipilihnya Tanjung Priok yang jaraknya tujuh kilometer, yang dalam foto terlihat sejumlah pejabat tengah menyurvei kawasan yang akan dijadikan sebagai pelabuhan samudra. Pada 1869, ketika Terusan Suez dibuka, yang mempersingkat pelayaran samudra dari Eropa ke Asia serta munculnya kapal-kapal uap, berpengaruh pada Batavia. Kota yang dibangun oleh Gubernur Jenderal JP Coen ramai didatangi pendatang dari Eropa. Demikian pula dengan kapal-kapal samudra yang bongkar muat. Dibangunnya Pelabuhan Tanjung Priok bersamaan dengan pelabuhan Singapura yang dibangun Raffles tahun 1819.
Ketika dipilih lokasi di Tanjung Priok, kalangan bisnis yang berpusat di Kali Besar dan Pasar Ikan banyak yang menentang karena letaknya sekitar sembilan kilometer dari Sunda Kelapa yang dianggap cukup jauh. Pembangunan pelabuhan ini baru dimulai pada 1877 dan selesai selama sembilan tahun (1886). Sebagai pelabuhan laut yang aman pertama di mana kapal-kapal dapat bersandar ke dermaga. Tapi, ketika para penanam modal makin banyak berdatangan ke Batavia, pada 1912 Pelabuhan Priok dilakukan perluasan karena hampir 200 kapal pada tahun itu menanti giliran untuk bersandar.
Perluasan pelabuhan dilakukan bersamaan dengan dimulainya jalur kereta api Batavia-Buitenzorg (Bogor), pendirian Stasiun Kereta Api Tanjung Priok, dan terusan air Ancol menuju Mangga Besar di samping jalur KA Priok-Jakarta Kota (Beos). Kemudian, dibangun jalan raya yang menghubungkan Tanjung Priok-Weltevreden (Senen) dan Meester Cornelis (Jatinegara).
Sayangnya, kini stasiun KA Tanjung Priok tidak terpelihara dan tidak terpakai lagi serta ditempati para gelandangan. Dulu, stasiun KA ini merupakan pintu gerbang bagi para pendatang ke Jakarta. Bagi yang kemalaman, di stasiun ini disediakan penginapan.
Believe it or not… Lagi asyik baca2 blog Pak Alwi Shahab, eh pas muter CD Keroncong, lagu Bandar Jakarta.
Luar biasa.
Terimakasih Pal Alwi, sehat selalu dan terus berkarya agar generasi muda terus belajar sejarah kota Jakarta.