Menjadi gubernur DKI Jakarta punya tugas berat. Tidak kalah dengan tugas seorang menteri. Karenanya Presiden Sukarno, pada masa Soemarno menjadi gubernur sebelum Ali Sadikin, memberi jabatan setingkat menteri. Yang diharuskan hadir pada sidang kabinet. Padahal, pada awal 1960-an, penduduk Jakarta sekitar 2-3 juta jiwa. Atau seperempat penduduk saat ini.
Saat ini, menjelang Pilkada DKI, dua calon gubernur gencar melakukan aktivitas untuk menarik perhatian warga DKI agar memilih mereka. Janji-janji pun diungkapkan kedua belah pihak. Pokoknya akan memberikan jaminan kehidupan lebih baik bagi warga. Kalau saya menjadi gubernur DKI, saya akan menjadikan Jakarta sebagai Kota Megapolitan.
Kerjasama dengan Provinsi Jawa Barat dan Banten dalam mengatasi persoalan termasuk banjir. Perlu transportasi massal seperti busway dan monorel tembus sampai ke daerah-daerah penyangga seperti Bekasi, Tangerang, Bogor dan sekitarnya. Menjadikan daerah-daerah tersebut berkembang, pabrik, industri, dan berbagai usaha. Tidak perlu lagi di Jakarta untuk mencari kerja karena berkembangnya ekonomi di daerah penyanggah.
Sekarang ini, Jakarta dengan penduduk 11 juta pada siang hari dan 8 juta pada malam hari, memikul tugas berat. Sementara ‘kue rezeki’ tidak tambah besar, tapi yang berminat makin bertambah. Selama Jakarta menjadi kota ‘segala-galanya’, pendatang tidak bisa dibendung. Masalah kedisiplinan perlu dibenahi, termasuk disiplin dalam bidang transportasi. Kemacetan di Jakarta sudah sangat parah dan dikenal di dunia internasional.
Menyebabkan para wisatawan mancanegara enggan ke Jakarta. Sementara Singapura tiap tahun kedatangan lebih 20 juta wisman dan Malaysia tahun ini mencanangkan 20,1 juta wisman. Jakarta sangat tidak mendukung terhadap pejalan kaki. Hampir tidak ada lagi tempat untuk mereka. Trotoar-trotoar kini menjadi rebutan pedagang kaki lima dan kendaraan bermotor.
Di bidang kesehatan, Pemprov DKI perlu menata ulang penduduk Jakarta yang punya identitas (KTP). Untuk kepentingan mereka berobat gratis dan mendapatkan jatah beras miskin (raskin) dalam rangka mengentaskan kemiskinan. Saat ini sedikitnya 641.920 penduduk miskin yang memiliki KTP DKI. Diperkirakan masih terdapat ratusan ribu warga lainnya tergolong miskin yang tidak terdata karena tidak memiliki KTP.
Dalam masalah pelayanan masyarakat, aparat pemda mulai dari gubernur, wali kota, camat, sampai kelurahan harus melakukan dengan baik. Karena mereka merupakan abdi masyarakat. Tidak boleh lagi ada pungli, sementara masyarakat makin kritis. Sanksi berat harus dilakukan terhadap yang melakukan pungli dalam pelayanan masyarakat. Untuk itu penghasilan para aparat perlu diperbaiki.
Dalam mengatasi banjir, masalah yang sejak lama muncul, Pemprov DKI perlu kerjasama dengan propinsi sekitarnya. Perlu sanksi yang keras terhadap mereka yang membuang sampah di sungai-sungai. Sedangkan Tata ruang perlu dibenahi karena banyak daerah resapan air yang kini telah berobah pungli menjadi ‘hutan beton’ berupa real estat. Pihak real esta sesuai dengan tata ruang juga diharuskan membuat fasilitas umum dan sosial. Dan karena pungli dan pihak Pemda ‘gampang diatur’, banyak yang tidak memenuhi ketentuan ini. Kita harus berani menegur dan memberi sanksi terhadap yang mengabaikan ketentuan ini. Bangsa Indonesia dikenal sebagai pecinta olahraga terutama sepakbola. Lihatlah betapa antusias masyarakat saat kesebelasan nasionalnya bertanding.
Agar olahraga semakin maju, jangan semua lapangan terbuka dijadikan perumahan elite. Di bidang keamanan perlu perhatian lebih serius akibat makin merajalelanya kriminalitas. Sebagai Ibukota masalah keamanan ini menjadi sorotan dunia internasional. Banyak yang membatalkan niatnya untuk investasi karena Jakarta dianggap kota yang memiliki negara yang punya resiko tinggi. Belum lagi pungli yang sulit dibendung hingga banyak yang mengalahkan usaha ke negara lain.
REPUBLIKA – Sabtu, 21 Juli 2007
Tinggalkan Balasan