Jejak Langkah Gubernur Sutiyoso (2)
Sutiyoso, mantan Pandam Jaya ini, tetap tegar sekalipun menghadapi berbagai kritik pedas. Seperti saat-saat gubernur kelahiran Semarang, 6 Desember 1944 merencanakan untuk membangun busway. Tak pelak lagi jalan-jalan di Ibu Kota makin parah kemacetannya karena di bagian kiri dan kanan ditutup untuk jalur busway. Tapi kini, banyak masyarakat yang tertolong dengan adanya angkutan TransJakarta itu.
Pergi ke Senen dari Cililitan yang biasanya memerlukan waktu lebih satu setengah jam, kini melalui busway ditempuh tidak sampai setengah jam. Begitu juga perjalanan dari Ragunan (Jakarta Selatan) ke Kota (Jakarta Barat) setelah mengganti bus di terminal Jl Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat, seluruhnya dapat ditempuh sekitar 40 menit. Dari sini, mereka yang ingin rekreasi ke Taman Impian Jaya Ancol, dapat memilih naik mikrolet dengan hanya membayar Rp 2 ribu per orang. Atau meneruskan perjalanan dengan busway, bukan hanya cepat, tapi juga nyaman. Bahkan ada jalur dari Jatinegara-Ancol.
Apa yang dirintis oleh Sutiyoso meniru proyek yang sama di Bogotta, ibukota Kolombia mendapat penghargaan dari Organisasi Angkutan Darat (Organda), yang menobatkannya sebagai Bapak Pembaruan Transportasi. Organisasi angkutan ini menilai Sutiyoso telah mampu secara revolusioner mengatasi masalah transportasi di Jakarta melalui konsep Pola Transportasi Makro (TPM). Pola TPM yang di antaranya melahirkan busway terbukti telah banyak mengalihkan penggunaan kendaraan pribadi ke angkutan massal. Ada yang berpendapat bahwa busway sepertinya pengganti trem yang beroperasi sampai tahun 1960. Para meener (tuan) Belanda, bila ke kantor di sekitar Pintu Besar dari kediamannya di Menteng dan Matraman pulang pergi naik trem. Pengalihan penggunaan mobil pribadi kepada angkutan massal kini berlangsung di negara-negara maju di Eropa, termasuk jiran kita Singapura dan Kuala Lumpur.
Jadi, di Jakarta sendiri buat apa ada keluarga yang memiliki tiga sampai empat mobil, kalau angkutan massal seperti busway dapat ditingkatkan operasionalnya. Tidak terjaring kemacetan yang terjadi di hampir jaringan jalan raya di Ibukota, termasuk jalan bebas hambatan (tol). Sayangnya, banyak pengemudi angkutan umum dan mikrolet, termasuk mobil pribadi dan sepeda motor ikut menyerobot jalur busway. Kalau saja jumlah bus TransJakarta ini ditingkatkan lagi jumlahnya, penyerobotan diharapkan tidak terjadi lagi.
Terobosan lainnya yang dilakukan Sutiyoso satu-satunya gubernur di Indonesia yang mengalami lima kali penggantian presiden ketika dia belum lama berselang meresmikan angkutan air (waterway) dari Halimun sampai Karet melalui Kali Ciliwung di Banjir Kanal Barat. Dengan hanya membayar Rp 3.000 per orang, mereka dapat menikmati suasana Jakarta ketika masih bernama Batavia. Ketika itu, Belanda menjadikan sungai-sungai di Jakarta sebagai transportasi air. Bahkan para warga Belanda, yang kala itu banyak tinggal ditepi-tepi sungai atau kanal masing-masing memiliki perahu. Saat berkunjung atau bertamu mereka datang dengan mengendarai perahu.
Sutiyoso sendiri, yang akan berakhir masa jabatannya bulan Oktober mendatang, saat meresmikan waterway ingin menciptakan suasana kota Batavia. Sejauh ini, animo masyarakat Ibu Kota untuk berekreasi melalui waterway yang berlangsung tiap Sabtu dan Ahad dari pagi hingga sore cukup besar. Disediakan dua buah kapal yang masing-masing dapat menampung 28 orang.
REPUBLIKA – Sabtu, 07 Juli 2007
Tinggalkan Balasan