Bulan Syawal hingga musim haji bagi warga Betawi dikenal sebagai bulan ngawinin. Sampai tahun 1950-an, saat warga banyak mengadakan hajatan, merupakan bulan-bulan bagus bagi kesenian Betawi. Khususnya lenong atau topeng Betawi. Kesenian tradisional Betawi ini mulai lagi mengamen dari satu kampung ke kampung lain. Mereka juga banyak menerima panggilan, setelah terhenti selama Ramadhan. Meriahnya pertunjukan lenong waktu itu, digambarkan almarhum Firman Muntaco, dalam Gambang Djakarte 1950-an:
“Hoooi lenong! Kapan mau maen? Mate gue pan ude lapar nih, perut gue ude ngantuk!” teriak para penonton saking keselnya menunggu. Orang berdempet-dempetan mengerubungi panggung lenong. Laki perempuan campur aduk, dan cecere-cecere penuhnya diebelah depan.
Barulah ketika percis pukul 9.17 – mendadak gambelan lenong berbunnyi santer banget: “Mong, duk-duk mong, duk-duk mong, duk mong, mong, duk-mong!” – sehingga bocah-bocah pade kegirangan menjerit-jerit. “Hureee … maen, lenong maen!” Dan seorang kakek di sudut sembari melirik arlonya, berkata : “Mentang-mentang orang Indunisia, masak le telat sampe tujuh belas menit …!”
Sementara Bang Pa’ul yang nanggap lenong ini, repot menyambut tetamu-tetamu yang membanjir kondangan. “Eh, gile Bang Pa’ul,” kate seorang tamu sembari bersalaman. “Jempol bener eh, maleman bekerjenya enggak ujan barang seketel!” Dan Bang Pa’ul menjawab sembari nyengir, “Keruan aje, penolaknye dong manjur …..! Kodok ane kurung pendaringan !”
“Ane heran, Ul, banyak betul kok yang dateng! Berapa sih ente … ” “Pan dua ribu lebi ane lepas surat undangan”, jawab Bang Pa’ul. “Ane sebarin di saban kampung. Kenal kek, enggak kek, sebodo amat. Pokoknye kan serean (kepala kampung) yang atur!”
Dan lenong makin hebat mainnya ! Malam ini membawakan lakon “Jembatan Patah” yang mengisahkan dua orang raja kakak beradik berebutan tanah, hingga akhirnya musti berkelahi di atas sebuah jembatan. Saking sengitnya, sampai-sampai jembatan itu jadi patah dua. Penonton rame bersorak, waktu di panggung nampak raja lagi memangku puteri. “Jadi adindaku”, kata sang saja, “Tak relakah kau bila kakanda pergi berperang?”
“Betul kakanda …”, jawab tuan puteri kolokan. “Biar pegimane juga, adinda ogah berpisah dari kakanda ….oh!” Sekonyong-konyong tuan puteri masuk ke balik layar sambil menangis. Adegan itu pun selesai. Tapi sang raja yang habis diduduki tuan puteri, tak mau bangkit-bangkit juga, hingga banyak penonton berkaok-kaok : “Hei, raja …. mau duduk terus lu!”
Di tempo doeloe, orang Betawi yang hendak mengadakan keriaan, atau pesta, agar jangan sampai turun hujan biasanya memasang lidi di depan kediamannya. Di atasnya ditusuk bawang dan cabe merah. Rupanya Bang Pa’ul, yang menjadi sahibul bait punya kiat khusus untuk menolak hujan. Ia mengurung kodok di pendaringan.
Cikal-bakal lenong sudah ada sejak abad ke-19. Sebelumnya masyarakat mengenal komedi stambul dan teater bangsawan yang dimainkan dalam bahasa Melayu Riau. Orang Betawi menirunya. Hasil pertunjukan mereka kemudian disebut lenong. Ini terlihat dalam adegan antara raja dan permaisuri (putri), yang menggunakan kata-kata “Adinda … kakanda ..”.
Awal 1960-an, lenong nyaris punah. Tetapi 1970-an, grup-grup lenong bangkit kembali setelah mereka diberi kesempatan melakukan pementasan di Taman Ismail Marzuki (TIM). Waktunya pun dipersingkat. Kalau biasanya mereka mengadakan pertunjukan dari malam hingga menjelang fajar, kini dibatasi hanya tiga jam. Dari TIM, kemudian meluas ke televisi dan radio-radio swasta.
Di antara para pemain lenong dan topeng Betawi, yang ngetop saat ini adalah Mandra. Anak kelahiran kampung Ledok, Cisalak, Bogor, 38 tahun lalu ini, terkenal sejak menjadi kenek oplet dalam sinetron ‘Si Doel Anak Sekolahan’. Para produser film/pengusaha melirik Mandra untuk jadi model iklan. Maka mengalirlah rezeki ke kantong seniman Betawi yang dulu hidup pas-pasan.
Mandra sendiri, yang mengikuti jejak ayahnya menjadi pemain lenong, mengaku hidup sangat susah ketika masih harus mengamen. Saat itu rezekinya tergantung dari uang saweran penonton. Sebagai ‘bocah ingusan’ dalam usia 7 tahun, bila ada yang menanggap lenong, Mandra dan pemain-pemain lainnya, yang kebanyakan merupakan keluarga, harus berjalan kaki. “Saya masih ingat dulu waktu pergi ke Serpong. Kami berjalan kaki dari Cisalak ke Serpong,” kenang Mandra di awal kariernya 1970-an.
REPUBLIKA – Minggu, 23 Desember 2001
Tinggalkan Balasan