Pemda DKI Jakarta akan segera menerbitkan peraturan larangan merokok di tempat-tempat tertentu, dan mengenakan kawasan bebas rokok. ”Para perokok yang jumlahnya makin banyak sudah membahayakan orang lain,” tegas Gubernur Sutiyoso dalam kampanye ‘hari tanpa tembakau sedunia’ 31 Mei lalu. Banyak yang meragukan peraturan ini bisa berjalan efektif. Kecuali, bila Pemprov DKI berani memberlakukan sanksi keras terhadap para pelanggar seperti yang dilakukan Singapura.
Sejauh ini, belum ada catatan apakah pada abad ke-16 saat ekspedisi Portugal dan Belanda berdatangan ke Nusantara mereka memperkenalkan rokok. Juga tidak ada catatan apakah pada masa Jayakarta masyarakat sudah mengenal yang satu ini. Yang pasti, pada akhir abad ke-17 dan awal abad ke-18 ketika Batavia menjadi kota menakutkan akibat banyaknya kematian mereka justru menjaga kekebalan tubuhnya dengan merokok.
Kalau sekarang merokok dianggap musuh nomor wahid, kala itu untuk menghindari penyakit justru para warga Belanda di Batavia khususnya para kelasi, melakukan pencegahan terhadap penyakit dengan minum arak atau cerutu kasar yang diproduksi di kota ini. Mereka tidak segan-segan menghabiskan uang untuk minum arak dan merokok cerutu.
Kalau saat ini jumlah perokok terus meningkat tajam, pada tahun-tahun 1930’an sampai 1950’an seperti diceritakan H Irwan Sjafi’ie, ketua Lemblaga Kebudayaan Betawi (LKB) jumlahnya masih jarang. Ini berkaitan dengan kondisi ekonomi dan keyakinan agama. Kala itu, pabrik-pabrik rokok lebih banyak memproduksi rokok klobot, atau rokok terbungkus daun jagung. Menjelang 1950’an, fungsi daun jagung sebagai pembungkus diganti kertas. Tiap pak rokok yang umumnya berisi 5 batang, dibungkus dengan kertas minyak, atau kertas koran. Kemudian pembungkusnya diberi cap pabrik yang memproduksinya.
Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), masyarakat hanya mengenak dua merk rokok; Siraho dan Koa. Lainnya adalah rokok produk tradisional yang dijual secara ketengan. Di masa peperangan saat hidup rakyat kembang-kempis, banyak yang tidak mampu beli rokok bungkusan. Untuk penghematan, rakyat umumnya mengisap rokok kawung yang terbuat dari daun nira. Tembakaunya dalam bentuk lempengan. Perokok mencubit tembakau dan melintingnya dengan daun kawung.
Kala itu, di kampung-kampung banyak penjual tembakau dalam toples besar. Sedangkan ibu rumah tangga memilih makan sirih, atau nyisik. Ada belasan jenis tembakau lempengan yang dijual di kios-kios khusus tembakau. Pada era rokok kaung ini di kenal istilah lopa-lopa, atau tempat menyimpan daun kaung yang telah diberi tembakau. Lopa-lopa terbuat dari kaleng, atau tikar pandan halus, sebesar dompet.
Kalau sekarang pemerintah sangat mengkhawatirkan semakin meningkatnya muda-mudi yang merokok, dulu yang terjadi justru sebaliknya. Seperti dikemukakan Irwan Sjafi’ie, dulu para pemuda jarang merokok. Apalagi wanita, hampir tidak ada samasekali. Wanita yang merokok konotasinya sangat tercela. Apalagi kalau gadis. Tidak ada laki-laki yang memilih gadis perokok sebagai istri.
Para orang tua dengan keras melarang putranya merokok. Lebih-lebih bila mereka belum bisa cari duit. Kalau sekarang orang merokok di dalam bus, dan di tempat-tempat umum, dulu mereka tidak mau merokok di depan orang tua atau orang yang dihormati karena sangat tidak sopan.
Selain itu, masih minimnya perokok juga disebabkan ajaran Islam yang mengatakan merokok adalah makruh, atau perbuatan sia-sia. Bagi orang Betawi, yang dianggap makruh enggan mereka kerjakan. Bahkan banyak yang berpendapat merokok itu haram. Tidak heran, kalau para ulama atau kiai tempo doeloe, tidak ada yang merokok. Kala itu, rokok Jinggo buatan pabrik Noyorono dari Kudus boleh dibilang pelopor industri rokok kretek di tanah air. Sekalipun sudah hampir seabad, pabrik rokok ini masih berproduksi.
Di kala itu, mengisap rokok Jinggo dianggap orang berduit. Padahal harga perbungkus isi 20 batang hanya tiga sen, dan satu sen enam batang. Sekarang, Jinggo boleh dibilang rokok paling murah. Harganya Rp 2.700.- perbungkus. Sedangkan Ji Sam Soe Rp 7.000.-, dan Sampoerna Mild Rp 6.500.- per bungkus.
Dulu, rokok bukan merupakan kebutuhan primer. Tidak ada istilah: ”Lebih baik kagak makan dari kagak ngerokok.” Kalau sekarang penjual rokok bisa didapati di tiap tempat, tidak demikian masa lalu. ”Dulu saya beli rokok dari kediaman di Kampung Duku (Setiabudi – Jakarta Selatan), ke Pasar Manggis (Pasar Rumput – Manggarau). Orang Karet Tengsin dulu beli rokok ke pasar Tanah Abang yang jaraknya sekitar 2 – 3 km,” kata bang Haji.
Sampai 1960’an, rokok luar negeri masih merupakan barang mewah. Rokok merek Abdullah, Player, Lucky Strike, Triple Five, kita harus mau bersusah payah membelinya di Pasar Baru atau Glodok. Kemudian banyak dijual di dekat bioskop Menteng kala itu. Pembelinya bukan sembarangan karena harganya mahal. Mereka adalah orang-orang ber doku alias tajir kata orang Arab, alias borju sebutan prokem untuk orang kaya.
REPUBLIKA – Rabu, 04 Juni 2003
Tinggalkan Balasan